NusanTaRa.Com
byLaDollaHBantA, 05 April 2019
byLaDollaHBantA, 05 April 2019
Romiyaty Barreto petugas C4 |
Semua
tampak lumrah saja ketika saya melihat sebuah klinik di Dili tak ada yang
beda dengan klinik-klinik yang lainnya, sampai kami menyadari bahwa ada yang
unik dalam pelayanan mereka yaitu bahwa semua petugas klinik tersebut adalah Transgender perempuan atau Waria maco. Hampir semua petugas yang melayani disitu mulai
dari staff, dokter, perawat, relawaan, hingga penyuluh kesehatannya
adalah Wanita Maco. Pertanyaannya bagaimana
potret nasib LGBT di Timor Leste, sebuah negara baru yang
merdeka dari Indonesia kurang dari 20 tahun lalu?.
Pagi yang hangat di Dili, ibukota Timor Leste. Di Sebuah tempat yang menjorok jauh ke dalam kawasan ruko sederhana di kawasan Kolmera, tak sampai sepelemparan batu dari Pasar Tais -kain tradisional Timor Leste, di dalamnya terdapat dua ruangan berukuran sekitar 40 m2, Zina Bello, 29 tahun, memulai kesibukan bersama Romiyati Barreto, 38 tahun, dan Pepy, 38 tahun. Kegiatan sehari-hari mereka di klinik C4 (Codiva Clinic and Community Center) Zina penyuluh kesehatan di klinik, Romi pengelola keseharian adapun Pepy, seorang relawan yang mengurus administrasi.
Zina tampil rapi layaknya seorang petugas kesehatan, Romi berbusana cantik, dan Pepy muncul dalam penampilan santai. Saat itu mereka kedatangan pasien bernama Rihanna seorang waria berusia 26 tahun dengan berpakaian lelaki. " Saya datang untuk pemeriksaan darah (tes HIV) dan megecek kesehatan saya menyangkut aktivitas seksual saya sehari-hari ", Ujar SiDinGaluh Rihanna yang berbicara dalam bahasa Tetun. Zina Bello seorang juru rawat, penyuluh kesehatan yang masih menyimpan keinginan untuk menjadi dokter, namun bagi banyak kalangan LGBT di Timor Leste ia sudah dipanggil sebagai Dokter Zina -karena pengetahuan dan pengalamannya ihwal HIV dan AIDS.
Pagi yang hangat di Dili, ibukota Timor Leste. Di Sebuah tempat yang menjorok jauh ke dalam kawasan ruko sederhana di kawasan Kolmera, tak sampai sepelemparan batu dari Pasar Tais -kain tradisional Timor Leste, di dalamnya terdapat dua ruangan berukuran sekitar 40 m2, Zina Bello, 29 tahun, memulai kesibukan bersama Romiyati Barreto, 38 tahun, dan Pepy, 38 tahun. Kegiatan sehari-hari mereka di klinik C4 (Codiva Clinic and Community Center) Zina penyuluh kesehatan di klinik, Romi pengelola keseharian adapun Pepy, seorang relawan yang mengurus administrasi.
Zina tampil rapi layaknya seorang petugas kesehatan, Romi berbusana cantik, dan Pepy muncul dalam penampilan santai. Saat itu mereka kedatangan pasien bernama Rihanna seorang waria berusia 26 tahun dengan berpakaian lelaki. " Saya datang untuk pemeriksaan darah (tes HIV) dan megecek kesehatan saya menyangkut aktivitas seksual saya sehari-hari ", Ujar SiDinGaluh Rihanna yang berbicara dalam bahasa Tetun. Zina Bello seorang juru rawat, penyuluh kesehatan yang masih menyimpan keinginan untuk menjadi dokter, namun bagi banyak kalangan LGBT di Timor Leste ia sudah dipanggil sebagai Dokter Zina -karena pengetahuan dan pengalamannya ihwal HIV dan AIDS.
Cuille Suares, Melani Putri dan Pepy |
" Pertama-tama yang dibicarakan, kehidupan
seksualnya, dan terutama, sejauh apa dia tahu tentang kondom ", Ujar SiDinGaluh Zina. Lalu ia menjelaskan mengenai HIV/AIDS,
tentang penularan, pencegahannya dan tentang
penyakit menular seksual lain.
" Mereka harus mengerti, HIV
itu tidak bisa diketahui secara penampilan fisik. Harus melalui pemeriksaan
darah ", Ujar SiDinGaluh Zina menambahkan.
Bagi Zina tes HIV berlangsung sepenuhnya sukarela, tanpa paksaan, jika hasil tes HIV itu positif, pasien akan dirujuk ke rumah sakit, dan diberikan penyuluhan serius dan menerus. Kalau hasilnya negatif, penyuluhan tetap akan diberikan: tentang pentingnya kondom dalam kehidupan seksual mereka, " Kondom itu nomor satu, sebagai seks aman untuk mencegah HIV ", Ujar SiDinGaluh Zina Bello. Tak sampai setengah jam, tes HIV sudah memberikan hasil bagi Rihanna : negatif. Ia bersorak lega, dan girang.
Klinik C4 itu memang menjadi rujukan utama bagi kalangan transgender dan gay di Timor Leste, karena penyuluhnya di sana dokter, menurut julukan popular para pasiennya adalah seorang transgender. " Ada banyak klinik lain menawarkan layanan yang sama. Tapi mereka ragu. Karena kurang bisa terbuka pada dokter-dokter itu. Mereka kurang nyaman untuk membicarakan sesuatu yang dirahasiakan. Tapi dengan saya, mereka merasa nyaman ", Ujar SiDinGaluh Zina. " Di sini mereka merasa bebas, leluasa, karena ditangani oleh saya, sesama transgender, orang dari komunitas mereka sendiri. Jadi sebagai sesama transgender, bisa saling berbagi, saling tahu satu sama lain ", C4 ini klinik transgender pertama di Timor Leste.
Terlepas dari berbagai kegiatan yang ditekuni kaum Transgender Timor Leste, mereka juga melaksanakan kegiatan lain seperti Salon, Rias Pengantin, Perdagangan dan sebagainya. Disamping itu mereka juga dari Komunitas Lesbian Gay Biseksual dan Transgender atau LGBT Timor Leste kerap menggelar aksi di ibukota Dili dalam acara yang disebut Free To Be Me 2018 atau Bebas Menjadi Saya, sebagaimana di ungkap Soleta Nunes. Aksi seperti ini tergolong jarang di negara yang memisahkan diri dari Indonesia lewat referendum tahun 1999 lalu yang tentunya sebagai kelembagaan social yang lagi gencar mencari dan mematangkan jati diri mereka, ditengah masyarakat yang mayoritas penduduknya merupakan umat Katolik.
Pegiat komunitas LGBT, Mariano da Silva Nunes, mengatakan Free To Be Me, ingin menunjukan kepada seluruh masyarakat Timor Leste bahwa kaum LGBT merupakan sesama manusia yang mempunyai hak hidup. " Hidup sebagai seorang LGBT, memang sulit untuk menghadapi lingkungannya, karena masyarakat menpunyai pikirin yang bermacam-macam terhadap kita, tetapi kami berusaha untuk berbuat yang baik ”, Ujar SiDinGaluh Mariano atau Lala dan mengatakan bahwa komunitas yang dipimpinnya telah mempunyai anggota 700 orang.
Klinik C4 didirikan tahun 2017 bagian dari CODIVA kepanjangan dari Coalition for diversity and action atau koalisi untuk aksi keberagaman. CODIVA sudah terlebih dahulu berdiri sejak 2015 untuk memperjuangkan kesetaraan hak LGBT di Timor Leste. Kesetaraan hak bagi LGBT dijamin konstitusi Timor Leste, pandangan tradisional di masyarakat Katolik yang kuat masih tidak sepenuhnya menerima LGBT secara positif.
Romiaty Barreto, pengelola klinik ini mengatakan, ia sendiri mengalami diskriminasi semacam itu beberapa tahun lalu, semasa ia masih bekerja sebagai seorang guru SMP. " Saat itu, saya belum berpakaian sebagai perempuan. Tapi banyak rekan guru yang sering mengejek, mengapa perilaku saya seperti perempuan. Saya akhirnya tidak tahan, dan berhenti ", Ujar SiDinGaluh Romiaty Barreto yang kemudian bertekad bekerja dibidang yang membantu komunitas LGBT dalam keseharian mereka.
Klinik C4 didirikan tahun 2017 bagian dari CODIVA kepanjangan dari Coalition for diversity and action atau koalisi untuk aksi keberagaman. CODIVA sudah terlebih dahulu berdiri sejak 2015 untuk memperjuangkan kesetaraan hak LGBT di Timor Leste. Kesetaraan hak bagi LGBT dijamin konstitusi Timor Leste, pandangan tradisional di masyarakat Katolik yang kuat masih tidak sepenuhnya menerima LGBT secara positif.
Menurutnya pandangan masyarakat dan kalangan LGBT bahwa situasi komunitas LGBT sekarang di Timor Leste sudah jauh lebih baik dibanding beberapa tahun lalu. " Dulu sering diejek orang. Sekarang pun masih ada juga, tapi sudah jauh lebih sedikit ", dan sekarang, komunitas transgender juga sudah lebih berani untuk mengenakan pakaian sebagai transgender perempuan, kalau dulu, masih takut-takut bahkan mengatakan bahwa keadaan itu lebih baik berbanding yang dialami kalangan LGBT di banyak Negara termasuk di Indonesia.
" Di sini, tidak ada persekusi, atau ramai-ramai yang yang membubarkan kami. Paling-paling, masih ada yang mengejek penampilan kami. Tapi saya kasih pengertian, dan biasanya mereka menerima " dan Ia bersyukur karena keberadaan mereka diakui oleh negara bahkan banyak di antara kalangan transgender, termasuk Romiyati sendiri, dilibatkan dalam berbagai program Kementerian Kesehatan. " Kami dilibatkan bukan hanya untuk berbagi pengalaman atau ikut penyuluhan HIV/AIDS. Tapi juga untuk mempromosikan hak-hak sebagai LGBT yang setara dengan orang lain ", Ujar SiDinGaluh Romiyati.
Bagi Zina tes HIV berlangsung sepenuhnya sukarela, tanpa paksaan, jika hasil tes HIV itu positif, pasien akan dirujuk ke rumah sakit, dan diberikan penyuluhan serius dan menerus. Kalau hasilnya negatif, penyuluhan tetap akan diberikan: tentang pentingnya kondom dalam kehidupan seksual mereka, " Kondom itu nomor satu, sebagai seks aman untuk mencegah HIV ", Ujar SiDinGaluh Zina Bello. Tak sampai setengah jam, tes HIV sudah memberikan hasil bagi Rihanna : negatif. Ia bersorak lega, dan girang.
Klinik C4 itu memang menjadi rujukan utama bagi kalangan transgender dan gay di Timor Leste, karena penyuluhnya di sana dokter, menurut julukan popular para pasiennya adalah seorang transgender. " Ada banyak klinik lain menawarkan layanan yang sama. Tapi mereka ragu. Karena kurang bisa terbuka pada dokter-dokter itu. Mereka kurang nyaman untuk membicarakan sesuatu yang dirahasiakan. Tapi dengan saya, mereka merasa nyaman ", Ujar SiDinGaluh Zina. " Di sini mereka merasa bebas, leluasa, karena ditangani oleh saya, sesama transgender, orang dari komunitas mereka sendiri. Jadi sebagai sesama transgender, bisa saling berbagi, saling tahu satu sama lain ", C4 ini klinik transgender pertama di Timor Leste.
Terlepas dari berbagai kegiatan yang ditekuni kaum Transgender Timor Leste, mereka juga melaksanakan kegiatan lain seperti Salon, Rias Pengantin, Perdagangan dan sebagainya. Disamping itu mereka juga dari Komunitas Lesbian Gay Biseksual dan Transgender atau LGBT Timor Leste kerap menggelar aksi di ibukota Dili dalam acara yang disebut Free To Be Me 2018 atau Bebas Menjadi Saya, sebagaimana di ungkap Soleta Nunes. Aksi seperti ini tergolong jarang di negara yang memisahkan diri dari Indonesia lewat referendum tahun 1999 lalu yang tentunya sebagai kelembagaan social yang lagi gencar mencari dan mematangkan jati diri mereka, ditengah masyarakat yang mayoritas penduduknya merupakan umat Katolik.
