NusaNTaRa.Com
byBasruLDatUMabusunG, K a m i s, 2 7 F e b r u a r i 2 0 2 5
 |
Komunitas bissu menggelar tari Sere Bissu Maggiri pada sebuah acara pernikahan adat di Soppeng, Sulawesi Selatan, Minggu (17/7/2022)
|
Kaum BISSU, keberadaannya tak dapat dilepaskan dari budaya
dan tradis yang dijalankan Suku Bugis, seiring dengan sejarah Suku Bugis yang
mengenal kepercayaan kepada pemilik semesta dan kehidupan jauh sebelum agama - agama
yang ada saat ini masuk ke wilayah Sulawesi Selatan. Dalam masyarakat
Suku Bugis, Bissu dipercaya sebagai orang suci yang menjadi penghubung antara
manusia dan pencipta dan dianggap memiliki pengetahuan tentang berbagai tradisi
dan kearifan hidup.
Bahkan pada
masa lalu, Bissu sempat memegang peran sangat penting dalam berbagai kegiatan
ritual dan upacara adat disuatu kampung. Karena itu, biasanya seorang Bissu sangat
paham dan di pegang masyarakat dalam
penyelenggaraan tata cara
penyelenggaraan upacara acara adat dalam suatu kampung, baik secara filosofi
maupun teknis.
Siapakah
Bissu ?
Bissu adalah
sebutan bagi pemimpin ritual agama Bugis kuno,
berasal dari istilah Bissu dari
kata ‘bessi’ yang dalam bahasa Bugis memiliki arti bersih. Hal ini merujuk pada kondisi bissu yang tidak
berdarah, suci (tidak kotor), karena mereka tidak haid layaknya perempuan, namun ada pula yang menyatakan bahwa kata
bissu berasal dari kata Bhiksu atau Pendeta Buddha. Petsy Jessy Ismoyo, peneliti dari Indonesian
Consortium for Religious Studies, Yogyakarta, menyebutkan bahwa dalam
kepercayaan masyarakat Bugis kuno (Attoriolong), terdapat jumlah gender berbeda
dengan umumnya di Indonesia saat ini (gender biner), salah satunya Bissu.
Selain Bissu
(androgini atau interseks yang menjadi pemuka agama)m ada juga oroané (pria),
makkunrai (wanita), calalai (priawan), calabai dan (waria). Dari lima jenis gender tersebut, gender
calabai atau calalai dapat menjadi seorang Bissu, meski dari
berbagai calabai, hanya golongan calabai tungke’na lah yang dapat meraihnya.
Calabai tungke'na lino, merupakan calabai yang memiliki derajat tertinggi. “ Seorang
calabai harus menerima berkah dari para dewa untuk mencapai level itu ”,
Ujar SiGaluH P Jessy I, menjelaskan.
Bissu juga memiliki pembagian menjadi tiga sesuai
hirarki, yaitu Puang Matowa, Puang Lolo, dan Ana’Bissu. Untuk menjadi Puang Matowa atau kepala Bissu,
seseorang harus terlebih dahulu melalui Puang Lolo, “ Puang Lolo mewarisi seluruh pengetahuan
dari puang matowa ”, Ujar SiGaluH Jessy dengan Ahmadernya (Manisnya). Ia juga mengatakan bahwa kedua Bissu
tersebut dalam menjalankan tugasnya dibantu oleh Ana’Bissu.
Sejarah
Keberadaan Bissu
 |
Bissu memimpin upacara pernikahan |
Masa kejayaan
bagi kaum Bissu dicapai saat kerajaan
pra-Islam di tanah Bone (1623 – 1605 M),
dimana bissu menempati posisi terhormat di dalam masyarakat Bugis
sebagai penasihat spiritual kerajaan dan
menjadikan seorang Bissu bukanlah orang
sembarangan dan dipercaya merupakan anugerah dari dewata. Menurut pakar
filologi Universitas Hasanuddin dan penerjemah La Galigo, Prof Nurhayati
Rahman, bahwa sebenarnya, peran Bissu
masih penting sebagai penjaga peradaban,
sehingga tidak heran jika Suku
Bugis di Sulawesi Selatan memandang Bissu semacam pendeta atau rohaniawan. Seorang Bissu umumnya menyatukan karakter
maskulinitas dan feminin. Suku Bugis menyebut seseorang yang memiliki
percampuran gender perempuan dan laki-kaki, lebih tepatnya laki-laki yang
memiliki identitas gender perempuan, dengan sebutan calabai.
Nurhayati
juga menjelaskan bahwa dalam naskah La Galigo, jelas disebutkan tentang
Bissu yang turun ke bumi bersama To Manurung serta orang pertama yang turun ke bumi bese
Manurung, turun pula arajang (istana), bendera, senjata, dan beragam benda
kerajaan. Bissu memegang peran penting penjaga barang kerajaan, dan dianggap orang
suci. Karena itu, mereka menjadi
rohaniawan dan penghubung antara manusia dan dewa langit (Botti Langi) dan dan
dewa bawah laut (Buri’ Liung).
Berdasarkan
Kitab La Galigo, Bissu diturunkan karena manusia tidak dapat berhubungan dengan
penciptanya, membuat lara Sang Pencipta,
sehingga ia pun menurunkan manusia tanpa kelamin yang jelas, untuk memimpin
upacara adat keagamaan. Bissu pertama
yang menjadi penghubung antara manusia dengan dewata bernama Lae-lae, dan sejak
itu, Bissu menyebar ke seluruh wilayah Sulawesi Selatan termasuk Bone.
Peran Bissu
di Masa Lalu dan Sekarang
Di era
pra-Islam, Bissu golongan yang sangat
penting dan sangat diperlukan dalam kehidupan masyarakat Bugis mereka menyandang tanggung jawab dalam semua upacara
keagamaan yang dilaksanakan untuk memuji Sang Pencipta. Upacara adat keagamaan Mat Temu Taung (upacara
syukuran diakhir tahun) menjadi salah satu upacara yang bergantung pada peran
Bissu. Upacara tradisional yang
bermakna mencari keselamatan dan perlindungan dari sang pencipta ini harus
dipimpin oleh Bissu.
Di Kerajaan
Segeri dan Kerajaan Bone dikenal komunitas Bissu dengan sebutan Bissu Patappuloe
(40 orang bissu), pada setiap upacara ritual, semua Bissu itu diharuskan
hadir. Pentingnya peran Bissu pada masa
lalu membuatnya diberi rumah tinggal dalam kompleks istana dan lahan pertanian,
bahkan segala keperluan hidup mereka disiapkan kerajaan. Namun saat terjadi pergolakan DI/TII di tahun
1950-an, para Bissu menjadi incaran pasukan Kahar Muzakkar.
Mereka
memberantas para bissu karena dianggap penyembah berhala dan tidak sejalan
dengan syariat Islam. Saat itu, ribuan
perlengkapan upacara dibakar atau ditenggelamkan ke laut, sementara banyak
dukun (sanro) dan Bissu dibunuh atau digunduli, lalu dipaksa menjadi laki-laki
normal. Penderitaan mereka masih
berlanjut ketika Orde Lama (Orla) ditumbangkan oleh rezim Orde Baru (Orba) pada
tahun 1965 karena mereka yang percaya akan kesaktian arajang
menjadi tertuduh penganut komunis atau anggota Partai Komunis Indonesia (PKI).
Gerakan yang
dikenal dengan nama “Operasi Toba” (Operasi Taubat) gencar terjadi pada tahun
1966, sehingga upacara Mappalili mengalami kemunduran,c
sementara upacara-upacara Bissu tidak lagi diselenggarakan secara besar-besaran
dan Bissu bersembunyi dari ancaman maut,
Bissu di Bone perlahan kembali muncul karena masyarakat masih memahami
perannya.
Ketika
pelantikan Raja Bone A Mappanyukki yang merupakan Raja Bone terakhir, Bissu
juga diminta untuk memimpin upacara pelantikan, di Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan, peran
Bissu masih digunakan terutama dalam pertanian, yaitu untuk menentukan hari
baik saat benih pertama ditabur. Kembalinya
fungsi Bissu dalam acara ritual Bugis, sesungguhnya melalui pengorbanan yang
panjang dan tak lepas dari fungsi sosial para Bissu yang
masih terekam dalam masyarakat.
 |
Kaum BISSU, dalam Tarian Maggiri menggunakan Keris di tusukan ke tubuhnya |
BISSU Golongan ritual masyarakat Bugis.
Mereka bukan dari golongan wanita dan Lelaki khas.