NusaNTaRa.Com
byKariTaLa L A, K a m i s, 1 1 N o v e m b e r 2 0 2 1
Meski Abdul
Muthalib Sangadji atau A M Sangadji adalah seorang pejuang
yang seangkatan dengan pahlawan
HOS Tjokroamnito dan Haji Agus Salim dalam masa jaya-jayanya SI dalam dasawarsa
tahun dua-puluhan dulu dan mereka
bertiga boleh dikatakan merupakan trio yang saling melengkapi dalam pimpinan SI. Oemar Dahlan tertarik menulis artikel terkait Sangadji, karena tidak banyak buku
atau tulisan sejarah pergerakan Nasional
khususnya yang berkaitan dengan SI
mengungkap nama A M Sangadji.
Kiprah
A M Sangadji dalam sejarah pergerakan perjuangan kemerdekaan Indonesia, tidak banyak diulas dalam buku-buku sejarah, padahal
ia sosok yang dikenal juga sebagai salah satu dari tiga serangkai
Syarekat Islam, bersama HOS Tjokroaminoto dan Haji Agus Salim. Dia juga salah satu peserta Sumpah Pemuda
1928 di Jakarta. Oemar Dahlan, dalam
Majalah Suara Muhammadiyah terbitan No.4/64 TH 1984 menulis artikel berjudul “Monumen A M Sangadji di Tenggarong (Tokoh Trio SI : Tjokro-Salim–Sangadji)”, karena
penasaran nama A M Sangadji tidak
banyak dikenal dan ditulis seperti dua nama dari trio Syarekat Islam (SI),
yakni HOS Tjokroaminoto dan Haji Agus Salim.
Tiga
nama ini dikenal sebagai trio SI, yang kemudian menjadi Partai Syarekat Islam
Indonesia yang lebih dikenal dengan
PSII. Apalagi menurut Oemar Dahlan Sangadji adalah tokoh penting di Kalimantan
Timur, terutama Tenggarong, Kutai Kartanegara.
“ Tidak sedikit dari pemuda
Samarinda dan Kalimantan pada umumnya,
yang sesudah Indonesia merdeka menjadi orang-orang penting, juga dalam
pemerintahan, yang tadinya menjadi “murid”
Sangadji, setidaknya pernah berguru pada
Sangadji ”, Ujar SiDin Oemar Dahlan dalam tulisannya
itu.
Salah
satu rujukan Oemar Dahlan dalam
mengungkap nama A M Sangadji dalam tulisan itu, karena dia membaca
artikel yang ditulis Mr. Mohammad Roem dengan judul, “ Potret HOS Tjokroaminoto”, yang
dimuat Majalah “Budaya Djaja” Jakarta,
No. 52 bulan September 1972. Dalam
artikel tersebut Roem mengatakan Tjokro-Salim-Sangadji adalah masing-masing
orator “Par exelence”, ahli pidato ulung, yang mempunyai ciri sendiri-sendiri. Roem sendiri adalah seorang diplomat dan
salah satu pemimpin di Indonesia di masa perang kemerdekaan bahkan ia pernaah menjabat sebagai Wakil
Perdana Menteri, Menteri Luar Negeri, kemudian Mendagri di era Presiden
Soekarno.
Konon,
lanjut Roem, Sangadji memiliki suara saat pidato seperti geledek dan digelar “Si
Jago Tua” sedangkan Tjokro memiliki
keistimewaan suara konsisten dan berwibawa, sehingga orang di baris depan
mendegar suara Tjokro sama kerasnya dengan orang di belakang. Kombinasi trio Tjokro dari Jawa, Salim dari
Padang-Minangkabu dan Sangadji dari
Maluku-Ambon, menggambarkan corak perjuangan kebangsaan kemerdekaan Indonesia kala itu, saat Bhineka Tunggal Ika semboyan Negara sesudah kemerdekaan, Roem kemudian teringat kombinasi Tokro-Salim-Sangadji di tahun 1925.
Dalam
buku Sam Habib Mony, “A M Sangadji menuju Indonesia Merdeka”, terbitan Halaman Moeka Publishing, 2016,
Jakarta, Sangadji juga berkiprah dalam
Ambon Seileiden atau Sarikat Ambon organisasi pemuda berhaluan
nasional republik yang didirikan Alexander
Jacop Patty di Semarang tahun 1927, karena
A Y Patty ditangkap Belanda maka
terbentuklah Syarikat Ambon lainnya oleh
Mr. J Latuharhary di Surabaya. Perkumpulan
Pemuda Ambon yang bernama Moloeksch
Politiek Verbond dibawah pimpinan dr. Apituley dan dr. Tehupiory, mereka melihat bahwa cara radikal AY Patty telah
merugikan Syarikat Ambon karena sering mendapat reaksi keras dari Belanda,
sehingga berkeinginan Indonesia tetap
dengan kerajaan Belanda.
Menjelang
peristiwa Sumpah Pemuda 1928, terjadi rapat
pemuda di Jakarta selama dua hari, dari 27 – 28 Oktober 1928 untuk mengikrarkan
Sumpah Pemuda. Sebanyak 80 orang pemuda
dari berbagai daerah sebagai panitia dan
peserta. Saat itu Sangadji sudah aktif di PSII, sedangkan Johanis Leimena aktif Parkindo. Keduanya kemudian menjadi utusan Jong Ambon. Leimena menjadi panitia dan Sangadji menjadi peserta utama dalam rapat-rapat dan peristiwa
sumpah pemuda.
Awal
Mula Pergerakan
Setelah
Sangadji menyelesaian sekolah Mulo di
Ambon tahun 1909, kemudian ia bekerja sebagai Grifeer Landraad atau
panitera di Pengadilan Negeri Saparua, kakak tertua Abdoullah Sangadji bekerja di
kantor Residence van Ambon kakak kedua
penyidik di kantor Hoofd Djaksa Amboina. Sangadji
anak ketiga dari 4 bersaudara dari orang tua Abdul Wahab Sangadji dan
Sitti Saad Pattisahusiswa. Dua tahun setelah ayahnya diangkat menjadi raja
Rohomoni 1887, pada 3 Juni 1889 Sangadji lahir di kampungnya. Ibunya adalah
putri Raja Negeri Siri Sori Islam bernama
Abdul Madjid Pattisahusiwa.
Pada
tahun 1919, Sangadji memilih pindah ke Surabaya masih dalam pekerjaan sebagai
Grifeer Landraad yang menetap di Gang
Blauran IV Surabaya. Meskipun bekerja
di jawatan pemerintah Belanda, Sangadji
tidak suka dengan cara Belanda menjajah republic, sehingga dia seringkali membangkan dalam
tugasnya, dan memilih kembali pulang ke
kampungnya. Di tahun 1922 dia bergabung
dengan SI bersama Tjokro dan Agus Salim,
di SI Sangadji diberi jabatan sebagai Ketua Lajnah
Tanfiziah (eksekutuf partai), karena kecakapannya dalam berpidato dan memahami ilmu
hukum dengan handal satu kepiawaian penting sebagai propagandis republik melalui
SI yang kemudian menjadi PSII.
Menuju
Indonesia Merdeka
Sekitar pertengahan tahun 1939, seperti dalam tulisan Oemar Dahlan, Sangadji datang di Samarinda, sebagai tokoh Pemimpin Pergerakan “Penyadar”, Pergerakan “Penyadar” adalah pecahan dari PSII sepeninggalnya Tjokro, dimana Sangadji dan Salim menjadi tokohnya. Di Tenggarong dia mendirikan Balai Pengadjaran dan Pendidikan Rakjat untuk mengelola Neutrale School untuk menampung anak-anak sekolah dari kalangan Bumiputera.
Sekian
lama dia mendidik rakyat di Kutai, Tenggarong dan Samarinda. Setelah mendegar kabar proklamasi kemerdekaan
republik oleh Soekarno-Hatta dari Jakarta, Sangadji mengkoordinir suatu perjalanan panjang dari
Samarinda ke Banjarmasin untuk bertemu
dengan pimpinan BPRI untuk mengabari kemerdekaan, mengibarkan bendera merah
putih dan memberikan kesadaran kepada rakyat di daerah-daerah yang dilaluinya. Dalam perjalanan Sangadji
ditangkap Belanda di Marabahan Kalimantan Selatan dan
April 1946 dipenjara di Banjarmasin, yang lokasi penjaranya sekarang
ditempati Gedung Pos Besar Banjarmasin.
Penjara penuh sesak tahanan, dari penangkapan
besar-besaran yang dilakukan Belanda
akibat pemberontakan di tiga tempat, yakni 9 November 1945 di Banjarmasin, 5
Desember 1945 di Marabahan, dan pemberontakan “Trekesuma” di Barabai 19-20
Maret 1946. Saking sesaknya penjara,
sehingga para tahanan didalamnya
hanya bisa berdiri, sukar bernapas, bahkan kelaparan. Mereka hanya diberi makan sekali sehari, dengan
porsi sepiring dibagi empat, kunun
curitanya saking lapar kulit pisang yang dilempar sipir penjara, akan menjadi
santapan dan rebutan tahanan.
Dalam
Majalah Mandau terbitan Ikatan Perjuangan Kalimantan di Jogyakarta 1948, Si
Jago Toea ini menceritakan : “ Keadaan kami
ketika itu dalam penjara adalah sebagai daerah merdeka, daerah republik
di tengah-tengah daerah musuh. Di sana ada pamong prajanya, ada polisinya, ada kadi-nya dan terutama
pemuda-pemuda sebagai prajurit menjadi
isi tempat tahanan itu ”. Dari penjara Banjarmasin Sangadji menyeberang
ke Pulau Jawa, ia memimpin Laskar Hisbullah
yang berpusat Jogyakarta dan pernah
menugaskan R Soedirman untuk membentuk
Laskar Hisbullah di daerah Martapura dan Pelaihari, serta Tamtomo sebagai
penghubung Markas Besar Hisbullah Yogyakarta untuk Kalimantan.
A M Sangadji meninggal ditembak mati militer ketika Agresi Militer Belanda II di Jogyakarta 8 Mei 1949 dan dimakamkan di pemakaman Blunyah Gede, Sinduadi, Mlati, Slema Jogyakarta. Untuk mengenang jasanya namanya diabadikan di ruas jalan di Kota Yogyakarta dari arah Tugu Jogya kea rah utara hingga tahun 2016, di Tenggarong, Kutai Kertanegara, sebuah moumen berupa patung A M Sangadji dibangun dan berdiri kokoh.
Monument A M Sangadji di Tenggarong |
Berpolitik
tegakkan perjuanam,
A M
Sangadji tokoh Pendiri Syarikat Islam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar