NusanTaRa.Com
byDannYAsmorO, 20/4/2018
byDannYAsmorO, 20/4/2018
Instruksi
Wakil Kepala Daerah DIY No. K.898/I/A/1975 tanggal 5 Maret 1975 tentang
Penyeragaman Policy Pemberian Hak Atas Tanah,
dalam peraturan ini ditetapkan bahwa warga negara Indonesia non pribumi
tidak boleh memiliki tanah di DI Yokyakarta,
ketetapa ini menimbulkan keresahan dan protes dari kalangan Non Pribumi
khususnya etnis suku China yang telah warga Negara dan memiliki tanah disana
sebelumnya. Handoko warga Yogjakarta
dari Etnis China menggugat keputusan keraton tersebut ke Pengadilan Negeri
Yoyajakarta dan mengatakan tidak setuju dengan aturan tersebut.
Menurut
Handoko aturan tersebut sangat diskriminatif, karenanya ia dengan tak gentar meski harus berhadapan
dengan Raja menggugat aturan itu ke
Pengadilan Negeri Yogyakarta. Sayang,
gugatan Handoko ditolak Pengadilan Negeri Yogyakarta, pantang menyerah
Handoko melakukan banding untuk dapat kepastian hukum tersebut. Handoko menilai putusan Pengadilan Negeri
Yogyakarta merupakan bentuk ‘diskriminasi ras’ di Yogyakarta. “
Kenapa keturunan Cina tidak boleh punya tanah? ”, Ujar SiDin Handoko yang merasa tidak puas
dengan peraturan itu maret/2018.
“ Saya mengingatkan kepada teman-teman Tionghoa
agar ingat, jangan hanya menuntut hak saja.
Kamu hidup dan mati di sini,
kalau enggak mau, bisa hidup di luar Yogyakarta
”, Ujar SiDin KGPH Hadiwinoto. Hal
senada dikatakan KRT Poerbokusumo Cucu Hamengkubuwono VIII yang meminta Handoko untuk menghormati instruksi
1975, beliau mengancam akan turun ke
jalan dan menemui Handoko, bila ia masih mengajukan gugatan. “ Kita
akan turun ke jalan. Kalau perlu kita akan usir dari Jogja ”, Ujar SiDin Poerbokusumo sebagaimana
dilansir BBC Indonesia.
Menanggapi
tidak diperbolehkannya hak kepemilikan tanah bagi warga keturunan di Yogyakarta
pada September 2019, tim hukum Keraton Yogyakarta, KRT Niti Negoro mengatakan
hal tersebut benar dan ada aturannya. Menurutnya, larangan tersebut diatur
melalui surat instruksi Wakil Gubernur yang ditandatangani Paku Alam VIII pada
5 Maret 1975. "
Memang tidak boleh, karena ada aturannya. Sudah pernah ada yang
menggugat, tapi tidak ada masalah, itu tetap berlaku ", Ujar SiDin KRT Niti Negoro, Rabu
(16/9/2017).
Niti Negoro
menjelaskan alasan dikeluarkan peraturan tersebut karena pertimbangan untuk
pemerataan hak. Pada waktu itu jika tidak diatur demikian, maka tanah-tanah di
Yogyakarta akan dikuasai oleh warga keturunan yang pada waktu itu dominan dalam
ekonomi. " Alasannya dari sejarah, dalam rangka
pemerataan hak, supaya tanah tidak dikuasai kelompok yang kuat ekonomi. Agar
tanah strategis tidak dikuasai ekonomi kuat. Maka kemudian dikeluarkan aturan
itu ", Ujar SiDin tegas lagi.
Pada tahun
2015 Warga Yogyakarta Willie
Sebastian ketua Gerakan Anak Negeri Anti
Diskriminasi (Granad) pernah keberatan
atas Sultan karena telah menyelewengkan Undang-undang No 13
Tahun 2012 tentang Keistimewaan DIY sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum,
terutama di bidang pertanahan dan indikasi separatis dengan menghidupkan aturan
hukum Kolonial (Rijksblad) dan mengesampingkan UUPA No 5 tahun 1960.
Willie
mencantumkan setidaknya ada empat poin dugaan separatisme yang dilakukan
Sultan. Pertama, pengambilalihan hak
menguasai negara terhadap tanah negara dengan cara sertifikasi tanah-tanah
negara menjadi tanah keraton. Kedua,
pengambilalihan hak milik masyarakat atas tanah desa sebagai aset publik dengan
cara penerbitan Peraturan Gubernur DIY No 112 Tahun 2014 tentang Pemanfaatan
Tanah Desa. Ketiga, Aturan ini dinilai bertentangan dengan UU No
5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Agraria Diktum IV, UU No 6 Tahun
2014 tentang Desa Pasal 76 dan UUK DIY Pasal 16. Keempat, "
Desa jadi kehilangan milik tanah desa
", Ujarnya SiDin tegas.
Raja bijak penguasa kesultanan,
Ketetapan Agraria sultan menjaga pemerataan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar