Rabu, 26 Februari 2025

GOLONGAN BISSU MEMEGANG PERANAN PONTING DALAM BUDAYA MASYARAKAT BUGIS

NusaNTaRa.Com          

byBasruLDatUMabusunG,    K  a  m  i  s,   2   7     F   e   b   r   u   a   r   i     2  0  2  5              

Komunitas bissu menggelar tari Sere Bissu Maggiri pada sebuah acara
pernikahan adat di Soppeng, Sulawesi Selatan, Minggu (17/7/2022)


Kaum BISSU,    keberadaannya tak dapat dilepaskan dari budaya dan tradis yang dijalankan Suku Bugis,   seiring dengan sejarah Suku Bugis yang mengenal kepercayaan kepada pemilik semesta dan kehidupan jauh sebelum agama - agama yang ada saat ini masuk ke wilayah Sulawesi Selatan.   Dalam  masyarakat Suku Bugis, Bissu dipercaya sebagai orang suci yang menjadi penghubung antara manusia dan pencipta dan dianggap memiliki pengetahuan tentang berbagai tradisi dan kearifan hidup.

Bahkan pada masa lalu, Bissu sempat memegang peran sangat penting dalam berbagai kegiatan ritual dan upacara adat disuatu kampung.  Karena itu, biasanya seorang Bissu sangat paham dan di pegang masyarakat  dalam penyelenggaraan  tata cara penyelenggaraan upacara acara adat dalam suatu kampung, baik secara filosofi maupun teknis.

Siapakah Bissu  ?

Bissu adalah sebutan bagi pemimpin ritual agama Bugis kuno,  berasal dari istilah Bissu  dari kata ‘bessi’ yang dalam bahasa Bugis memiliki arti bersih.   Hal ini merujuk pada kondisi bissu yang tidak berdarah, suci (tidak kotor), karena mereka tidak haid layaknya perempuan,  namun ada pula yang menyatakan bahwa kata bissu berasal dari kata Bhiksu atau Pendeta Buddha.   Petsy Jessy Ismoyo, peneliti dari Indonesian Consortium for Religious Studies, Yogyakarta, menyebutkan bahwa dalam kepercayaan masyarakat Bugis kuno (Attoriolong), terdapat jumlah gender berbeda dengan umumnya di Indonesia saat ini (gender biner), salah satunya Bissu.

Selain Bissu (androgini atau interseks yang menjadi pemuka agama)m ada juga oroané (pria), makkunrai (wanita), calalai (priawan), calabai dan (waria).   Dari lima jenis gender tersebut, gender calabai atau calalai dapat menjadi seorang Bissu,  meski  dari berbagai calabai, hanya golongan calabai tungke’na lah yang dapat meraihnya. Calabai tungke'na lino, merupakan calabai yang memiliki derajat tertinggi.    “  Seorang calabai harus menerima berkah dari para dewa untuk mencapai level itu  ”,  Ujar SiGaluH  P Jessy I,  menjelaskan.

Bissu juga  memiliki pembagian menjadi tiga sesuai hirarki, yaitu Puang Matowa, Puang Lolo, dan Ana’Bissu.   Untuk menjadi Puang Matowa atau kepala Bissu, seseorang harus terlebih dahulu melalui Puang Lolo,  “ Puang Lolo mewarisi seluruh pengetahuan dari puang matowa ”,  Ujar SiGaluH  Jessy dengan Ahmadernya (Manisnya).    Ia juga mengatakan bahwa kedua Bissu tersebut dalam menjalankan tugasnya dibantu oleh Ana’Bissu.

Sejarah Keberadaan Bissu

Bissu memimpin upacara pernikahan
Masa kejayaan bagi kaum Bissu dicapai  saat kerajaan pra-Islam di tanah Bone (1623 – 1605 M),  dimana bissu menempati posisi terhormat di dalam masyarakat Bugis sebagai penasihat spiritual kerajaan  dan menjadikan  seorang Bissu bukanlah orang sembarangan dan dipercaya merupakan anugerah dari dewata.

Menurut pakar filologi Universitas Hasanuddin dan penerjemah La Galigo, Prof Nurhayati Rahman,  bahwa sebenarnya, peran Bissu masih penting sebagai penjaga peradaban,  sehingga  tidak heran jika Suku Bugis di Sulawesi Selatan memandang Bissu semacam pendeta atau rohaniawan.   Seorang Bissu umumnya menyatukan karakter maskulinitas dan feminin. Suku Bugis menyebut seseorang yang memiliki percampuran gender perempuan dan laki-kaki, lebih tepatnya laki-laki yang memiliki identitas gender perempuan, dengan sebutan calabai.

Nurhayati juga menjelaskan bahwa dalam naskah La Galigo, jelas disebutkan tentang Bissu  yang  turun ke bumi bersama To Manurung serta  orang pertama yang turun ke bumi bese Manurung, turun pula arajang (istana), bendera, senjata, dan beragam benda kerajaan.   Bissu  memegang peran penting  penjaga barang kerajaan, dan dianggap orang suci.   Karena itu, mereka menjadi rohaniawan dan penghubung antara manusia dan dewa langit (Botti Langi) dan dan dewa bawah laut (Buri’ Liung).

Berdasarkan Kitab La Galigo, Bissu diturunkan karena manusia tidak dapat berhubungan dengan penciptanya,  membuat lara Sang Pencipta, sehingga ia pun menurunkan manusia tanpa kelamin yang jelas, untuk memimpin upacara adat keagamaan.    Bissu pertama yang menjadi penghubung antara manusia dengan dewata bernama Lae-lae, dan sejak itu, Bissu menyebar ke seluruh wilayah Sulawesi Selatan termasuk Bone.

Peran Bissu di Masa Lalu dan Sekarang

Di era pra-Islam, Bissu  golongan yang sangat penting dan sangat diperlukan dalam kehidupan masyarakat Bugis  mereka  menyandang tanggung jawab dalam semua upacara keagamaan yang dilaksanakan untuk memuji Sang Pencipta.  Upacara adat keagamaan Mat Temu Taung (upacara syukuran diakhir tahun) menjadi salah satu upacara yang bergantung pada peran Bissu.   Upacara tradisional yang bermakna mencari keselamatan dan perlindungan dari sang pencipta ini harus dipimpin oleh Bissu.

Di Kerajaan Segeri dan Kerajaan Bone dikenal komunitas Bissu dengan sebutan Bissu Patappuloe (40 orang bissu), pada setiap upacara ritual, semua Bissu itu diharuskan hadir.   Pentingnya peran Bissu pada masa lalu membuatnya diberi rumah tinggal dalam kompleks istana dan lahan pertanian, bahkan segala keperluan hidup mereka disiapkan kerajaan.   Namun saat terjadi pergolakan DI/TII di tahun 1950-an, para Bissu menjadi incaran pasukan Kahar Muzakkar.

Mereka memberantas para bissu karena dianggap penyembah berhala dan tidak sejalan dengan syariat Islam.   Saat itu, ribuan perlengkapan upacara dibakar atau ditenggelamkan ke laut, sementara banyak dukun (sanro) dan Bissu dibunuh atau digunduli, lalu dipaksa menjadi laki-laki normal.   Penderitaan mereka masih berlanjut ketika Orde Lama (Orla) ditumbangkan oleh rezim Orde Baru (Orba) pada tahun 1965  karena  mereka yang percaya akan kesaktian arajang menjadi tertuduh penganut komunis atau anggota Partai Komunis Indonesia (PKI).

Gerakan yang dikenal dengan nama “Operasi Toba” (Operasi Taubat) gencar terjadi pada tahun 1966,  sehingga  upacara Mappalili mengalami kemunduran,c sementara upacara-upacara Bissu tidak lagi diselenggarakan secara besar-besaran dan Bissu bersembunyi dari ancaman maut,   Bissu di Bone perlahan kembali muncul karena masyarakat masih memahami perannya.

Ketika pelantikan Raja Bone A Mappanyukki yang merupakan Raja Bone terakhir, Bissu juga diminta untuk memimpin upacara pelantikan,   di Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan, peran Bissu masih digunakan terutama dalam pertanian, yaitu untuk menentukan hari baik saat benih pertama ditabur.  Kembalinya fungsi Bissu dalam acara ritual Bugis, sesungguhnya melalui pengorbanan yang panjang  dan  tak lepas dari fungsi sosial para Bissu yang masih terekam dalam masyarakat.

Kaum BISSU,  dalam Tarian Maggiri menggunakan 
Keris di tusukan ke tubuhnya


BISSU Golongan ritual masyarakat Bugis.

Mereka bukan dari golongan wanita dan Lelaki khas.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

EKSPOR PASAR DURIAN DARI VIETNAM 2024 KUASAI PASAR GLOBAL DENGAN CAPAIAN RP 53 TRILLIUN

NusaNTaRa.Com        byAsnISamandaK,      S   a   b   t   u,    0   8      M    a    r    e    t      2   0   2   5    Buah Durian Vietnam S...