NusanTaRa.Com
byAsnISamandaK, 5/2/2018
David sebagai tukang
Tato suku Dayak ditubuhnya juga dipenuhi
tato diantaranya gambar tato “ salampang
mata andau (tombak matahari) dikedua betisnya,
menurutnya tato tersebut perlambang
tameng kehidupan. "Agar kami kaum laki laki mampu bekerja keras dalam
mengarungi kehidupan ini," katanya.
Motif bunga terung yang ditatokan di kedua pundak, melambangkan lelaki pekerja keras bagi
keluarga. Ada pula motif mata pancing atau mata kael biasa dipakai pesilat atau jawara kampung dan dukun yang
melambangkan bahwa pemakainya bisa menarik penyakit dari tubuh seseorang.
byAsnISamandaK, 5/2/2018
Menurut hasil
penelitian Ady Rosa tahun 2000 bahwa
fungsi Tato bagi masyarakat Mentawai : Pertama, tanda kenal wilayah dan
kesukuan yang tergambar lewat Tato utama (semacam KTP), Kedua,
Penanda status sosial dan profesi, motif yang digambarkan bisa menjelaskan
profesi si pemakai (sebagai Sikerei, pemburu binatang, atau orang awam) dan Ketiga, sebagai hiasan tubuh atau keindahan. Tradisi Tato di Mentawai terancam punah
karena senimannya semakin berkurang, Esmat W. Sakulok (29 tahun) warga Siberut yang masih mempertahankan seni Tato dari
Mentawai sebagai Sikerei pembuat Tato memiliki
Tato terukir indah di punggung, dada, dan pahanya serta
aksesori gelang dan kalung manik-manik berwarna khas mentawaipun menjadi pelengkap.
Ady Rosa, peneliti Tato dari Jurusan Seni Rupa Universitas Negeri Padang menyatakan “ titi/tato “ mulai dikenal di
Mentawai sejak orang Mentawai-Protomelayu tiba di Siberut dari Yunan yang
berbaur dengan Bangsa Dong Son yang kaya akan budaya dari Vietnam antara 1500 hingga 500 SM. Bermakna budaya Tato
mentawai jauh lebih tua dari zaman Tato bangsa Mesir yang ada sekitar
1300 SM, sementara dalam catatan sejarah
peradaban Barat Tato mulai dikenal sejak
adanya ekspedisi James Cook tahun 1769.
“ Tato ” di Mentawai disebut Titi sebagai yang
tertua di dunia selain di yakini memiliki roh kehidupan, dapat menunjukkan identitas yang menunjukkan perbedaan status sosial atau profesi. Sebagai contoh Tato Sikerei (sebutan untuk dukun Mentawai) yang
memiliki Tato bintang “ Sibalu-balu “ ditubu mereka, berbeda dengan tato
pemburu yang memiliki tato gambar binatang tangkapannya, seperti babi, rusa,
monyet, burung, atau buaya. Tato juga
bisa menggambarkan asal-usul dan
penyebaran orang Mentawai, " Setelah saya telusuri tentang tato, itu ada
perbedaannya antara wilayah walaupun
karakternya sama. Di Siberut yang sungainya
berhulu di Sarereket, hampir sama semua tatonya. Tetapi, di Saibi beda lagi.
Tatonya sama dengan tato dari Simatalu, Siberut Barat, karena hulu sungainya
dari sana ", Ujar SiDin Esmat warga Siberut.
Keberadaan
perkembangan Tato mulai terancam ketika Agama mulai memasuki daerah Mentawai
seperti Protestan yang masuk ke Mentawai tahun
1901, Katolik dan Islam, karena Tato termasuk bagian dari Arat Sabulungan tidak sejalan dengan ajaran dalam agama. Agama moyang (Arat Sabulungan) yang memuat
kegiatan Tato dan meruncingkan Gigi semakin tertekan ketika tahun 1954
pemerintah memaksa warga untuk memilih salah satu agama resmi. "
Saat pelarangan itu, banyak Sikerei yang ditangkap. Kalau ketahuan mengadakan
punen, peralatannya dibakar, manik-manik dibakar, kabit dibakar. Sipatiti
(pembuat tato) ikut ditangkap ",
Ujar SiDin Johanes Siritoitet (63 tahun) seorang Sikerei di Muntei Siberut
selatan.
Menurut Esmat hal
lain yang mempengaruhi tidak berkembangnya Budaya Tato menyangkut distribusi
pengetahuan, selama ia
berdiam di Siberut Mentawai,
hingga sekolah menengah atas (SMA) tak satu pun pengetahuan mengenai budaya
Mentawai sampai kepadanya. " Yang saya pelajari di sekolah itu budaya
Minangkabau : cerita Malin Kundang, Siti Nurbaya, Silat, kearifan lokal
Minangkabau. Tak satu pun ada budaya Mentawai yang saya dapatkan ", Ujar SiDin Esmat. Dia baru mendapatkan wawasan mengenai keragaman budaya karuhun sedikit
demi sedikit setelah dia menempuh kuliah
di Universitas Negeri Jakarta pada 2008 dan dia
mulai mempelajari budaya Mentawai dari sejumlah buku karangan peneliti
luar negeri.
Meski Tato hampir
punah tapi Esmat membuktikan bahwa tradisi budaya leluhur Mentawai itu tetap
ada yang meneruskan, meski ia menambahkan
" Generasi orang tua saya,
paman, bibi sudah tidak ada lagi yang ditato. Juga generasi saya ",
Ujar SiDin di Padang, 17
September 2017. Ia mengatakan Titi
mulai berkurang ketika zaman kakeknya di era ketika Arat Sabulungan-agama lokal
Mentawai yang meyakini para roh oleh pemerintah dilarang secara resmi tahun 1954
dan Menato tubuh merupakan bagian dari kepercayaan Arat Sabulungan.
Ketika Esmat pulang
dan berlibur ke Siberut ia menimba ilmu tentang budaya Mentawai langsung dari
kakeknya, seorang Sikerei di Siri Surak, kawasan hulu Saibi Samukop dan sebelum
kembali ke Jakarta, dia meminta izin ke kakeknya untuk dititi, Tapi dijawab neneknya bahwa, "
Kamu tidak perlu ditato. Kamu sudah menjadi orang besar, sudah
berpendidikan. Nanti tidak bisa menjadi pegawai kabupaten dan bisa diusir dari
gereja ", Ujar SiDin Esmat. Meski pada akhirnya ia mendapat izin dari sang nenek
yang kemudian menyiapkan ritual Punen Patiti bagi cucunya, seperti
pembacaan mantra, menyiapkan Ramuan diikuti dengan penyembelihan beberapa ekor
Babi. Untuk kesempurnaan Tato tersebut ia harus menyempurnakannya di Jakarta
dari Seniman Tato Mentawai.
Ady Rosa mengatakan
Siberut mempunyai 160 motif Tato setiap
orang Mentawai, laki-laki maupun perempuan dapat memakai belasan tato di sekujur
tubuhnya. Sebagai bagian dari
kepercayaan Arat Sabulungan pembuatan
tato melewati ritual tertentu dan bahan-bahan dan alat yang digunakan didapatkan
dari alam sekitar hanya jarum yang
digunakan untuk perajah memakai besi dari luar wilayah itu sebelumnya alat penato menggunakan sejenis kayu karai tanaman asli Mentawai yang bagian ujungnya diruncingkan. Pembuatan Tato Mentawai melalui
beberapa tahap, pertama pada saat seseorang berusia 11-12
tahun, dilakukan penatoan di pangkal lengan. Tahap kedua usia 18-19 tahun
dengan menato paha. Tahap ketiga setelah ia dewasa.
Ritual “
Arat Sabulungan ” Meliputi segala sistem yang mengatur masyarakat Mentawai dalam meliputi, setiap upacara, kelahiran,
pernikahan, pengobatan, pindah rumah, pengetahuan dan tato.
Anak laki-laki yang memasuki usia dewasa usia 11 – 12 tahun akan
menjalani masa pentatoan yang penentuan waktunya dilakukan Sikerei dan Ramata (kepala suku). Bahan pewarna tato
adalah olahan arang tempurung kelapa dan daun pisang dicampur air tebu, sedangkan penusuknya, jarum yang diikatkan ke
sebatang kayu kecil kemudian
dipukul-pukul dengan semacam palu kecil secara perlahan agar menembus kulit diikuti cairann pewarna yang akan memberikan khas lukisan jika telah
lama, sebelumnya Jarum diolesi zat
pewarna terbuat dari arang namun
sekarang bisa menggunakan bolpoin.
Budaya Tato selain di Mentawai ternyata juga di miliki suku Dayak yang mendiami pulau Kalimantan dengan nasib yang hampir serupa alias kurang diminati kalangan penerusnya. Redupnya penggunaan Tato di kalangan generasi muda keturunan Dayak, menurut Hartoyo Sagog, karena
situasi dan kondisi yang kurang mendukung seperti sejumlah institusi pemerintah melarang
pegawainya mengenakan Tato di tubuhnya. Padahal, anak-anak keturunan Dayak
banyak yang berkeinginan menjadi pegawai negeri, namun tidak semua pemerintah
daerah melarang penggunaan Tato bagi pegawainya seperti Kabupaten di Pedalaman
Kalimantann yaitu Kabupaten Mahakam Ulu (kata Novita Bulan keua DPRD Mahakam
Ulu), karena mereka menyadari bahwa masyarakat mereka memiliki budaya Tato sebagai identitas diri
dan tato merupakan pesan spiritual bagi
mereka sudah terpilih menuju jalan kebenaran.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar