NusanTaRa.Com
byEvaMazrievA, 07/02/2019
byEvaMazrievA, 07/02/2019
Pemimpin Nahdatul Ulama Abdurrahman
Wahid pada tahun 1996 pernah menghebohkan Indonesia ketika mengeluarkan
serangkaian tulisan, yang kemudian dikompilasi menjadi buku ‘’ Tuhan
Tidak Perlu Dibela ’’. Otokritik Gus Dur, panggilan akrab presiden
keempat Indonesia itu, dikecam keras berbagai kalangan yang sebelumnya juga
telah mengkritisi pernyataan-pernyataan tokoh kelahiran Jombang ini, antara
lain soal Islam yang ramah, bukan yang marah atau Islam yang kritis terhadap
aksioma lama, serta Islam yang terbuka pada hal baru, dan sebagainya.
Dalam salah satu tulisannya terkait " Tuhan tidak perlu dibela ".
Gus Dur menyatakan bahwa dalam sejarah, agama
memang sama sekali tidak dapat steril dari berbagai hasrat dan kepentingan
manusiawi, sehingga pada titik tertentu kerap ditunggangi dan diseret ke
wilayah yang cukup politis, menjadikannya semacam legitimasi sikap politis dari
kepentingan suatu kelompok.
" Nama Tuhan dibawa kesana-kemari mirip sebuah
barang dagangan. Kalau sudah demikian, apakah yang terjadi sebenarnya bukan
merupakan reduksi terhadap nilai luhur dari misi agama itu sendiri? ”,
Tanya SiDin Gus Dur ketika itu. Tak
pernah ada yang menyangka jika 22 tahun kemudian, pernyataan itu menjadi salah
satu bagian penting deklarasi persaudaraan yang ditandatangani oleh pemimpin
umat Katholik sedunia, Paus Fransiskus dan Imam Besar Al Azhar Syeikh Ahmed Al
Tayeb.
Ketika menghadiri upacara
penandatanganan di Abu Dhabi awal pekan ini, kedua tokoh berjalan bergandeng
tangan, simbol persaudaraan antar-keyakinan.
Paus Fransiskus dan Imam Besar Al Azhar Syeikh Ahmed Al Tayeb usai
menandatangani deklarasi bersama untuk memerangi ekstremisme di Abu Dhabi, UEA
(4/12). Dokumen yang diklaim
mengatasnamakan seluruh korban perang, persekusi dan ketidakadilan di dunia
itu, menyatakan komitmen Al Azhar dan Vatikan untuk bekerjasama memerangi
ekstremisme. " Kami dengan tegas menyatakan agama tidak
boleh digunakan untuk menghasut terjadinya perang, kebencian, permusuhan dan
ekstremisme, juga untuk memicu aksi kekerasan atau pertumpahan darah ”.
Bagian penting dokumen itu mendorong
semua pihak untuk “menahan diri menggunakan nama Tuhan untuk membenarkan
tindakan pembunuhan, pengasingan, terorisme dan penindasan. Kami meminta ini
berdasarkan kepercayaan kami bersama pada Tuhan, yang tidak menciptakan manusia
untuk dibunuh atau berperang satu sama lain, tidak untuk disiksa atau dihina
dalam kehidupan dan keadaan mereka. Tuhan, Yang Maha Besar, tidak perlu dibela
oleh siapa pun dan tidak ingin nama-Nya digunakan untuk meneror orang.”
Tokoh-Tokoh Agama Ingatkan Misi Awal
Agama Untuk Bela Manusia & Kemanusiaan.
Sejumlah tokoh yang dihubungi VOA hari Rabu (6/2) memuji deklarasi yang
ditandatangani kedua pemimpin itu. Intelektual Muslim Prof. Dr. Komaruddin
Hidayat mengatakan deklarasi itu mengingatkan kembali pada misi awal agama.
“
Agama apapun, pada awal mulanya, adalah untuk membela manusia yang
tertindas. Karena yang beragama khan
bukan Tuhan, yang beragama adalah manusia. Agama itu bukan untuk kepentingan
Tuhan, bukan untuk membela Tuhan. Tuhan justru mengirimkan nabi-nabinya untuk
membela manusia dan kemanusiaan. Jadi ketika agama kemudian digunakan untuk
menciptakan penindasan dan peperangan, maka sesunggunya telah menyalahi misi
inti agama secara primordial, karena semua agama awalnya adalah untuk memihak
orang-orang tertindas ”.
Ditambahkannya, pertemuan itu
menunjukkan betapa kedua tokoh memiliki keprihatinan yang sama tentang
penyalahgunaan agama dalam konflik dan peperangan. Sementara soal kalimat dalam bahasa Inggris
yang jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia berarti “ Tuhan
tidak perlu dibela ”, menurut mantan rektor Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah ini merupakan metafor bahasa.
“
Kata-kata itu bersayap. Kalau pun dibilang membela Tuhan itu sebenarnya
membela hamba-hamba Tuhan, karena dalam kitab suci juga ada ‘kibarkanlah agama
Tuhan.’ Jadi sebenarnya membela agama Tuhan wujudnya adalah membela
kemanusiaan. Memang Tuhan tidak perlu dibela tapi dalam pengertian yang harus
dibela adalah misi kebenaran agama Tuhan, manifestasinya adalah membela
kemanusiaan ’’, Ujar SiDin Prof. Dr. Komaruddin Hidayat rector Univ. Islam Syarif Hiadayatullah
Jakarta.
Romo Aloysius Budi Purnomo di
Keuskupan Agung Semarang mengatakan kepada VOA, kalimat-kalimat yang ada dalam
deklarasi yang ditandatangani Paus Fransiskus dan Imam Besar Al Azhar Syeikh
Ahmed Al Tayeb langsung mengingatkannya pada sosok ulama Indonesia Abdurrahman
Wahid.
“Gus Dur lah yang pada masa hidupnya
selalu mengucapkan kalimat ‘Tuhan tidak perlu dibela.’ Bagi orang-orang yang
tidak menyukai Gus Dur, pernyataan beliau ini akan disalahartikan. Namun
sesungguhnya kalimat lengkapnya adalah ‘Tuhan tidak perlu dibela, yang perlu
dibela adalah makhluk Tuhan yang diperlakukan semena-mena oleh makhluk
lainnya.’ Kalimat Gus Dur itu seakan bergema kembali melalui deklarasi di Abu
Dhabi itu,’’ kata Aloysius.
Lebih jauh tokoh yang pernah menjadi
rektor di Seminari Tinggi Sinaksak, Pematang Siantar, Sumatera Utara itu
menambahkan bahwa “ dokumen di Abu Dhabi
itu sangat menggarisbawahi dan memadukan iman kepada Allah dan sikap membela
kemanusiaan, terutama kaum miskin dan papa
”. Ia menegaskan bahwa, “ Tuhan tidak perlu dibela sebab sikap sok
membela Tuhan kerap kali justru berbuah pada kekerasan dan teror pada sesame ”.
Sementara itu Ketua Lembaga Kajian
dan Pengembangan SDM PBNU (Lakpesdam PBNU) Dr. Rumadi Ahmad mengatakan yang
terpenting saat ini adalah menggaungkan apa yang sudah dicapai di Abu Dhabi
itu. “
Yang terpenting hal-hal seperti ini harus terus disuarakan dan
digaungkan, jangan sampai padam. Meskipun di Indonesia sudah lama dibicarakan,
deklarasi ini tetap penting untuk semakin memberi semangat pada umat Islam dan
umat lain yang selama ini sudah lama menyuarakannya ’’, Ujar SiDin Rumadi.
Rumadi Ahmad juga mencatat kesediaan
dan keberanian Paus Fransiskus dan Imam Besar Al Azhar Syeikh Ahmed Al Tayeb
membahas berbagai isu lain yang strategis seperti soal kewarganegaraan
berdasarkan persamaan hak dan kewajiban, pengakuan hak-hak perempuan,
Islamophobia dan stereotip anti-Barat dan lain-lain. “ Adanya
kemauan dan keberanian untuk membicara hal-hal itu untuk berdialog dengan orang
yang berbeda, mengetahui pandangan dan posisi masing-masing, ini jauh lebih baik
dan bermanfaat dibanding bicara setengah kamar dan kemudian yang keluar adalah
prasangka, judgement tanpa mengetahui secara persis apa masalah sebenarnya pada
isu-isu itu ”, Ujar SiDin Rumadi
Ahmad.
Dalam pidato Senin (4/2) malam seusai
lawatan pertama kepausan ke Semenanjung Arab, yang merupakan tempat lahirnya
Islam, Paus menggarisbawahi bahwa, “Kami (Paus dan Syeikh Tayeb.red) di sini
untuk perdamaian, untuk mempromosikan perdamaian dan menjadi instrumen
perdamaian. Kekerasan, ekstremisme atau fanatisme atas nama agama tidak pernah
dapat dibenarkan ”.
drVAO, 07/02/2019
Perbedaan manusia satu kuasaNya,
Tuhan tidak perlu di bela.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar