Kamis, 07 November 2019

INDUSTRI TPT DIBANGKITKAN UNTUK MERAIH 10 NEGERA EKONOMI DUNIA DI 2030.

NusanTaRa.Com
byRaisALembuduT,  03/08/2019


Bila gejolak import tak tertangani  maka tren memburuknya industri tekstil diprediksi masih berlanjut,  Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filamen Indonesia (APSyFI) memperkirakan neraca perdagangan industri Tekstil dan Produk tekstil (TPT) nasional akan defisit dalam dua hingga tiga tahun mendatang.    Kondisi menghawwatirkan ini  karena daya saing produk tekstil dalam negeri loyo karena semakin derasnya kemasukan tekstil  import,  Imbasnya, salah satu pemain besar tekstil, PT Delta Merlin Dunia Textile (DMDT), yang merupakan bagian dari Grup Duniatex, tumbang karena tak mampu membayar kewajiban kupon obligasi.

Dari data APSyFI surplus perdagangan industri TPT tanah air terus tergerus —  6,08 miliar dolar AS menjadi hanya 3,2 miliar dolar AS dalam 10 tahun terakhir 2019,   penyebabnya rata-rata pertumbuhan impor TPT  kurun  waktu tersebut mencapai 10,4%, jauh lebih tinggi dibandingkan rata-rata pertumbuhan ekspornya yang hanya 3%.   Pertumbuhan rata-rata volume import kain mencapai  12,8 % selama tahun 2008-2018, dan tak mampu mengerek ekspor garmen selama periode itu yang turun 0,3%.   Dua tahun terakhir merupakan puncak penurunan dengan  pertumbuhan volume impor kain mencapai 15,1%  dan ekspor garmen malah turun 2,5%.


“ Industri kain kita terpuruk mulai tahun 2009 ”,  Ujar SiGaluh Redma Gita Wirawasta, Sekjen APSyFi  di The Westin, Jakarta Selatan, Senin (22/07) dan  “ Impor kain tahun 2007 itu hanya 300 ribu ton, ekspornya 500 ribu ton. Sekarang posisinya terbalik: impor kainnya 900 ribu ton, ekspor garmennya masih 500 ribu ton ”.   Koadaan ini berbeda dengan Vietnam  negara tetangga yang industri TPT-nya justru makin bersinar.   Neraca perdagangan TPT Vietnam 10 tahun terakhir terus mengalami peningkatan dari 2 miliar  menjadi 26 miliar dolar AS,  keadaan ini tercapai sejak Vietnam  menerapkan integrasi di industri TPT-nya mulai  dari hulu ke hilir.

Integrasi di Industri TPT  mulai dari hulu ke hilir,  Indonesia justru  negara yang industri TPT-nya paling awal menerapkannya  bersama Tiongkok dan India.   Redma memaparkan bahwa sejak investor masuk ke segmen serat, industri tekstil di Indonesia sudah sepenuhnya terintegrasi dari hulu sampai hilir dan di dunia hanya sedikit negara yang memiliki mekanisme industri tekstil yang terintegrasi mulai dari serat, benang, kain, sampai garmen.   Pemerintah sendiri punya harapan tinggi pada industri TPT nasional,  agar dapat mencapai target masuk lima besar negara eksportir TPT dunia pada 2030 dan menetapkan industri TPT sebagai industri strategis dan prioritas nasional, kenyataan sekarang  industri yang menyerap tenaga kerja paling besar  malah lesu sedang menghadapi masalah serius.

Mengantisipasi keadaan ini Pemerintah Indonesia menerbitkan payung hukum untuk kebijakan pengurangan pajak super (super deduction tax/SDT). Insentif ini berupa pemotongan nilai pajak penghasilan hingga 300% bagi institusi yang memfasilitasi pendidikan vokasi serta melakukan riset dan pengembangan terkait bisnisnya.   Kelesuan  permintaan diakibatkan  banjir produk impor  yang berimbas pelaku industri tekstil — terutama produsen benang dan serat — mengurangi produksi sejak awal tahun  2019 sebesar 15-20 % karena permintaan di sektor hilir berkurang

Sebelumnya  SDT, pemerintah  memberikan fasilitas pemotongan pajak badan sebesar 30% untuk sektor tekstil. Selain itu pemerintah juga pernah menyediakan insentif perpajakan tax holiday dan tax allowance, sayangnya industri TPT  tidak banyak yang memanfaatkan fasilitas itu.   Masalahnya pemberian insentif pajak untuk industri TPT nasional dinilai kurang tepat sasaran. Pelaku industri TPT lebih membutuhkan kepastian pasar. Ketersediaan pasar nasional, menurut Redma, paling penting untuk menjamin perbaikan situasi industri TPT nasional.

Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto mengatakan pengembangan pabrik rayon APR sangat strategis dalam memperkuat struktur industri tekstil dan produk tekstil (TPT) nasional.  “ Untuk itu kami mengapresiasi investasi dan komitmen APR yang telah mendukung agenda pemerintah terhadap industri strategis nasional, yakni sektor TPT, agar bisa lebih berkompetisi di pasar global ”, Ujar SiDin Airlangga.

Walau demikian menyalahkan impor sepenuhnya adalah keliru, karena  beberapa bahan memang harus diimpor karena Indonesia tidak mampu memproduksinya sendiri seperti benang ka tun, kapas, sutra, dan serat dari bulu binatang untuk bahan baku wol.     Kalau yang diimpor memang bahan baku yang tidak bisa kita produksi dalam negeri ya tidak apa-apa sih menurut saya, tapi kalau kita sudah bisa produksi sendiri kenapa harus diimpor lagi kan? ”, Ujar SiGaluh Redma.

Permintaan serat rayon dalam negeri sudah bisa dipenuhi lewat  hadirnya Asia Pacific Rayon (APR) pemain baru dunia tekstil dan APR merupakan anak usaha Royal Golden Eagle (RGE) yang baru beroperasi tahun ini, dengan kapasitas produksi serat rayon mencapai 240 ribu ton per tahun.  “ Saat ini harusnya kita tidak perlu impor serat rayon lagi. Dengan kapasitas produsen rayon existing saat ini ditambah produksi serat rayon dari APR, sudah cukup untuk memenuhi permintaan rayon dalam negeri, jadi sudah balance ”, Ujar SiGaluh pengamat Tekstil.

Melirik dari situasi nyata sekarang, ketersediaan pasar dan dukungan kepada produk yang sudah bisa diproduksi dalam negeri menjadi kunci utama agar kondisi buram industri TPT saat ini bisa kembali cemerlang.   Sehingga keinginan menjadi negara dengan ekonomi terbesar ke-10 di dunia pada 2030, pemerintah memang masih harus bekerja keras dalam membenahi struktur pertekstilan di Indonesia mewujutkan ekonomi Indonesi berkeelas danien.
 


Sungguh alami gadis tak berbusana,
Untuk 10  ekonomi dunia industri Garmen harus dibina.  .

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

LIMA PEMBUANGAN SAMPAH TERBESAR DI DUNIA, ADA BANTAR GEBANG !!

NusaNTaRa.Com       byBatiSKambinG,        R   a   b   u,    2   0      N   o   p   e   m   b   e   r      2   0   2  4     Tempat Pengelola...