NusaNTara.Com
byGreaTBritteN, S e n i n, 0 1 J u l i 2
0 2 4
Dahulunya, ada seorang raja hidup dengan permaisurinya di
seberang laut India Selatam. Sang raja
rupanya memiliki panglima bernama Karo yang merupakan orang keturunan
India. Entah tiba-tiba sang raja
mengatakan pada Panglima Karo, kalau dia
kepingin pergi ke lokasi baru untuk mendirikan kerajaannya
disana. Sang putri raja Si Miansari
ikut serta dalam misi rombongan. Miansari
yang sudah menyimpan rasa kepada Karo memilih ikut rombongan dengan pasukan
yang dipimpin sang panglima tersebut.
Pasukan pun berlayar hingga tiba di Pulau Pinang. Konon
mereka tinggal beberapa bulan di pulau itu hingga sang Raja kepincut dengan
pulau yang lebih luas berada di sebelah selatan. Dengan semangat raja pun akhirnya meminta
pasukan bersiap untuk menyeberang, tapi
apa nak cakap, nahas menerpa perjalanan
mereka di tengah laut, mereka diterjang ombak besar hingga pasukan
terpencar – pencar dengan perahu masing-masing. Beruntung putri Miansari dengan rombongan
Panglima Karo terdampar. Sementara keberadaan sang raja tak diketahui.
Setelah keadaan rombongan kembali membaik Putri Miansari
dengan Panglima Karo pun sepakat pergi untuk melanjutkan misi perjalanan
tersebut dengan hanya membawa
dua dayang dan tiga pengawal menemani mereka. Dalam perjalanan pencarian tempat baru itu, akhirnya Miansari
dan panglima menikah. Rombongan pun
akhirnya tiba di pulau Perca (Sumatera)
dan saat ini, tempat tersebut
dinamakan Belawan.
Masih belum ingin menetap, rombongan pun menelusuri
aliran sungai hingga tiba di tempat yang kini dinamakan Durin Tani,
di tepat itu diketahui ada gua yang disebut gua Umang tapi dianggap tak aman, Panglima Karo dengan rombongan pergi hingga
sampai ke tempat bernama Buluhawar,
Bukum. Mereka pun tinggal di kaki
gunung yang kini bernama Sikeben yang
berdekatan dengan Bandarbaru. Masih
mencari tempat yang lebih nyaman, Karo kembali berpindah hingga tiba di kaki
Gunung Barus. Meski pemandangan dan udara di tempat tersebut sangat disukai
rombongannya, Karo tetap ingin mencari tempat lain yang mirip dengan tanah
kelahirannya.
Saat beristirahat di bawah pohon beringin, Karo mengutus
anjing untuk menyusuri sungai yang kini disebut Sungai Lau Biang. Beruntung
anjing itu kembali dengan selamat. Karo
dan rombongan pun kembali melakukan perjalanan hingga tiba di daratan tinggi
bernama Mulawari atau berseberangan dengan si Capah (Seberaya). Daratan tinggi
ini kini sebut dengan nama Tanah Karo.
Keturuan Putri Miansari-Karo
Pernikahan Putri Miansari-Karo dikaruniani tujuh anak.
Anak pertama hingga keenam semuanya perempuan
: 1. Corah, 2. Unjuk,
3. Tekang, 4. Girik, 5. Pagit
dan 6. Jile. Anak ketujuh berjenis kelamin laki-laki, karena akan menjadi penerus, anak ketujuh
ini diberi nama Meherga (berharga). Lahir
anak ketujuh Karo ini juga menjadi cikal bakal terciptanya merga di Suku Karo.
Merga pun akhirnya menikah dengan anak Tarlon (saudara bungsu dari Miansari)
bernama Cimata.
Merdang Merdem : Kerja tahunan Suku Karo |
Dalam kisah lain.
Pada tahun1980-an, muncul Jamalludin Tarigan, beliau seorang tokoh Karo yang juga Anggota DPR RI
dari Partai PPP. Beliau pernah melakukan konsolidasi serta mengumpulkan
tokoh-tokoh Karo dan melakukan komferensi pers di Jakarta, menyampaikan ke publik tentang jatidiri Karo
bukanlah Batak. Kemudian oleh Drs
Roberto Bangun seorang Tokoh Pendidikan, Pers, dan Tokoh Masyarakat Karo di Jakarta
juga pernah sebagai Anggota DPRD DKI
fraksi Golkar, pemilik Yayasan Pendidikan Bangun di Tanjung Priuk, juga pernah
menuliskan dan menerbitkan buku yang berjudul “Mengenal Orang Karo”, terbit pada tahun 1989.
Di dalam bukunya itu, Roberto Bangun menyatakan Karo
Bukan Batak. Beliau juga melampirkan beberapa pernyataan Karo Bukan Batak oleh
tokoh terkemuka Suku Karo di Tanah Karo maupun di perantauan, seperti dari Dr.
Masri Singarimbun (Akademisi), Ingan Pulung Sinulingga (Kepala Desa Perbesi),
TK Purba (Tokoh Masyarakat), H. Djamaluddin Tarigan (Anggota DPR RI), Drs.
Teridah Bangun (Budayawan), HG. Tarigan (Akademisi), Biak Ersada Ginting
(Budayawan), dan banyak lagi.
Selain itu, ada peristiwa pembatalan nama Tahura
Sisingamangaraja XII di Tongkeh, Berastagi pada tahun 1988 yang ditolak karena
dirasakan melukai hati Masyarakat Karo, karena Pahlawan Nasional Sisingamanga
XII berasal dari Orang Batak bukan dari Orang Karo. Penolakan saat itu
dilakukan besar-besaran oleh kalangan Karo dan pemuka Karo seperti Dalan Nggit
Sembiring dikenal sebagai Nanggalutu yang seorang pejuang Karo angkatan 45,
Mimbar Tarigan saat itu Ketua Pemuda Pancasila Kabupaten Karo dan lain-lain;
dan kalangan Mahasiswa yang salah satunya adalah Joy Harlym Sinuhaji.
Itulah sejarah kenapa orang Karo tidak mau disebut orang Batak. Mereka tidak ingin menghapus sejarah leluhurnya hingga disebut suku Batak.
Suku Karo bukan turunan
dari si Raja Batak .
Suku Karo Berasal
dari Daratan India Selatan seberang Lauk.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar