NusaNTaRa.Com
byBatiSKambinG, S a b t u, 2 7 J u l i 2 0 2 2
Mitsuyuki Tanaka Pejuang Kemerdekaan RI Berdarah Jepang
Mitsuyuki
tanaka adalah salah satu eks tentara Jepang pada masa Perang Dunia II yang
kemudian ikut berjuang menegakkan kemerdekaan Republik Indonesia, seluruh Jiwa raga Tanaka hingga akhir
hayatnya untuk Indonesia. Awalnya ia
merupakan tentara Jepang, namun kotika Jepang kalah dengan Sekutu 1945, dia
memilih tidak kembali ke negara asalnya namun justru bergabung dengan Badan Keamanan Rakyat
(BKR) untuk ikut berjuang melawan penjajah Belanda di Magelang dan sekitarnya.
Dia dilahirkan di sebuah desa kocil bernama Kiyomimachi di
Kota Takayama Provinsi Gifu, Jepang pada 10 Oktober 1921, Saat berusia, 18 tahun Tanaka pun sudah mengikuti
wajib militer dan setelah berusia dewasa ia mulai dikirim menuju daerah lain mengikuti wajib militer, saat itu ia sudah menikah. Setelah mengikuti pendidikan militer di
jepang, Tanaka pertama kali dikirim menuju wilayah Manchuria di Tiongkok pada
tahun 1939. Setahun berikutnya menuju Taiwan, Filipina, Singapura dan Thailand.
Pada tahun 1940, Tanaka ditugaskan di Hindia Belanda (Indonesia), mulai
Tarakan, Kalimantan dan Surabaya.
Mitsuyuki Tanaka |
Pada masa
antara tahun 1942-1945, baginya merupakan masa yang sulit karena karena harus
berperang melawan Sekutu. Saat terjadi bom di Nagasaki dan Hiroshima pada tahun
1945, membuat Jepang bertekuk lutut pada Sekutu. Ketika itu, tidak sedikit tentara Jepang
yang menyerahkan diri kepada Sekutu, bahkan ada yang melakukan bunuh diri atau hara-kiri, Tanaka justru memilih tetap berada di Magelang dan
kemudian bergabung dengan BKR. Saat
bergabung dengan BKR inilah, dia berganti nama menjadi “SUTORO”.
" Nama Jepang, bapak saya, Tanaka Mitsuyuki.
Pada waktu itu, Jepang kekurangan militer, pemerintah setempat membutuhkan
anak-anak muda untuk dikirim ke Asia Timur Raya. Bapak saya cerita setelah
didaftar dibawa dan dikirim ke Manchuria, Tiongkok dilatih disana ",
Ujar SiDin Sugiyon (60), salah satu putera Sutoro saat ditemui di
rumahnya Jalan Kalingga 668, Kota Magelang, Rabu (7/8/2019).
" Setelah di Manchuria, cerita bapak saya baru
dikirim ke Taiwan, Filipina dan lainnya. Kalau sampai di Indonesia sekitar
tahun 1942, saat ini masih tentara Jepang dengan pangkat buco, disini setingkat
sersan ", Ujar SiDin Sugiyono Laji dengan Soppengerny
(Jumawanya). Saat di Indonesia
tersebut, dia pernah keliling hingga Papua, Kalimantan dan kawasan Indonesia
Timur. Saat Jepang kalah dan pemerintah Jepang meminta para tentaranya untuk
menyerahkan diri. Namun Sutoro tidak mau kembali menuju negara asalnya, ia
justru memilih tetap berada di Indonesia.
" Bapak punya prinsip mungkin, kenapa
diperintahkan untuk mati sekarang, belum mati menyerah. Terus bapak berpikir
Indonesia juga belum merdeka, nantinya kalau pulang (Jepang) menyerah, Belanda
datang. Dari pada bunuh diri, lebih baik bantu Indonesia berjuang untuk kemerdekaan ",
Ujar SiDin Sugiyono melanjutkan.
" Setelah itu, bapak
menghubungi BKR ada Pak Suryo Sumpeno, Pak Sarbini ",
Ujar SiDin kata Sugiyon Laji.
Selain ia
bergabung dengan BKR, ada teman lainnya yang seperti Muhammad, Winata dan Jono.
Selama di Magelang, Sugiyon menceritakan, bapaknya ikut berjuang melawan
Belanda di Kampung Tulung. Ia sempat menembaki dua pesawat cocor merah dari
atas Water Toren di Kota Magelang. Pesawat yang ditembaki tersebut jatuh di
Sapuran, Wonosono dan Kaliangkrik, Magelang. Selain berjuang di Magelang dan
sekitar, ia jua turut berperang melawan Belanda saat peristiwa Palagan
Ambarawa.
Agar tidak ketahuan
wong Londo, nama Tanaka diganti jadi Sutoro. Kemudian sekitar tahun 1948,
Sutoro menikahi gadis pujaanne asal
Salaman, Jennengnge Suparti. Ia bertemu
Suparti saat bertugas bersama dalam
perjuangan melawan Belanda (Wong Londo
bhs Jawa) di sekitar Salaman, Alhamdulillah
pernikahan dengan Suparti ini dikaruniai 11 anak meski sekarang masih
menyisahkan 6 orang yang masih hidup.
Sutoro
bertugas di Magelang hingga Kemerdekaan RI 1945
dan terakhir dalam tugasnya ia Mayor, kemudian saat pensiun 1974
mendapatkan pangkat kehormatan Letkol. Bahkan,
Sutoro pernah mendapatkan piagam Bintang Gerilya dari Presiden Sukarno pada
tanggal 10 November 1958. Tepatnya, pada 1 Agustus 1998, Sutoro meninggal dunia
kemudian dimakamkan di Taman Makam Pahlawan (TMP) Giri Dharmoloyo Magelang. "
Bapak sebagai orang Jepang, jiwa raganya diserahkan untuk tanah air
Indonesia. Sebagai orang Jepang, tapi beliau sudah mendarah daging menjadi
orang Indonesia, cinta tanah air Indonesia
", Ujar SiDin Sugiyono Laji
" Anak-anak dipesan jangan jadi tentara kalau
tidak ada peperangan Indonesia dengan negara lain. Seandainya ada peperangan,
nggak usah dipanggil, langsung mendaptarkan diri ",
kenangny Sugiyono. Sugiyon pun menceritakan, ayahnya semasa
hidupnya dekat dengan Jenderal Ahmad Yani saat bertugas di Magelang. Bahkan
Sutoro mendapatkan kenang-kenangan dari A Yani berupa mobil Jeep Willys.
" Bapak waktu itu dekat dengan Bapak Jenderal
Ahmad Yani. Pada waktu Pak Ahmad Yani dinas di Magelang, bapak diberi hadiah
karena mau ditinggal ke Jakarta. Diberi hadiah itu sebuah mobil Willys buatan
1943 ", Ujar SiDin Sugiyono. Dan " Bapak pesan, meskipun ini (mobil Willys)
besinya sampai habis tidak boleh dijual atau dipindahtangankan ", Ujar SiDin mengakhiri ceritane.
Mitsuyuki Tanka ketika bertugas sebagai Tentara Jepang |
Dimana Bumi
pijak di situ langite di Junjung,
Mitsuyuki
Tanaka Pejuang Indonesia berdarah Jepang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar