Jumat, 16 Oktober 2020

3 SOLUSI MEMPERBAIKI KINERJA RISET DOSEN YANG HANYA SEPERTIGANYA.

 NusanTaRa.Com                                                                                                 byAnditAAuliAPratamA,                                                                           16    A g u s t u s    2020  

Berdasarkan Science and Technology Index (SINTA) keluaran Kementerian Riset dan Teknologi, saat ini jumlah orang yang telah mempublikasikan artikel ilmiah baru mencapai sekitar 200 ribu orang.  Padahal, jumlah dosen dan peneliti di Indonesia yang tercatat di basis data Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)  dan juga Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan totalnya melebihi 305 ribu orang, bermakna lebih dari sepertiganya belum mempublikasikan artikel ilmiah yang menjadi salah satu tuntutan profesi mereka.

Indeks riset  keluaran  jurnal ternama Nature,  keluaran riset Indonesia dalam satu tahun terakhir  menempati urutan ke-11 di Asia Pasifik, kalah dari Vietnam dan Thailand yang memiliki jumlah dosen yang jauh lebih sedikit.  Sementara Riset memiliki peranan sangat penting dalam pembangunan suatu negara baik sebagai inovasi maupun tuntunan pembangunan.  Data di atas menunjukkan bahwa jumlah akademisi yang menghasilkan penelitian masih sangat sedikit apabila dibanding dengan negara-negara maju.

Publikasi berkualitas tinggi yang melalui proses (peer-review)   atau tinjauan ketat oleh tim akademisi lain - pun masih sedikit,   dari  2,8 juta dokumen ilmiah peneliti Indonesa di Google Scholar hanya 100 ribu artikel jurnal terindeks Scopus (salah satu pengindeks artikel ilmiah dengan kualitas riset tinggi yang saat ini diakui di Indonesia).  Saya melihat ada beberapa alasan mengapa tidak semua dosen Indonesia menjadi peneliti  :  beratnya beban tugas mereka dalam mengajar, masih buruknya sistem evaluasi kinerja riset, serta kurangnya jumlah dosen yang memiliki kompetensi doktoral.  Dari masalah tersebut, saya menawarkan tiga solusi sebagai berikut  :

Beban mengajar dosen terlalu berat,  sediakan ‘staf akademik’ khusus.


Dalam satu semester, dosen diwajibkan memenuhi beban kerja ‘Tri Dharma’ - mengajar, melakukan penelitian, serta terlibat dalam pengabdian masyarakat - sebanyak minimal 12 SKS (satuan kredit semester) dalam hal angka ini cukup mudah dipenuhi mengingat dosen Indonesia kebanyakan mencapai sekitar 15 SKS.

Riset tersebut menyoroti bahwa beban jatuh terlalu terbanyak pada porsi pengajaran,  dosen tidak hanya bertanggung jawab atas isi materi perkuliahan, namun juga metode pembelajaran hingga evaluasi belajar mahasiswa dan semua itu cukup memberatkan kerja dosen  dalam bidang pengajaran.  Padahal, untuk mendukung sistem pendidikan tinggi yang berkualitas, harusnya ada pemisahan antara perumusan pedagogi dengan substansi mata kuliah.

Saya menyarankan universitas untuk menyediakan staf kependidikan khusus sebagaimana  lazim diterapkan di universitas maju seperti di Singapura - untuk membantu dosen menyusun teknis penyampaian dan sistem evaluasi dalam suatu mata kuliah.   Staff kependidikan membantu dosen dalam mendesain, mengajar, dan mengevaluasi mata kuliah di National University Singapore. (Fun Man Fung, Ph.D), Author provided (No reuse).

Penelitian di tiga universitas Eropa menunjukkan bahwa melibatkan ahli pedagogi dalam merancang pembelajaran daring,  misalnya, dapat membuat teknologi, materi  dan desain pembelajaran menjadi lebih baik.   Inti keterlibatan mereka akan memberi keleluasaan bagi dosen agar dapat fokus melaksanakan penelitian.

 Sistem evaluasi kinerja riset harus mendorong dosen untuk meneliti

Setelah mengurangi beban kerja dosen dalam bidang pengajaran, hal selanjutnya adalah membangun sistem pengawasan kinerja penelitian dosen yang membantu mereka melatih kapasitas riset.   Saat ini dosen diwajibkan untuk mengisi Beban Kinerja Dosen (BKD) di awal semester, Laporan Kinerja Dosen (LKD) di akhir semester, serta Sasaran Kerja Pegawai (SKP) setiap tahun.   Ketiga dokumen ini sama-sama berisi rincian pekerjaan yang dilakukan dosen - berapa porsi SKS untuk pendidikan, penelitian, pengabdian, dan kegiatan lain.

Untuk kapasitas meneliti, sistem pelaporan dan evaluasi semestinya dibangun berdasarkan indikator performa riset yang terukur dan objektif.   Sistem evaluasi riset nasional Australia atau Excellence in Research for Australia (ERA), misalnya, tidak hanya melihat jumlah penelitian dan keterlibatan dalam kegiatan riset,  tapi juga :  kualitas penelitian (melalui analisis sitasi, telaah sejawat oleh komite riset, dan menimbang reputasi karya ilmiah yang diterbitkan); serta dampak penelitian  (seperti paten yang dihasilkan, dan pendapatan dari komersialisasi riset).

Jika indikator-indikator ini dimasukkan ke dalam pelaporan dan evaluasi kinerja dosen dalam sistem Pendidikan Tinggi (DIKTI), dosen bisa memiliki insentif untuk meningkatkan kapasitas riset mereka karena kenaikan jabatan dan tunjangan finansial mempertimbangkan pengalaman dan pencapaian mereka dalam riset.   Sistem laporan dan evaluasi sebaiknya juga dilengkapi oleh statistik dan pemeringkatan nasional agar dosen juga bisa melihat di bagian mana kapasitas riset mereka masih tertinggal.

 Berikan akses luas untuk peningkatan kompetensi riset dosen.

Organisasi Kerjasama dan Pengembangan Ekonomi Dunia (OECD) menjelaskan bagaimana gelar doktor merupakan predikat akademik tertinggi yang memiliki kompetensi terbaik dalam melaksanakan riset. Gelar doktor juga memudahkan peneliti untuk mendapatkan pendapatan lebih tinggi, peluang riset yang lebih luas, dan juga akses lebih untuk kesempatan pengembangan diri.


Hasil Riset  menyebutkan bahwa dosen lulusan S3 akan cenderung menghabiskan waktu lebih banyak melakukan penelitian.   Artinya, seiring dengan mengatasi dua permasalahan sebelumnya, peningkatan kualifikasi dosen bisa menjadi kebijakan pendukung dalam meningkatkan kualitas riset di Indonesia.  Sayangnya, mayoritas kualifikasi dosen Indonesia didominasi oleh lulusan magister (S2). Berdasarkan data Statistik Pendidikan Tinggi Tahun 2018, mayoritas dari sekitar 295 ribu dosen di Indonesia merupakan lulusan S2 (204.576 atau sekitar 69,4%).   Lulusan S3 hanya sebanyak 42.670 (atau sekitar 14,5%) dan sisanya merupakan lulusan S1 dan Diploma.

Selain memperluas akses tersebut, pemerintah sebenarnya bisa mendorong universitas-universitas terbaik di Indonesia untuk melakukan lebih banyak proyek riset yang kemudian membuka lowongan peneliti PhD untuk dosen. Skema ini lazim dilakukan di beberapa negara seperti di Belanda.  Peneliti yang dipekerjakan tidak hanya dibebaskan dari biaya kuliah, namun justru dibayar untuk melakukan suatu disertasi dan mendapatkan gelar doktor.

Pemerintah telah menyediakan banyak beasiswa meski belum banyak yang terakses.  Tahun lalu, pemerintah baru menyediakan 1.100 beasiswa doktoral untuk dosen, ketika jumlah dosen S2 jauh lebih banyak dari itu.    Berbagai skema ini bisa menjadi alternatif untuk mendorong lebih banyak dosen yang bergelar doktor dan berkapasitas tinggi dalam riset di Indonesia.                                                dr.TheConservation-AnditAAuliAPratamA-DosenFH-UGM-16/08/2020


Daun jatuh ke air hanyut ke hilir,

Kinerja riset dosen dukung pembangunan lancar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

LIMA PEMBUANGAN SAMPAH TERBESAR DI DUNIA, ADA BANTAR GEBANG !!

NusaNTaRa.Com       byBatiSKambinG,        R   a   b   u,    2   0      N   o   p   e   m   b   e   r      2   0   2  4     Tempat Pengelola...