NusanTaRa.Com
byMcDonalDBiunG, 26/1/2018.
Tiga
kerajaan yang masuk wilayah Indonesia dan Kerajaan Ambenu di Timor Leste pun
mengakui batas-batas wilayah adat sesuai dengan sumpah mereka, yang tertuang
dalam kesepakatan mengenai sengketa Tapal Batas
Indonsia – Timor Leste yang diselenggarakan di Kecamatan Amfoaang Timur
Kabupaten Kupang pada Senin 14 November
2017. Raja Amfoang, Robby G.J. Manoh,
pun berharap pemerintah pusat menindaklanjuti kesepakatan para raja yang
menghasilkan beberapa butir penting tentang lahan perbatasan yang jadi sengketa
tersebut sejak dahulu.
Meski lahan
tersebut secara yuridis telah ada kesepakatan antara pemerintah Indonesia dan Timor
Leste namun hingga sekarang belasan
tahun berlalu, ternyata penyelesaian sengketa batas wilayah antara Republik
Indonesia dan Timor Leste di Naktuka (Noel Besi-Citrana), secara resmi belum
tuntas karena masyarakat adat (kerajaan dikedua wilayah belum mengakui) .
Wilayah yang dipersengketkan kedua
wilayahadat tersebut meliputi areal pertanian yang cukup luas 1.069 ha, terletak di antara
Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT) dengan Distrik Oecusse, Timor
Leste. "Padahal, ada batas alam
berupa Noel Besi (sungai besar). Namun, mereka warga Timor Leste tetap
menyeberang ke wilayah kita (Indonesia)," ucap Raja Amfoang, Robby G.J. Manoh
di Jakarta, Senin, 22 Januari 2018.
Menurut Robby G.J, Manoh Raja ke-18
Kerajaan Amfoang bahwa batas Kerajaan Amfoang dengan Kerajaan Ambenu di Oekusi Timor Leste I
Sungai Noel Besi dan Bukan di Nonomna (Sungai kecil) sebagaimana di akui Timor leste
dan sengketa batas wilayah itu bermula sejak jajak pendapat tahun 1999 yang
berujung provinsi ke-27 RI yang berujung dengan terbentuknya negara
sendiri yakni Republik Demokratik Timor
Leste atau Timor Lorosa'e.
Beberapa
tahun kemudian ratusan warga Timor Leste
mulai menggarap lahan dan membangun permukiman di luar batas Patok hingga
kini luas 1.069 ha, hal menimbulkan
perselisihan antara kedua masyarakat wilayah tersebut. Untuk mengatasi sengketa batas tersebut kedua negara melakukan berbagai langkah
diplomasi untuk menyelesaikan masalah,
termasuk pertemuan dua delegasi di Jakarta, pada 16-17 April 2003. Menurut Robby Manoh, Indonesia yang
diwakili Kerajaan Amfoang dan Pemerintah Provinsi NTT terlibat dalam perundingan yang
intinya menyepakati batas antara
Kerajaan Amfoang dan Kerajaan Ambenu di Timor Leste secara adat mengakui batas negara yang sudah ada patok daerah
steril.
Sejak tahun
2003, penyelesaian sengketa perbatasan oleh Kementerian Luar Negeri RI belum
ada titik terangnya, " Dengan adanya kesepakatan raja itu, republik
ini bisa membuka mata, sehingga permasalahan tidak berlarut-larut ",
Ujar SiDin Robby Manoh. Bila
tidak akan berdampak kepada masyarakat
seperti kecemburuaan Sosial. Raja
Amfoang juga mengingatkan kepada Presiden Jokowi agar memantau jalannya hasil
kesepakatan untuk menyelesaikan sengketa
tapal batas antara Indonesia dan Timor Leste,
kenyataan di lapangan saat ini sekitar 163 kepala keluarga dari Timor
Leste menggarap lahan sengketa di Naktuka.
Di hadiri
sekitar 350 orang dari perwakilan pemerintah serta tokoh adat kedua
negara, Pertemuan 14
November 2017 tahun lalu menghasilkan pernyataan bersama
yang dituangkan dalam bentuk tertulis
yang ditandatangani oleh keempat raja, yaitu Raja Liurai, Raja Sonbait,
Raja Amfoang dari Indonesia dan Raja Ambenu dari Timor Leste.
Isi
kesepakatannya antara lain:
1.
Memperkokoh tali persaudaraan dalam rangka melestarikan nilai-nilai adat
istiadat yang telah ditanamkan oleh para leluhur dalam filosofi Nekaf Mese
Ansaof Mese Atoni Pah Meto.
2. Mendukung
tegaknya perdamaian di tapal batas sebagaimana telah ditetapkan dalam sumpah
adat oleh para leluhur dan diharapkan kedua negara.
3. Menjalin
kerja sama dalam rangka meningkatkan harkat dan martabat masyarakat di bidang
sosial, budaya, dan ekonomi.
4. Mengakui
dan memperteguh batas-batas adat antar Kerajaan Liurai Sila, Sonbai Sila, Beun
Sila, dan Afo Sila sesuai dengan sumpah mereka.
5. Garis
batas antarnegara tidak menjadi titik sengketa sebagaimana terjadi selama ini,
melainkan menjadi titik sosial dan titik persaudaraan.
6. Hasil
pertemuan perlu disosialisasikan kepada seluruh masyarakat kedua negara.
7. Mendorong
pemerintah kedua negara agar memfasilitasi pertemuan serupa pada tahun 2018 di
Ambenu, hal-hal teknis terkait kehadiran peserta agar tidak dipersulit.
8. Mendorong
dan mendesak pemerintah kedua negara agar segera menyelesaikan titik-titik
batas yang belum diselesaikan.
Delapan poin
pernyataan bersama hasil pertemuan tokoh adat RI-RDTL, telah disetujui oleh
keempat raja yang disaksikan oleh tokoh adat dan tokoh masyarakat kedua Negara,
yang tentunya akan memberikan satu jalan dukungan bagi penyelesaian secara
tuntas persoalan di wilayah tersebut.
Kesepakatan ini akan menjadi acuan dalam perundingan diplomasi antara
Pemerintah RI yang diwakili oleh Kementerian Luar Negeri, Kementerian Dalam
Negeri, dan Kemenko Polhukam dengan Pemerintah RDTL. Dengan demikian, masalah
batas wilayah antara kedua negara ini dapat diselesaikan secara tuntas dan
tidak terjadi permasalahan pada masa yang akan datang.
Dimana Bumi disitu ada langit,
Kearifan tokoh adat petunjuk bagi masyarakat adat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar