NusanTaRa.Com
byPaKeLee, 02/04/2019
byPaKeLee, 02/04/2019
TUAN
OEI TIONG HAM diedisi saat ini mungkin sudah tidak ada yang mengenalnya
terlebih melihat namanya yang asing, tapi sebenarnya Dia seorang konglomerat
fenomenal tersohor dengan julukan “ Raja Gula dari Semarang “, Bahkan beliau tercatat sebagai “ Raja Candu Terakhir di Semarang “. “ Di antara pachter-pachter madat yang
terakhir, hanya Tuan Oei Tiong Ham yang paling beruntung bisa mendapatkan
keuntungan dalam perdagangan madat itu ”,
Ujar SiDin Liem Thian Joe, jurnalis kawakan kelahiran Parakan, Jawa Tengah.
Oei
merupakan pakter candu terakhir di Semarang,
kendati hanya menjadi pakter kawasan Semarang, Surakarta, Yogyakarta,
dan Surabaya setidaknya sejak 1890 hingga 1903
hingga telah mendapat keuntungan bersih ƒ 18.000.000. Sehingga perkiraan keuntungan bersih Oei jika diperkiraakan ke saat ini (2015)
adalah, jika ketika itu harga 1 gram emas
sekitar ƒ 7
bermakna bahwa uang sebanyak itu
bisa digunakan untuk membeli 2,5 ton emas,
jika harga 1 gram emas saat ini
Rp 473.000, asumsi harga emas tak banyak berubah maka keuntungan bersih Oei dalam bisnis candu
selama 13 tahun itu sejumlah Rp 1,7 triliun, atau sekitar Rp 132 milyar setiap
tahunnya ! apa tidak Gollaluu.
Papan
yang tergantung di dinding rumahnya di Kampung Totgan Surakarta itu menunjukkan
" Tempat Pendjoewalan Tjandoe " sekitar 1895-1905. Pada masa itu Oei tiong Ham
merupakan pakter madat hingga
kawasan Surakarta. Pakter madat atau
candu adalah pemegang lisensi izin perdagangan candu yang sekaligus pengelola
perdagangan candu dan membayar sewa setiap tahunnya kepada pemerintah Hindia
Belanda. Sejarah pakter bermula pada
pemerintahan Raffles 1811-1816, ketika itu berbagai pengelolaan gerbang tol dan
pasar wilayah kerajaan diambil alih pemerintah Inggris, sementara orang-orang
Cina menjadi bandar besar yang statusnya penyewa usaha, selanjutnya celah kebijakan itu melahirkan laju
perkembangan kilat dalam perniagaan candu ketengan.
Taman dari Oei Tiong Ham di Gergajian Semarang thn 1900 |
Sekitar
akhir 1880-an krisis perniagaan candu melanda, hanya empat dari 19 pakter candu
yang bertahan, Oei Tiong Ham pun melihat
celah untuk memasuki bisnis ini, meski Oei Tiong Ham bukanlah orang yang hidup
dimasa awal masuknya candu ke Jawa karena ia terlahir di Semarang pada November
1866, anak dari seorang ayah singkeh Oei Tjie Sien. Menurut Liem, sederet pakter terdahulu pada
awalnya mendapat keuntungan, namun pada akhirnya jatuh bangkrut. “ Tetapi, Tuan Oei Tiong Ham sebaliknya
mendapat keuntungan besar... ”, Ujar
SiDin Liem Thian Joe sang penulis buku.
Liem
Thian Joe (1895-1963) menulis ungkapan itu dalam bukunya yang menjadi penanda
permulaan abad yang silam, “ Riwajat Semarang : dari djamannja Sam Po
sampe terhapoesnja Kongkoan “. Buku itu
pertama kali diterbitkan oleh Ho Kim Yoe di Semarang pada 1933, “ Penduduk pribumi yang paling banyak
menghisap madat ialah di residentie Surakarta, Yogyakarta dan Kediri ” dan “ Keadaan ini berlangsung sampai sekarang,
tidak berubah! “, tulisannya dalam buku tersebut.
Sejak
1890, Oei Tiong Ham menjabat sebagai mayor tituler di kota kelahirannya selama
13 tahun, warisannya masih tampak megah hingga kini adalah sebuah kediaman
bergaya indis dengan beranda berpilar dan memiliki 16-18 kamar di bilangan Gergaji,
Semarang. Tampaknya dia memiliki pribadi
yang revolusioner sehingga ia orang Cina pertama yang berbusana ala Eropa di Semarang, sekaligus
orang Cina pertama yang memotong taucangnya.
Ayahnya
mendirikan usaha “ Kian Gwan “ tahun 1863, yang kelak menjadi lahan subur
bisnis bagi Oei Tiong Ham yang kemudian mendirikan bisnis konglomerasi Oei
Tiong Ham Concern dengan bisnis utamanya “ gula tebu “ mulai melesat tahun
1890-an, sebelumnya ia telah merintis niaga candu pada 1887 dan meluaskan dari
Semarang ke Kudus hingga Mayong, seiring perluasan jangkauan rel kereta api. Sebelum Perang Dunia Kedua, induk bisnis
keluarga Oei ini merupakan perusahaan konglomerasi pertama dan terbesar di Asia
Tenggara dan orang terkaya di Hindia Belanda
yang tersohor seantero Asia, Australia, Amerika, hingga Eropa. Belakangan, orang-orang menjulukinya sebagai
Raja Gula dari Semarang, meskipun sebagian dari kekayaan itu diperoleh dari
kesuksesan perniagan candunya.
NV
Handel Maatschappij Kian Gwan sebuah perusahaan perdagangan gula internasional
miliknya serta NV Algemeene Maatschappij
tot Exploitatie der Oie Tiong Ham Suikerfabrieken yang mengelola lima
perkebunan dan penggilingan tebu di Jawa : Pakis, Rejoagung, Krebet, Tanggulangin, dan Ponen. Bisnis lainnya seperti perkapalan,
perbankan, pabrik tepung tapioka, pergudangan, dan perusahaan properti pun
turut menggurita pada awal abad ke-20 semua itu dimilikinya sebelum ia berusia
30 tahun dan menjadi orang terkaya di Hindia Belanda
Pada
awal 1904 pemerintah Belanda mencabut semua lisensi madat dengan cara
opium-regi, yaitu pemerintah secara resmi menjual opium dalam bungkus tube
timah, membuat perniagaan candu sang pakter madat terakhir di Semarang itu pun
pupus. Raja gula itu pindah dari
Semarang ke Singapura pada 1921 dan wafat tiga tahun kemudian. Tampaknya, Oei
pindah dengan dalih menghindari beban pajak yang menurutnya tak adil, sekaligus ingin mengatur warisannya tanpa
campur tangan pemerintah Hindia Belanda.
Ironisnya justru imperium
dagangnya hancur pada masa Indonesia merdeka, tahun 1961 Pemerintah Republik
Indonesia mengambil alih “ Oei Tiong Ham Concern “ yang mendakwa bahwa ada kejahatan ekonomi
dibaliknya.
Raja
Gula Raja Candu sama mengasikkan,
Oei
Tiong Ham raja Gula - candu semarang yang keren.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar