Senin, 12 Februari 2018

NUANSA ALAMI KAMPUNG KWAU DI KAKI PEGUNUNGAN ARFAK DENGAN KEARIPAN LOKALNYA.

NusanTaRa.Com
byLasikUAgaY,  20/1/2018
Jalur Transportasi di kaki Pegunungan ARFAK
Kampung Kwau  berada di kaki Pegunungan Arfak terbilang daerah yang sangat alami menyimpan kekayaan satwa dan tanaman endemik, serta kearifan lokal tak ternilai yang masih dianut penghuninya.   Di kawasan ini  masih terlihat kabut yang menutupi  bahkan hingga matahari hampir menegak dan curah hujan yang tinggi di kelilingi hutan-hutan yang menghijau hingga ke puncak pegunungan  Arfak.  Karena tingginya Biodiversity  maka di daerah ini Alfred Russel Wallace sempat menjejakkan kakinya disini demi mengumpulkan berbagai organisme hewan alam liar untuk  melengkapi ekspedisinya  selama di Bumi Nusantara.    Alfred Russel Wallace setengah abad silam pernah menginjakkan kaki di tanah Papua yang lengas via Teluk Doreri sebuah kawasan perairan yang kini bernama Manokwari,   dia menjelajah pulau-pulau di Nusantara mulai tahun 1854 hingga tahun 1862 demi menjaring rupa-rupa spesimen hewan dari alam liar. 

Kampung Syoubri di kaki Peg. Arfak

Ekspedisinya tersebut berhasil melahirkan rumusan teori evolusi berdasar seleksi alam yang terpisah dari penelitian Darwin, meski dia harus menginap dihutan pada pondok kayu berlantai bamboo seluas 30 m2 berjarak 200 meter dari laut sebagai tempat pengamatan.  "  (Saya memasang) jendela besar mengarah ke laut, dan saya letakkan sebuah meja di situ. Di dekatnya membujur tempat tidur  ", Ujar SiDin Wallace dalam bukunya  The Malay Archipelago: The Land of the Orang-Utan and the Bird of Paradise.   Meski ekspedisinya di Manokwari Maret – Juli 1858 telah membawa kematian bagi anggota timnya namun  ia tak dapat menemukan Cenderawasih,   "  Saya tak melihat (cenderawasih) satu pun. Saya juga tak mendapatkan (spesimen) burung dan serangga jempolan  ", Ujar SiDin Wallace dalam tulisannya.   Kalau saja Wallace ke arah Pegunungan Arfak ke hamparan lanskap alam tempat beberapa spesies cenderawasih dan sejumlah burung endemik Nugini (New Guinea)  hidup,   mungkin dia bakal  tertengo  burung . 


Sejujurnya saat di Manokwawi akan menuju Perkampungan di Arfak bukan bama (bahan makanan) kekhawatiran terbesar, tapi malaria. Beberapa artikel yang saya baca di media massa setempat menyebut Manokwari adalah kabupaten dengan prevalensi tertinggi malaria di Papua Barat.  Manokwari  termasuk Kabupaten dengan Prevalensi malaria cukup tinggi di rana Papua namun   Pegunungan Arfak terbebas dari penyakit yang ditularkan nyamuk itu karena daerah arfak berudara sangat dingin sehingga nyamuk tidak bisa hidup disana yang bersuu dingin .   Berbelanja di Manokwari akan lebih baik meski di Kwau Arfak juga ada pasar, karena memiliki  keragam barang yang banyak dan harga lebih baik, seperti di Pasar Wosi penjual  banyak yang datang dari Pulau Sulawesi dan Jawa yang memajang dagangan di lapak semi permanen sementara  Perempuan-perempuan setempat justru banyak menggelar barang jualan di lantai beralas karung.   Di beberapa bagian pasar babi besar mencari makanan di tumpukan sampah, dibuntuti babi-babi kecil,  Udara amis Teluk Doreri digulung aroma bumbu giling.


Firman (dr Gorontalo) sopir si Hilux putih yang akan mengantarkan kami ke Kwau dan Arfak mengatakan,   "  Kalau mobil biasa tidak akan kuat menanjak dan orang Arfak juga tidak akan naik kalau tidak kenal sopirnya karena  dalam hemat mereka jalan yang mesti ditundukkan memiliki tingkat kesulitan tinggi, sehingga biar pakai mobil seperti ini (4WD), bisa juga ke jurang kalau tidak biasa  ".   Omongan Firman bukan bualan karena sekitar dua per tiga rute yang panjangnya kurang dari 50 km melewati bahu,   punggung gunung,   lembah yang belum beraspal  dan  banyak jalur menyempit  karena termakan longsoran  atau memang berkondisi begitu sehingga banyak penumpangnya akan minum Antimo untuk mengantisipasi mabuk darat.  Jalan memiliki daya mengoleng mobil seperti gelombang laut melemparkan kapal nelayan yang akan membuuat orang mudah mabuk. 


Sarang Burng " NANDOUR " yg cerdik mengerti akan Lingkungan dan Warna

Kawasan Pegunungan Arfak sejak awal 1990-an menjadi Cagar Alam, dapat ditempuh dari Manokwari  lewat jalan darat sebelumnya  hanya bisa ditempuh dengan pesawat perintis lewat Menyambouw atau Anggi. Bahkan, warga biasa berjalan kaki 3-5 hari untuk ke pusat kota Manokwari.   Dari kejauhan  pucuk gunung Arfak timbul dan tenggelam seolah saling bertukar tempat dengan halimun  di hiasi warna Hijau gelap bertahta,   kadang aku berpikir berapa lama hijau khas itu bertahan sebelum raung modal menyusup ke tebing tercuram dan lembah terdalamnya.


"  Cepat sekali kalian sampai !  ", Ujar SiDin Hans Mandacan ketika menyambut kami di lereng  tempat Papua Lorikeet Guest House  penginapan kelolaannya  ditemani ibu dan adiknya  Lamboh mereka semua bertelanjang kaki.   Kompleks penginapan terletak di tengah hutan yang dari  jalan raya  tak terlihat karena dibentengi pohon-pohon,  Jalan masuk ke penginapan dikawal pepohonan  yang  membentuk koridor, di ujung lorong sejuk itu  tertulis di Papan  Papua Lorikeet Guest House di Pegunungan Arfak.  Hans Mandacan anggota Suku Hatam  satu dari empat suku besar di Arfak   warga Kampung Kwau  yang jaraknya dari penginapan sekitar 5 km pada ketinggian sekitar 1600 meter di atas permukaan laut (DPL).   hampir seluruh tamu Hans datang untuk mengamati burung, trekking (lintas alam),   berkemah di hutan  dan mau tahu tentang tanaman obat.   Orang-orang Kwau dikenal cakap menggali potensi tumbuh-tumbuhan bersifat menyembuhkan,   Hutan bagi warga di kaki pegunungan Arfak sangat  berharga bagi kehidupan mereka,   mendapatkan sumber pangan, pangan, dan obat-obatan dari hutan.


"  Kami punya prinsip “ igya ser hanjop “, atau berdiri menjaga batas yang pada tahun 2016 ditetapkan sebagai warisan Takbenda Indonesia  ",  Ujar SiDin Hans menjelaskan cara warga merespons alam sekitar  yang mewujudkan  klasifikasi hutan : susti, nimahamti  dan bahamti. "  Rumah, tempat ibadah, tempat berkebun, ada di daerah susti  ", Ujar SiDin lagi.   Nimahamti merupakan hutan penyangga,  di area itu tumbuh pohon-pohon besar,   masih bisa dimanfaatkan warga untuk berburu  dan  meramu  obat atas izin kepala adat namun  membuka hutan untuk kebun atau ladang diharamkan.  Zona teratas adalah Bahamti,  seperti arupadhatu pada Borobudur merupakan  hutan primer, Pepohonan tumbuh teramat rapat serta terbungkus lumut.

Di kawasan nimahamti  kami diajak menengok sarang burung namdur atau burung pintar (Amblyornis inornatus),  orang lokal menyebutnya  Urunyai atau brecew,   bilik pengamatan rusak  yang terbuat dedaunan dan ranting kayu tak jauh dari lokasi biring yang akan diamati.   "  Saya akan tinggalkan  bapak di situ. Kalau sudah dapat gambar, silakan turun sendiri  ",  Ujar Hans.  Selain cenderawasih belah rotan dan parotia arfak, namdur jadi sasaran utama tontonan para turis yang bukan pengamat tulen.   Namdur  termasuk burung endemik  yang sama sekali tak elok,   keunggulannya  terletak pada sarang yang mengandalkan kecakapan ala arsitek berpadu obsesi seorang OCD.   Jika Anda melongok sarang itu anda takkan percaya bahwa bangunan ruwet itu dibangun oleh seekor burung dengan  paruhnya,   lokus yang disusun selama berbulan-bulan itu hanya dimaksudkan untuk  menarik seekor betina untuk kawin. Selepas meluruhkan berahi, namdur jantan akan membiarkan sang betina bersarang di ketinggian pohon untuk bertelur.


Jumat sore 12/1/2018, di penginapan yang diguyur hujan seharian dan tertutup kabut kami berangkat ke Kampung Kwau sebanyak lima orang dua bersenjata parang,  termasuk  si Lamboh  warga Kwau, sebenarnya kawan sudah mengatakan untuk membatalkan tapi aku tetap bersikeras untuk pergi.  Didepan kami melewati kampung Syoubri  yang bermakna sekitar sejam lagi berjalan kaki dengan kondisi jalan rata plus berkabut  kami akan sampai di Kwau.   Syoubri pernah menjadi tempat bermukim Zeth Wonggor pemandu lokal yang jadi masyhur setelah menemani David Attenborough mencari cenderawasih dan kemungkinan kampung itu sudaah ada ketika naturalis Italia, Luigi Maria D'Albertis dan Odoardo Beccari, sukses menjadi penjelajah pertama yang menapak jauh dari pantai Manokwari ke pedalaman Arfak pada 1872 untuk mengumpulkan spesimen burung dan serangga.


Di depan rumah Samuel Mandacan  paman Hans  orang-orang membicarakan Suanggi,   "Semalam ada masuk sini," ujar Hans mengenai subyek dimaksud.    Suanggi pembunuh bayaran  berprofesi  sebagai  agen intelijen,  sebelum beraksi orang suanggi akan mengamati calon korbannya serta segala hal-ihwal mengenainya seperti situasi kampung, rumah, aktivitas rutin dan  "  Dia akan masuk hutan berhari-hari untuk latihan,  supaya tidak gampang tertangkap atau kena panah yakni  ninja  ", Ujar SiDin Han.  Tidak seperti di daerah lain, Kata Hans lagi  suanggi di Arfak tak seperti di daerah lain, tak sembarang membunuh orang.   Latar belakang penugasannya bisa : dendam keluarga turun-temurun,  kesumat pribadi, perebutan kekuasaan, pencurian dan  perzinahan,  mereka biasa siupah dengan kain Timor atau kain Toba  selain  uang,  "  Bisa Rp50 juta ditaruh di atas meja untuk sewa suanggi  ",  Ujar SiDin Hans.   Suanggi dapat saja tidak menjalankan tugasnya  walau sudah dikontrak,  kalau dia merasa punya kedekatan tertentu dengan calon korban bahkan  ia justru dapat berbalik mengeksekusi tuannya.
Menurut kisah Hans,  Suanggi memiliki kemampuan meracun yang tinggi dengan menggunakan tumbuhan dari dalam hutan dan  dulu mudah mengenali suanggi seperti jika seseorang merokok di Arfak  maka dia suanggi,   Soalnya  dia akan mengenali sasarannya lewat asap rokok itu. Asapnya akan jalan ke arah lawannya ,   Tapi, sekarang lihat saja kalian pun merokok.   Sewaktu tengah di Hutan Kungoi, lokasi pengamatan burung, Hans sempat menunjukkan tanaman penawar racun suanggi,  daun tanaman itu mirip daun salak  tanpa duri di batang cara penggunaannya  "  Bagian yang muda diambil, lalu diambil isinya buat obat racun  ", Ujar SiDin Hans.   Setelah berkisah tentang Suanggi , Magrib kamipun pulang ke penginapan dengan suasana mencekam diselimuti kabut bak dinding tinggi seakan bayang dendam berkelebat membayangi perjalanan kami dan kata-kata Hans di penginapan terngiang-ngiang ditelinga  “  suanggi itu bagi kami nyata, bukan bayang-bayang  “
 
Kampung Kwau di kaki Peg. Arfak
Burung Nandour bermain warna,
Perkampungan di Peg. Arfak menjaga kearifan Lokal mereka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

LIMA PEMBUANGAN SAMPAH TERBESAR DI DUNIA, ADA BANTAR GEBANG !!

NusaNTaRa.Com       byBatiSKambinG,        R   a   b   u,    2   0      N   o   p   e   m   b   e   r      2   0   2  4     Tempat Pengelola...