NusanTaRa.Com
bySuartha Ign, 09/11/2018
bySuartha Ign, 09/11/2018
SEJARAH
mencatat, Belanda mulai menancapkan pengaruh di Nusantara th 1602 M, sedangkan leluhur kami I Gusti Made Tegeh (Raja Badung VII) yg
kesah/hijrah pertama kali ke Denbukit (Buleleng Barat) karena goro-goro Uwug
Badung mamunggawa atas restu Raja
Buleleng Ki Gusti Hanglurah Panji Sakti II dan Raja Mengwi yakni sejak th 1720
M. membangun Puri Jero Lingsir di Pengastulan
tempat sekarang lanjut di seberang jalan sebelah barat purinya membangun Pura
Badung meru tumpang sebelas sebagai Pura Kawitan Dalem.
Istilah
jabatan Punggawa zaman itu tetap
terpakai hingga kemerdekaan untuk suatu wilayah kekuasaan disebut
Distrik yang kemudian diganti dengan sebutan Camat untuk wilayah
Kecamatan. Punggawa berasal dari kata
angga yang berarti terkemuka
terdepan, pinih arep dan awa artinya keturunan, warih > mendapat awalan pa
> pa-angga-awa >> punggawa : jabatan turun-temurun di masa kerajaan.
.
Leluhur
kami I Gusti N Rawos (Meling) gugur semasa Perang Jagaraga (1846-1849) bersama
gugurnya sang istri Patih I Gusti Ketut Jelantik yakni Jero Jempiring. Dalam keadaan situasi darurat Perang kala itu oleh Raja Buleleng diangkatlah (sementara)
putra beliau yang juga namanya sama I Gusti Wayan Rawos (Cekrok/tidak tercatat) yang
diarahkan untuk turut menyingkir ke
Kr.asem nyineb di Desa Sibetan. Dalam
pelarian tersebut hingga beliau menikah di sana dan setelah mempunya 2 anak beliau
kembali ke Pegastulan.
Sang
isrti kedua yang dari Sibetan itu kemudian mengadakan keluarga Guru Made Sarta
> Gede Wenten alias Royong, membikin merajan di bedauh/barat. I Gusti Patih Jelantik kemudian dikenal
dengan sebutan Jelantik Gingsir karena
menyingkir dan terbunuh di wilayah Kasem,
sedangkan istrinya gugur saat sang istri yakni Jero Jempiring memimpin
pasukan laskar Buleleng menghadang laju tentara Belanda. Perang Jagaraga
berkecamuk heroik.
Jero
Jempiring bersama Punggawa Rawos Meling gugur sebagai kusuma bangsa melawan
invasi militer Belanda yg kejam namun hingga kini layon / mayat mereka tidak
ditemukan mungkin dibuang oleh Belanda. Mereka
gugur dengan bersimbah darah diterjang
timah panas musuh di seputaran Pura Dalem Jagaraga. Sukma/jiwa Punggawa Rawos Meling kini minta “ Kajang
Dalem “
karena mungkin dulu waktu tegangnya masa perang tidak sempat diupacarai
secara sempurna.
Maligia
atau Memukur merupakan upacara tahap kedua setelah ngaben atau pelebon yang
memiliki makna untuk menyucikan suksma sarira. Hakikat dari upacara Maligia itu
adalah menyucikan badan halus (suksma sarira) dari kotoran berbagai keinginan.
Keinginan-keinginan itu disucikan agar menjadi satu, yakni bersatu kepada
Tuhan. Ditambahkan, jika dalam upacara
ngaben bertujuan untuk menyucikan wadah manusia atau badan kasar (stula sarira)
yang terdiri atas unsur panca mahabuta, maka waktu Maligia menyucikan suksma
sarira atau badan halus.
Dipaparkan
Maligia merupakan tingkatan madyaning utama dalam upacara nyekah atau memukur.
Sedangkan untuk utamaning utama adalah upacara ngaluwer, menurut catatan belum
ada yang mampu melaksanakan ngaluwer, karena upacara ngaluwer harus
dilaksanakan dengan tulus ikhlas. Apapun permintaan orang pada saat upacara
harus dipenuhi.
Bulan
Desember 2018 yang akan datang ini Ida Sang Suwargi beserta leluhur kami yang lainnya akan kami upacarai Nilapati/Maligia
Jangkep serangkaian Piodalan Ageng Merajan Jero Lingsir Pengastulan. Astungkara
Hyang Widhi memberkati.
drFBSuartha
Ign.
Sukma bersemayam di Nirwana,
Nilapati-Maligai acara menyucikan Sukma.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar