NusanTaRa.Com
byRaisALembuduT, 03/08/2019
“ Industri kain kita terpuruk mulai tahun 2009 ”, Ujar SiGaluh Redma Gita Wirawasta, Sekjen APSyFi di The Westin, Jakarta Selatan, Senin (22/07) dan “ Impor kain tahun 2007 itu hanya 300 ribu ton, ekspornya 500 ribu ton. Sekarang posisinya terbalik: impor kainnya 900 ribu ton, ekspor garmennya masih 500 ribu ton ”. Koadaan ini berbeda dengan Vietnam negara tetangga yang industri TPT-nya justru makin bersinar. Neraca perdagangan TPT Vietnam 10 tahun terakhir terus mengalami peningkatan dari 2 miliar menjadi 26 miliar dolar AS, keadaan ini tercapai sejak Vietnam menerapkan integrasi di industri TPT-nya mulai dari hulu ke hilir.
Integrasi di Industri TPT mulai dari hulu ke hilir, Indonesia justru negara yang industri TPT-nya paling awal menerapkannya bersama Tiongkok dan India. Redma memaparkan bahwa sejak investor masuk ke segmen serat, industri tekstil di Indonesia sudah sepenuhnya terintegrasi dari hulu sampai hilir dan di dunia hanya sedikit negara yang memiliki mekanisme industri tekstil yang terintegrasi mulai dari serat, benang, kain, sampai garmen. Pemerintah sendiri punya harapan tinggi pada industri TPT nasional, agar dapat mencapai target masuk lima besar negara eksportir TPT dunia pada 2030 dan menetapkan industri TPT sebagai industri strategis dan prioritas nasional, kenyataan sekarang industri yang menyerap tenaga kerja paling besar malah lesu sedang menghadapi masalah serius.
Mengantisipasi keadaan ini Pemerintah Indonesia menerbitkan payung hukum untuk kebijakan pengurangan pajak super (super deduction tax/SDT). Insentif ini berupa pemotongan nilai pajak penghasilan hingga 300% bagi institusi yang memfasilitasi pendidikan vokasi serta melakukan riset dan pengembangan terkait bisnisnya. Kelesuan permintaan diakibatkan banjir produk impor yang berimbas pelaku industri tekstil — terutama produsen benang dan serat — mengurangi produksi sejak awal tahun 2019 sebesar 15-20 % karena permintaan di sektor hilir berkurang
byRaisALembuduT, 03/08/2019
Bila
gejolak import tak tertangani maka tren
memburuknya industri tekstil diprediksi masih berlanjut, Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filamen
Indonesia (APSyFI) memperkirakan neraca perdagangan industri Tekstil dan Produk
tekstil (TPT) nasional akan defisit dalam dua hingga tiga tahun mendatang. Kondisi
menghawwatirkan ini karena daya saing
produk tekstil dalam negeri loyo karena semakin derasnya kemasukan tekstil import,
Imbasnya, salah satu pemain besar tekstil, PT Delta Merlin Dunia Textile
(DMDT), yang merupakan bagian dari Grup Duniatex, tumbang karena tak mampu
membayar kewajiban kupon obligasi.
Dari
data APSyFI surplus perdagangan industri TPT tanah air terus tergerus — 6,08 miliar dolar AS menjadi hanya 3,2 miliar
dolar AS dalam 10 tahun terakhir 2019,
penyebabnya rata-rata pertumbuhan impor TPT kurun waktu tersebut mencapai 10,4%, jauh lebih
tinggi dibandingkan rata-rata pertumbuhan ekspornya yang hanya 3%. Pertumbuhan rata-rata volume import kain
mencapai 12,8 % selama tahun 2008-2018,
dan tak mampu mengerek ekspor garmen selama periode itu yang turun 0,3%. Dua tahun terakhir merupakan puncak penurunan
dengan pertumbuhan volume impor kain
mencapai 15,1% dan ekspor garmen malah
turun 2,5%.
“ Industri kain kita terpuruk mulai tahun 2009 ”, Ujar SiGaluh Redma Gita Wirawasta, Sekjen APSyFi di The Westin, Jakarta Selatan, Senin (22/07) dan “ Impor kain tahun 2007 itu hanya 300 ribu ton, ekspornya 500 ribu ton. Sekarang posisinya terbalik: impor kainnya 900 ribu ton, ekspor garmennya masih 500 ribu ton ”. Koadaan ini berbeda dengan Vietnam negara tetangga yang industri TPT-nya justru makin bersinar. Neraca perdagangan TPT Vietnam 10 tahun terakhir terus mengalami peningkatan dari 2 miliar menjadi 26 miliar dolar AS, keadaan ini tercapai sejak Vietnam menerapkan integrasi di industri TPT-nya mulai dari hulu ke hilir.
Integrasi di Industri TPT mulai dari hulu ke hilir, Indonesia justru negara yang industri TPT-nya paling awal menerapkannya bersama Tiongkok dan India. Redma memaparkan bahwa sejak investor masuk ke segmen serat, industri tekstil di Indonesia sudah sepenuhnya terintegrasi dari hulu sampai hilir dan di dunia hanya sedikit negara yang memiliki mekanisme industri tekstil yang terintegrasi mulai dari serat, benang, kain, sampai garmen. Pemerintah sendiri punya harapan tinggi pada industri TPT nasional, agar dapat mencapai target masuk lima besar negara eksportir TPT dunia pada 2030 dan menetapkan industri TPT sebagai industri strategis dan prioritas nasional, kenyataan sekarang industri yang menyerap tenaga kerja paling besar malah lesu sedang menghadapi masalah serius.
Mengantisipasi keadaan ini Pemerintah Indonesia menerbitkan payung hukum untuk kebijakan pengurangan pajak super (super deduction tax/SDT). Insentif ini berupa pemotongan nilai pajak penghasilan hingga 300% bagi institusi yang memfasilitasi pendidikan vokasi serta melakukan riset dan pengembangan terkait bisnisnya. Kelesuan permintaan diakibatkan banjir produk impor yang berimbas pelaku industri tekstil — terutama produsen benang dan serat — mengurangi produksi sejak awal tahun 2019 sebesar 15-20 % karena permintaan di sektor hilir berkurang
Sebelumnya
SDT, pemerintah memberikan fasilitas pemotongan pajak badan
sebesar 30% untuk sektor tekstil. Selain itu pemerintah juga pernah menyediakan
insentif perpajakan tax holiday dan tax allowance, sayangnya industri TPT tidak banyak yang memanfaatkan fasilitas itu. Masalahnya pemberian insentif pajak untuk
industri TPT nasional dinilai kurang tepat sasaran. Pelaku industri TPT lebih
membutuhkan kepastian pasar. Ketersediaan pasar nasional, menurut Redma, paling
penting untuk menjamin perbaikan situasi industri TPT nasional.
Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto mengatakan pengembangan pabrik rayon APR sangat strategis dalam memperkuat struktur industri tekstil dan produk tekstil (TPT) nasional. “ Untuk itu kami mengapresiasi investasi dan komitmen APR yang telah mendukung agenda pemerintah terhadap industri strategis nasional, yakni sektor TPT, agar bisa lebih berkompetisi di pasar global ”, Ujar SiDin Airlangga.
Walau demikian menyalahkan impor sepenuhnya adalah keliru, karena beberapa bahan memang harus diimpor karena Indonesia tidak mampu memproduksinya sendiri seperti benang ka tun, kapas, sutra, dan serat dari bulu binatang untuk bahan baku wol. “ Kalau yang diimpor memang bahan baku yang tidak bisa kita produksi dalam negeri ya tidak apa-apa sih menurut saya, tapi kalau kita sudah bisa produksi sendiri kenapa harus diimpor lagi kan? ”, Ujar SiGaluh Redma.
Permintaan serat rayon dalam negeri sudah bisa dipenuhi lewat hadirnya Asia Pacific Rayon (APR) pemain baru dunia tekstil dan APR merupakan anak usaha Royal Golden Eagle (RGE) yang baru beroperasi tahun ini, dengan kapasitas produksi serat rayon mencapai 240 ribu ton per tahun. “ Saat ini harusnya kita tidak perlu impor serat rayon lagi. Dengan kapasitas produsen rayon existing saat ini ditambah produksi serat rayon dari APR, sudah cukup untuk memenuhi permintaan rayon dalam negeri, jadi sudah balance ”, Ujar SiGaluh pengamat Tekstil.
Melirik dari situasi nyata sekarang, ketersediaan pasar dan dukungan kepada produk yang sudah bisa diproduksi dalam negeri menjadi kunci utama agar kondisi buram industri TPT saat ini bisa kembali cemerlang. Sehingga keinginan menjadi negara dengan ekonomi terbesar ke-10 di dunia pada 2030, pemerintah memang masih harus bekerja keras dalam membenahi struktur pertekstilan di Indonesia mewujutkan ekonomi Indonesi berkeelas danien.
Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto mengatakan pengembangan pabrik rayon APR sangat strategis dalam memperkuat struktur industri tekstil dan produk tekstil (TPT) nasional. “ Untuk itu kami mengapresiasi investasi dan komitmen APR yang telah mendukung agenda pemerintah terhadap industri strategis nasional, yakni sektor TPT, agar bisa lebih berkompetisi di pasar global ”, Ujar SiDin Airlangga.
Walau demikian menyalahkan impor sepenuhnya adalah keliru, karena beberapa bahan memang harus diimpor karena Indonesia tidak mampu memproduksinya sendiri seperti benang ka tun, kapas, sutra, dan serat dari bulu binatang untuk bahan baku wol. “ Kalau yang diimpor memang bahan baku yang tidak bisa kita produksi dalam negeri ya tidak apa-apa sih menurut saya, tapi kalau kita sudah bisa produksi sendiri kenapa harus diimpor lagi kan? ”, Ujar SiGaluh Redma.
Permintaan serat rayon dalam negeri sudah bisa dipenuhi lewat hadirnya Asia Pacific Rayon (APR) pemain baru dunia tekstil dan APR merupakan anak usaha Royal Golden Eagle (RGE) yang baru beroperasi tahun ini, dengan kapasitas produksi serat rayon mencapai 240 ribu ton per tahun. “ Saat ini harusnya kita tidak perlu impor serat rayon lagi. Dengan kapasitas produsen rayon existing saat ini ditambah produksi serat rayon dari APR, sudah cukup untuk memenuhi permintaan rayon dalam negeri, jadi sudah balance ”, Ujar SiGaluh pengamat Tekstil.
Melirik dari situasi nyata sekarang, ketersediaan pasar dan dukungan kepada produk yang sudah bisa diproduksi dalam negeri menjadi kunci utama agar kondisi buram industri TPT saat ini bisa kembali cemerlang. Sehingga keinginan menjadi negara dengan ekonomi terbesar ke-10 di dunia pada 2030, pemerintah memang masih harus bekerja keras dalam membenahi struktur pertekstilan di Indonesia mewujutkan ekonomi Indonesi berkeelas danien.
Sungguh
alami gadis tak berbusana,
Untuk 10 ekonomi dunia industri Garmen harus dibina. .
Untuk 10 ekonomi dunia industri Garmen harus dibina. .
Tidak ada komentar:
Posting Komentar