Pegiat komunitas LGBT, Mariano da Silva Nunes, mengatakan Free To Be Me, ingin menunjukan kepada seluruh masyarakat Timor Leste bahwa kaum LGBT merupakan sesama manusia yang mempunyai hak hidup. " Hidup sebagai seorang LGBT, memang sulit untuk menghadapi lingkungannya, karena masyarakat menpunyai pikirin yang bermacam-macam terhadap kita, tetapi kami berusaha untuk berbuat yang baik ”, Ujar SiDinGaluh Mariano atau Lala dan mengatakan bahwa komunitas yang dipimpinnya telah mempunyai anggota 700 orang.
Klinik C4 didirikan tahun 2017 bagian dari CODIVA kepanjangan dari Coalition for diversity and action atau koalisi untuk aksi keberagaman. CODIVA sudah terlebih dahulu berdiri sejak 2015 untuk memperjuangkan kesetaraan hak LGBT di Timor Leste. Kesetaraan hak bagi LGBT dijamin konstitusi Timor Leste, pandangan tradisional di masyarakat Katolik yang kuat masih tidak sepenuhnya menerima LGBT secara positif.
Romiaty Barreto, pengelola klinik ini mengatakan, ia sendiri mengalami diskriminasi semacam itu beberapa tahun lalu, semasa ia masih bekerja sebagai seorang guru SMP. " Saat itu, saya belum berpakaian sebagai perempuan. Tapi banyak rekan guru yang sering mengejek, mengapa perilaku saya seperti perempuan. Saya akhirnya tidak tahan, dan berhenti ", Ujar SiDinGaluh Romiaty Barreto yang kemudian bertekad bekerja dibidang yang membantu komunitas LGBT dalam keseharian mereka.
Klinik C4 didirikan tahun 2017 bagian dari CODIVA kepanjangan dari Coalition for diversity and action atau koalisi untuk aksi keberagaman. CODIVA sudah terlebih dahulu berdiri sejak 2015 untuk memperjuangkan kesetaraan hak LGBT di Timor Leste. Kesetaraan hak bagi LGBT dijamin konstitusi Timor Leste, pandangan tradisional di masyarakat Katolik yang kuat masih tidak sepenuhnya menerima LGBT secara positif.
Menurutnya pandangan masyarakat dan kalangan LGBT bahwa situasi komunitas LGBT sekarang di Timor Leste sudah jauh lebih baik dibanding beberapa tahun lalu. " Dulu sering diejek orang. Sekarang pun masih ada juga, tapi sudah jauh lebih sedikit ", dan sekarang, komunitas transgender juga sudah lebih berani untuk mengenakan pakaian sebagai transgender perempuan, kalau dulu, masih takut-takut bahkan mengatakan bahwa keadaan itu lebih baik berbanding yang dialami kalangan LGBT di banyak Negara termasuk di Indonesia.
" Di sini, tidak ada persekusi, atau ramai-ramai yang yang membubarkan kami. Paling-paling, masih ada yang mengejek penampilan kami. Tapi saya kasih pengertian, dan biasanya mereka menerima " dan Ia bersyukur karena keberadaan mereka diakui oleh negara bahkan banyak di antara kalangan transgender, termasuk Romiyati sendiri, dilibatkan dalam berbagai program Kementerian Kesehatan. " Kami dilibatkan bukan hanya untuk berbagi pengalaman atau ikut penyuluhan HIV/AIDS. Tapi juga untuk mempromosikan hak-hak sebagai LGBT yang setara dengan orang lain ", Ujar SiDinGaluh Romiyati.
Melani Putri |
Dorce
memancing ikan Belut,
Kaum
Transgender Timor Leste lebih bermartabat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar