Jumat, 17 Januari 2025

KISAH PERDAGANGAN BUDAK DI SULAWESI SOLATAN SETELAH JATUHNYA BENTENG SOMBA OPU DAN PORJANJIAN BONGAYA

NusaNTaRa.Com              

byLaDollaHBantA,      S   a   b   t   u,    1   8     J   a   n   u   a   r   i     2   0   2   5          

Budak - budak di Sulawesi Selatan
Perdagangan Budak di Sulawesi Selatan     Perdagangan manusia di abad ke - 17 hingga abad ke - 19  di Sulawesi Selatan sebagai budak merupakan satu gambaran yang cukup mengerikan.   Diketahui bahwa Bugis mendiami barat daya semenanjung pulau Sulawesi,  menampakkan  satu peran perdagangan penting di daerah itu,  meskipun tampaknya mereka baru benar - benar mulai memainkan peranan ponting dalam perdagangan antar pulau sejak abad ko 17 dan seterusnya dan mengambil peran itu  dari Melayu dan Jawa.    Selain rempah - rempah, tekstil dan barang lain,  Budak merupakan salah satu  komuditas penting bagi  para  pedagang Bugis.   

Tapi yang cukup menarik juga tentunya karena Orang Bugis menjadi komuditas penting,  mereka mendadi komuditas Budak terpenting dan komuditas terbesar di era perbudakan pada abad ke - 18.   Hindia  Belanda (Reid 1983; 29 - 30;  Sutherland 1983).   Pada tahun 1816 di Batavia ,  ibu kota koloni Belanda ,  25,8 %  budaknya  adalah orang koturunan orang Bugis ,  sedang sebanyak 42,99 % dari populasi Budak berasal dari  Pulau Sulawesi  (Abeyasekere  1983;  291) 

Manual Pinto  tahun 1548 pornah  tinggal di Sulawesi Solatan  selama tiga tahun,  menulis  bahwa  ' Tanahnya sangat Bagus dan  memiliki banyak Emas, Kayu Condana dan Aguilawood,  pernis dan  banyak  Budak dan banyak  makanan,  baik nasi dan daging (Schurhammer  1980; 291).   Cornelis Spellman,  laksamana Belanda bersama sekutu Lokalnya pangeran Bugis  Arung Palakka,  menakklukkan Korajaan Makssar tahun 1660-an melaporkan bahwa  Budak - budak  diimpor  dari  berbagai tempat wilayah  di Filipina dan Kepulauan bagian Timur (Maluku, pulau Sunda Kecil)  dan diekspor ke Batavia,  Banten, Palembang, Jambi, Johor, Melaka,  Aceh dan Banjarmasin (Noorduyn  1983).

Nicolas Gervaise,  Menulis tentang Makassar pada tahun 1688,  mengamati bahwa ' Sangat sedikit budak di negeri ini ' ;  para tawanan  perang yang mereka tangkap diangkut ke bagian lain dari kepulauan karean takut mereka akan  'mengganggu ketenangan publik'  (Gervaise  1701  ; 81).   Laporan tentang perdagangan budak di abad kedelapan belas  sangatlah Langka,  tetapikenyataannya memang demikian jelas  jumlah  budak yang berasal dari Sulawesi meningkat secara signifikan.   Selama  dekade terakhir abad ke 17,  Setealh masa pergolakan perang Makassar,  sekitar  200  budak di ekspor dari Makassar ke Batavia setiap tahun.   Sepanjnag abad ke 18  jumlah  budak yang diangkut  mencapai 3.000 orang pertahun , dari tahun 1600 - an hingga awal abad ke - 19  Sulawesi Selatan  mungkin kehilangan  lebih dari  100.000 penduduk  (Sutherland  1983;  270, Reid 1883; 69)

Pedagang Bugis abad ke - 18  yang tinggal di Pesisir Kalimantan  melakukan perdagangan  intensip dengan  pilau - pulau  Sulu,  dimana  mereka kebanyakan mendapatkan  budak  berasal dari  Filipina,   dan di angkut keberbagai kota di Nusantara  (Warren   1981 ; 13).   Laporan pemerintah  yang di tulis di Makassar  tahun  1799 memberikan penjelasan lebih lanjut tentang  wabah perdagangan  budak di  daerah itu.   Disebutkan dari keluhan penguasa  Bone  pada  tahun 1743 tentang pembelian oleh pedagang rendahan dari ' orang yang di curi ' di teluk Bone (Blok 1817 ; 3).

Pelelang  1.800 Budak di Batavia pada awal abad ke-19

Laporan juga  menyebutkan fakta bahwa budak tidak hanya berasal dari luar daerah kota tapi  geng yang disebut  " Bond - men '  Penjelajahi kota untuk mencari orang - orang  yang kemudian ditangkap dan dijual sebagai budak ;  '  Spesies mengerikan itu perampokan  sangat sering dilakukan di dekat rumah rakyat kita sendiri,  dirumah kiya kamp, atau desa,  di dalam kota kita sendiri.   Tergantung di semua Desa yang mereka kunjungi dengan  pasukan di malam hari,  dan di luar musim berjam - jam,  untuk merebut mangsanya   yang jika  berhasil,   mereka segera membawanya ke majikan mereka,  atau ke pedagang Budak manapun '  (Blok 1817; 12).

Tidak puas dengan Gambaran mengerikan dari para penulis  Belanda,  Inggeris  penerjemah laporan menambahkan pengalamannya sendiri ke laporan.   Contohnya  ;  Dia menggambarkan pertemuannya saat berjalan - jalan  sore di Kampung Bugis  dengan  dua pria Menyeret sepertiga.   Yang tampaknya seorang pria Bugis  yang akan di bunuh oleh para  penculiknya,  karena mereka tidak berhasil  menjualnya sebagai  udak.   Untuk menyelamatkannya Von Stubenvoll,  Penerjemah,  membelinya dari  kedua orang itu dan kemudian  membebaskannya (Blok 1817 ;  21-2)

Selama abad  ke - 19  jumlah  laporan oleh Penjelajah Independent  di Sulawesi Selatan meningkat,  begitu  pula  deskripsi contoh perbudakan.   James Brooke,  ' Raja putih Setawak ',  dalam deskripsi  kunjungannya ke Kerajaan Bugis  di Wajo,  menyebutkan kisah  seorang anak   laki - laki berumur 10 tahun ,  diperintahkan  membawa tas pengunjung,  kemudian dijual sebagai Budak.   Kerajaan Sedenreng  oleh  pengunjung yang sama (Brooke 1848;  111-2).   Di tahun 1879   Carl Bock,  seorang Penjelajah Norwegia,  menjadi ciri Pelabuhan Kota Bugis  Pare - pare  sebagai seorang Budak di mana gadis - gadis   muda yang cantik/jelita/tampan  dijal  masing - masing   untuk dua puluh  hingga lima puluh Gulden  (Bock 1985 ;  21).

Salah satu Deskripsi  paling pedih tentang budak budak Bugis di  Singapura di berikan  oleh  penulis  Melayu  terkenal  ABDULLAH bin ABFUL KADIR MUNSYI  (1796 - 1854)  dalam ootobiografinya :  hikayat Abdullah ---  suatu hari pada  musim ketika orang Bugis  datang ke  Singapura  saya menengo lima puluh atau enam puluh Budak  laki - laki  dan perempuan  di pimpin oleh laki - laki Bugis di sekitar kota,  diantara mereka ada sudah tua dan muda,  beberapa menggendong bayi , beberapa sakit.    Mereka digiring  bersama oleh seorang pengemudi Bugis,  memegang tongkat  yang digunakannya untuk  memukul mereka  di mana - mana.   Saya naik kepada  pria itu dan bercakap '  Dari apa orang ini ? ' dan dia menunjukkan nya padaku mengatakan   ' Ini adalah keluarga  Manggarai,  Ini pria dari Mandar '.   

Keesokan paginya saya pergi  kepelabuhan  untuk melihat - lihat.  Ketika saya sampai ke perahu,  saya menemukan penuh  dengan Budak,  sekitar  tiga  ratus pria, wanita dan anak - anak.     Mereka  sedang diserahi beras di Batok Kelapa dan air dalam sendok Bambu  sama seperti orang  memberi makan Anjing.   Pria yang memiliki  Budak ini berperilaku  soporti binatang,  tidak tahu malu dan tanpa takut ke pada Allah.   Gadis - Gadis yang  lebih muda mengelilinginya  sementara dia berperilaku dengan  cara yang tidak pantas   untuk saya gambarkan  di buku ini.   Bagi siapa pun yang ingin  membeli Budak perempuan ini,  dia akan membuka pakaian  mereka  dengan segala macam  gerak tubuh  yang membuat saya  malu untuk menulis.   Pedagang Budak berperilaku baik  cara yang paling biadab,  tanpa  percikan perasaan,  karena  aku memperhatikannya  ketika kecil anak - anak para  budak  berteriak  mereka menendang mereka sampai kepala sampai tumit dan memukuli ibu mereka dengan tongkat,  menimbulakan  kelemahan  buruk  ditubuh  mereka.

Mayoritas Budak Wanita  adalah orang Bali dan Bugis.   Mereka di beli oleh laki - laki dari  semua Ras  Cina,  India, Melayu yang  membawa  mereka menjadi Istri  dan banyak jumlahnya  keturunan  ada di sini  sampai hari ini.   (Hikayat Abdullah  1953;  232-4:  terjemahan Hill  1955;  161 - 2).   (Dari FB laman Bugis Viral  AbbasDaming.01/2025)

Kehidupan perbudakan dahulu di Sulawesi Selatan

Abad 17 - 18 Sulawesi menjalani masa perbudakan.

Hak manusia tak dihargai semestinya di masa perbudakan.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

ACEH SANG PENAKLUK TANAH BATAK

NusaNTaRa.Com                           byMuhammaDNunukaN,       R   a   b   u,    2   2     J   a   n   u   a   r   i     2   0   2   5   ...