NusanTaRa.Com
byLasikUAgaY, 20/1/2018
byLasikUAgaY, 20/1/2018
Jalur Transportasi di kaki Pegunungan ARFAK |
Kampung Kwau berada di kaki Pegunungan
Arfak terbilang daerah yang sangat alami menyimpan kekayaan satwa dan tanaman
endemik, serta kearifan lokal tak ternilai yang masih dianut penghuninya. Di kawasan ini masih terlihat kabut yang menutupi bahkan hingga matahari hampir menegak dan
curah hujan yang tinggi di kelilingi hutan-hutan yang menghijau hingga ke
puncak pegunungan Arfak. Karena tingginya Biodiversity maka di daerah ini Alfred Russel Wallace
sempat menjejakkan kakinya disini demi mengumpulkan berbagai organisme hewan
alam liar untuk melengkapi
ekspedisinya selama di Bumi Nusantara. Alfred Russel Wallace setengah abad silam
pernah menginjakkan kaki di tanah Papua yang lengas via Teluk Doreri sebuah
kawasan perairan yang kini bernama Manokwari,
dia menjelajah pulau-pulau di Nusantara mulai tahun 1854 hingga tahun 1862
demi menjaring rupa-rupa spesimen hewan dari alam liar.
Kampung Syoubri di kaki Peg. Arfak |
Ekspedisinya tersebut berhasil melahirkan rumusan
teori evolusi berdasar seleksi alam yang terpisah dari penelitian Darwin, meski
dia harus menginap dihutan pada pondok kayu berlantai bamboo seluas 30 m2
berjarak 200 meter dari laut sebagai tempat pengamatan. "
(Saya memasang) jendela besar mengarah ke laut, dan saya letakkan sebuah
meja di situ. Di dekatnya membujur tempat tidur
", Ujar SiDin Wallace dalam bukunya
The Malay Archipelago: The Land of the Orang-Utan and the Bird of
Paradise. Meski ekspedisinya di Manokwari
Maret – Juli 1858 telah membawa kematian bagi anggota timnya namun ia tak dapat menemukan Cenderawasih, "
Saya tak melihat (cenderawasih) satu pun. Saya juga tak mendapatkan
(spesimen) burung dan serangga jempolan ",
Ujar SiDin Wallace dalam tulisannya.
Kalau saja Wallace ke arah Pegunungan Arfak ke hamparan lanskap alam
tempat beberapa spesies cenderawasih dan sejumlah burung endemik Nugini (New
Guinea) hidup, mungkin dia bakal tertengo burung .
Sejujurnya saat di Manokwawi akan menuju Perkampungan di Arfak bukan bama (bahan
makanan) kekhawatiran terbesar, tapi malaria. Beberapa artikel yang saya baca
di media massa setempat menyebut Manokwari adalah kabupaten dengan prevalensi
tertinggi malaria di Papua Barat. Manokwari termasuk Kabupaten dengan Prevalensi malaria
cukup tinggi di rana Papua namun Pegunungan Arfak terbebas dari penyakit yang
ditularkan nyamuk itu karena daerah arfak berudara sangat dingin sehingga
nyamuk tidak bisa hidup disana yang bersuu dingin . Berbelanja
di Manokwari akan lebih baik meski di Kwau Arfak juga ada pasar, karena
memiliki keragam barang yang banyak dan
harga lebih baik, seperti di Pasar Wosi penjual banyak yang datang dari Pulau Sulawesi dan
Jawa yang memajang dagangan di lapak semi permanen sementara Perempuan-perempuan setempat justru banyak
menggelar barang jualan di lantai beralas karung. Di beberapa bagian pasar babi besar mencari
makanan di tumpukan sampah, dibuntuti babi-babi kecil, Udara amis Teluk Doreri digulung aroma bumbu
giling.
Firman (dr Gorontalo) sopir si Hilux putih yang akan
mengantarkan kami ke Kwau dan Arfak mengatakan, "
Kalau mobil biasa tidak akan kuat menanjak dan orang Arfak juga tidak
akan naik kalau tidak kenal sopirnya karena
dalam hemat mereka jalan yang mesti ditundukkan memiliki tingkat kesulitan
tinggi, sehingga biar pakai mobil seperti ini (4WD), bisa juga ke jurang kalau
tidak biasa ". Omongan Firman bukan bualan karena sekitar
dua per tiga rute yang panjangnya kurang dari 50 km melewati bahu, punggung gunung, lembah
yang belum beraspal dan banyak jalur menyempit karena termakan longsoran atau memang berkondisi begitu sehingga banyak
penumpangnya akan minum Antimo untuk mengantisipasi mabuk darat. Jalan memiliki daya mengoleng mobil seperti
gelombang laut melemparkan kapal nelayan yang akan membuuat orang mudah
mabuk.
Sarang Burng " NANDOUR " yg cerdik mengerti akan Lingkungan dan Warna |
Kawasan Pegunungan Arfak sejak awal 1990-an
menjadi Cagar Alam, dapat ditempuh dari Manokwari lewat jalan darat sebelumnya hanya bisa ditempuh dengan pesawat perintis
lewat Menyambouw atau Anggi. Bahkan, warga biasa berjalan kaki 3-5 hari untuk
ke pusat kota Manokwari. Dari kejauhan pucuk gunung Arfak timbul dan tenggelam
seolah saling bertukar tempat dengan halimun
di hiasi warna Hijau gelap bertahta, kadang aku berpikir berapa lama hijau khas
itu bertahan sebelum raung modal menyusup ke tebing tercuram dan lembah
terdalamnya.
"
Cepat sekali kalian sampai !
", Ujar SiDin Hans Mandacan ketika menyambut kami di lereng tempat Papua Lorikeet Guest House penginapan kelolaannya ditemani ibu dan adiknya Lamboh mereka semua bertelanjang kaki. Kompleks penginapan terletak di tengah hutan
yang dari jalan raya tak terlihat karena dibentengi
pohon-pohon, Jalan masuk ke penginapan
dikawal pepohonan yang membentuk koridor, di ujung lorong sejuk itu tertulis di Papan Papua Lorikeet Guest House di Pegunungan
Arfak. Hans Mandacan anggota Suku Hatam satu dari empat suku besar di Arfak warga Kampung Kwau yang jaraknya dari penginapan sekitar 5 km
pada ketinggian sekitar 1600 meter di atas permukaan laut (DPL). hampir seluruh tamu Hans datang untuk
mengamati burung, trekking (lintas alam),
berkemah di hutan dan mau tahu tentang tanaman obat. Orang-orang Kwau dikenal cakap menggali
potensi tumbuh-tumbuhan bersifat menyembuhkan,
Hutan bagi warga di kaki pegunungan Arfak sangat berharga bagi kehidupan mereka, mendapatkan sumber pangan, pangan, dan
obat-obatan dari hutan.
"
Kami punya prinsip “ igya ser hanjop “, atau berdiri menjaga batas yang
pada tahun 2016 ditetapkan sebagai warisan Takbenda Indonesia ",
Ujar SiDin Hans menjelaskan cara warga merespons alam sekitar yang mewujudkan klasifikasi hutan : susti, nimahamti dan bahamti. " Rumah, tempat ibadah, tempat berkebun, ada di
daerah susti ", Ujar SiDin
lagi. Nimahamti merupakan hutan
penyangga, di area itu tumbuh
pohon-pohon besar, masih bisa dimanfaatkan warga untuk berburu dan meramu obat atas izin kepala adat namun membuka hutan untuk kebun atau ladang
diharamkan. Zona teratas adalah Bahamti,
seperti arupadhatu pada Borobudur
merupakan hutan primer, Pepohonan tumbuh
teramat rapat serta terbungkus lumut.
Di kawasan nimahamti kami diajak menengok sarang burung namdur
atau burung pintar (Amblyornis inornatus),
orang lokal menyebutnya Urunyai atau brecew, bilik pengamatan rusak yang terbuat dedaunan dan ranting kayu tak
jauh dari lokasi biring yang akan diamati.
" Saya akan tinggalkan bapak di situ. Kalau sudah dapat gambar,
silakan turun sendiri ", Ujar Hans.
Selain cenderawasih belah rotan dan parotia arfak, namdur jadi sasaran
utama tontonan para turis yang bukan pengamat tulen. Namdur termasuk burung endemik yang sama sekali tak elok, keunggulannya terletak pada sarang yang mengandalkan
kecakapan ala arsitek berpadu obsesi seorang OCD. Jika
Anda melongok sarang itu anda takkan percaya bahwa bangunan ruwet itu dibangun
oleh seekor burung dengan paruhnya, lokus
yang disusun selama berbulan-bulan itu hanya dimaksudkan untuk menarik seekor betina untuk kawin. Selepas
meluruhkan berahi, namdur jantan akan membiarkan sang betina bersarang di
ketinggian pohon untuk bertelur.
Jumat sore 12/1/2018, di penginapan yang
diguyur hujan seharian dan tertutup kabut kami berangkat ke Kampung Kwau
sebanyak lima orang dua bersenjata parang, termasuk
si Lamboh warga Kwau, sebenarnya
kawan sudah mengatakan untuk membatalkan tapi aku tetap bersikeras untuk pergi. Didepan kami melewati kampung Syoubri yang bermakna sekitar sejam lagi berjalan
kaki dengan kondisi jalan rata plus berkabut
kami akan sampai di Kwau.
Syoubri pernah menjadi tempat bermukim Zeth Wonggor pemandu lokal yang
jadi masyhur setelah menemani David Attenborough mencari cenderawasih dan
kemungkinan kampung itu sudaah ada ketika naturalis Italia, Luigi Maria
D'Albertis dan Odoardo Beccari, sukses menjadi penjelajah pertama yang menapak
jauh dari pantai Manokwari ke pedalaman Arfak pada 1872 untuk mengumpulkan
spesimen burung dan serangga.
Di depan rumah Samuel Mandacan paman Hans
orang-orang membicarakan Suanggi,
"Semalam ada masuk
sini," ujar Hans mengenai subyek dimaksud. Suanggi pembunuh bayaran berprofesi
sebagai agen intelijen, sebelum beraksi orang suanggi akan mengamati
calon korbannya serta segala hal-ihwal mengenainya seperti situasi kampung,
rumah, aktivitas rutin dan " Dia akan masuk hutan berhari-hari untuk
latihan, supaya tidak gampang tertangkap
atau kena panah yakni ninja ", Ujar SiDin Han. Tidak seperti di daerah lain, Kata Hans lagi suanggi di Arfak tak seperti di daerah lain, tak
sembarang membunuh orang. Latar belakang penugasannya bisa : dendam
keluarga turun-temurun, kesumat pribadi,
perebutan kekuasaan, pencurian dan
perzinahan, mereka biasa siupah
dengan kain Timor atau kain Toba selain uang, " Bisa Rp50 juta ditaruh di atas meja untuk sewa
suanggi ", Ujar SiDin Hans. Suanggi dapat saja tidak menjalankan
tugasnya walau sudah dikontrak, kalau dia merasa punya kedekatan tertentu
dengan calon korban bahkan ia justru
dapat berbalik mengeksekusi tuannya.
Menurut kisah Hans, Suanggi memiliki kemampuan meracun yang
tinggi dengan menggunakan tumbuhan dari dalam hutan dan dulu mudah mengenali suanggi seperti jika
seseorang merokok di Arfak maka dia
suanggi, Soalnya dia akan mengenali sasarannya lewat asap rokok
itu. Asapnya akan jalan ke arah lawannya ,
Tapi, sekarang lihat saja kalian pun merokok. Sewaktu tengah di Hutan Kungoi, lokasi
pengamatan burung, Hans sempat menunjukkan tanaman penawar racun suanggi, daun tanaman itu mirip daun salak tanpa duri di batang cara penggunaannya " Bagian
yang muda diambil, lalu diambil isinya buat obat racun ", Ujar SiDin Hans. Setelah berkisah tentang Suanggi , Magrib
kamipun pulang ke penginapan dengan suasana mencekam diselimuti kabut bak
dinding tinggi seakan bayang dendam berkelebat membayangi perjalanan kami dan
kata-kata Hans di penginapan terngiang-ngiang ditelinga
“ suanggi itu bagi kami nyata,
bukan bayang-bayang “
Kampung Kwau di kaki Peg. Arfak |
Burung Nandour bermain warna,
Perkampungan di Peg. Arfak menjaga kearifan Lokal mereka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar