NusaNTaRa.Com
byLaDollaHBantA, S a b t u, 1 8 J a n u a r i 2 0 2 5
Budak - budak di Sulawesi Selatan |
Tapi yang cukup menarik juga tentunya karena Orang Bugis menjadi komuditas penting, mereka mendadi komuditas Budak terpenting dan komuditas terbesar di era perbudakan pada abad ke - 18. Hindia Belanda (Reid 1983; 29 - 30; Sutherland 1983). Pada tahun 1816 di Batavia , ibu kota koloni Belanda , 25,8 % budaknya adalah orang koturunan orang Bugis , sedang sebanyak 42,99 % dari populasi Budak berasal dari Pulau Sulawesi (Abeyasekere 1983; 291)
Manual Pinto tahun 1548 pornah tinggal di Sulawesi Solatan selama tiga tahun, menulis bahwa ' Tanahnya sangat Bagus dan memiliki banyak Emas, Kayu Condana dan Aguilawood, pernis dan banyak Budak dan banyak makanan, baik nasi dan daging (Schurhammer 1980; 291). Cornelis Spellman, laksamana Belanda bersama sekutu Lokalnya pangeran Bugis Arung Palakka, menakklukkan Korajaan Makssar tahun 1660-an melaporkan bahwa Budak - budak diimpor dari berbagai tempat wilayah di Filipina dan Kepulauan bagian Timur (Maluku, pulau Sunda Kecil) dan diekspor ke Batavia, Banten, Palembang, Jambi, Johor, Melaka, Aceh dan Banjarmasin (Noorduyn 1983).
Nicolas Gervaise, Menulis tentang Makassar pada tahun 1688, mengamati bahwa ' Sangat sedikit budak di negeri ini ' ; para tawanan perang yang mereka tangkap diangkut ke bagian lain dari kepulauan karean takut mereka akan 'mengganggu ketenangan publik' (Gervaise 1701 ; 81). Laporan tentang perdagangan budak di abad kedelapan belas sangatlah Langka, tetapikenyataannya memang demikian jelas jumlah budak yang berasal dari Sulawesi meningkat secara signifikan. Selama dekade terakhir abad ke 17, Setealh masa pergolakan perang Makassar, sekitar 200 budak di ekspor dari Makassar ke Batavia setiap tahun. Sepanjnag abad ke 18 jumlah budak yang diangkut mencapai 3.000 orang pertahun , dari tahun 1600 - an hingga awal abad ke - 19 Sulawesi Selatan mungkin kehilangan lebih dari 100.000 penduduk (Sutherland 1983; 270, Reid 1883; 69)
Pedagang Bugis abad ke - 18 yang tinggal di Pesisir Kalimantan melakukan perdagangan intensip dengan pilau - pulau Sulu, dimana mereka kebanyakan mendapatkan budak berasal dari Filipina, dan di angkut keberbagai kota di Nusantara (Warren 1981 ; 13). Laporan pemerintah yang di tulis di Makassar tahun 1799 memberikan penjelasan lebih lanjut tentang wabah perdagangan budak di daerah itu. Disebutkan dari keluhan penguasa Bone pada tahun 1743 tentang pembelian oleh pedagang rendahan dari ' orang yang di curi ' di teluk Bone (Blok 1817 ; 3).
Pelelang 1.800 Budak di Batavia pada awal abad ke-19 |
Laporan juga menyebutkan fakta bahwa budak tidak hanya berasal dari luar daerah kota tapi geng yang disebut " Bond - men ' Penjelajahi kota untuk mencari orang - orang yang kemudian ditangkap dan dijual sebagai budak ; ' Spesies mengerikan itu perampokan sangat sering dilakukan di dekat rumah rakyat kita sendiri, dirumah kiya kamp, atau desa, di dalam kota kita sendiri. Tergantung di semua Desa yang mereka kunjungi dengan pasukan di malam hari, dan di luar musim berjam - jam, untuk merebut mangsanya yang jika berhasil, mereka segera membawanya ke majikan mereka, atau ke pedagang Budak manapun ' (Blok 1817; 12).
Tidak puas dengan Gambaran mengerikan dari para penulis Belanda, Inggeris penerjemah laporan menambahkan pengalamannya sendiri ke laporan. Contohnya ; Dia menggambarkan pertemuannya saat berjalan - jalan sore di Kampung Bugis dengan dua pria Menyeret sepertiga. Yang tampaknya seorang pria Bugis yang akan di bunuh oleh para penculiknya, karena mereka tidak berhasil menjualnya sebagai udak. Untuk menyelamatkannya Von Stubenvoll, Penerjemah, membelinya dari kedua orang itu dan kemudian membebaskannya (Blok 1817 ; 21-2)
Selama abad ke - 19 jumlah laporan oleh Penjelajah Independent di Sulawesi Selatan meningkat, begitu pula deskripsi contoh perbudakan. James Brooke, ' Raja putih Setawak ', dalam deskripsi kunjungannya ke Kerajaan Bugis di Wajo, menyebutkan kisah seorang anak laki - laki berumur 10 tahun , diperintahkan membawa tas pengunjung, kemudian dijual sebagai Budak. Kerajaan Sedenreng oleh pengunjung yang sama (Brooke 1848; 111-2). Di tahun 1879 Carl Bock, seorang Penjelajah Norwegia, menjadi ciri Pelabuhan Kota Bugis Pare - pare sebagai seorang Budak di mana gadis - gadis muda yang cantik/jelita/tampan dijal masing - masing untuk dua puluh hingga lima puluh Gulden (Bock 1985 ; 21).
Salah satu Deskripsi paling pedih tentang budak budak Bugis di Singapura di berikan oleh penulis Melayu terkenal ABDULLAH bin ABFUL KADIR MUNSYI (1796 - 1854) dalam ootobiografinya : hikayat Abdullah --- suatu hari pada musim ketika orang Bugis datang ke Singapura saya menengo lima puluh atau enam puluh Budak laki - laki dan perempuan di pimpin oleh laki - laki Bugis di sekitar kota, diantara mereka ada sudah tua dan muda, beberapa menggendong bayi , beberapa sakit. Mereka digiring bersama oleh seorang pengemudi Bugis, memegang tongkat yang digunakannya untuk memukul mereka di mana - mana. Saya naik kepada pria itu dan bercakap ' Dari apa orang ini ? ' dan dia menunjukkan nya padaku mengatakan ' Ini adalah keluarga Manggarai, Ini pria dari Mandar '.
Keesokan paginya saya pergi kepelabuhan untuk melihat - lihat. Ketika saya sampai ke perahu, saya menemukan penuh dengan Budak, sekitar tiga ratus pria, wanita dan anak - anak. Mereka sedang diserahi beras di Batok Kelapa dan air dalam sendok Bambu sama seperti orang memberi makan Anjing. Pria yang memiliki Budak ini berperilaku soporti binatang, tidak tahu malu dan tanpa takut ke pada Allah. Gadis - Gadis yang lebih muda mengelilinginya sementara dia berperilaku dengan cara yang tidak pantas untuk saya gambarkan di buku ini. Bagi siapa pun yang ingin membeli Budak perempuan ini, dia akan membuka pakaian mereka dengan segala macam gerak tubuh yang membuat saya malu untuk menulis. Pedagang Budak berperilaku baik cara yang paling biadab, tanpa percikan perasaan, karena aku memperhatikannya ketika kecil anak - anak para budak berteriak mereka menendang mereka sampai kepala sampai tumit dan memukuli ibu mereka dengan tongkat, menimbulakan kelemahan buruk ditubuh mereka.
Mayoritas Budak Wanita adalah orang Bali dan Bugis. Mereka di beli oleh laki - laki dari semua Ras Cina, India, Melayu yang membawa mereka menjadi Istri dan banyak jumlahnya keturunan ada di sini sampai hari ini. (Hikayat Abdullah 1953; 232-4: terjemahan Hill 1955; 161 - 2). (Dari FB laman Bugis Viral AbbasDaming.01/2025)
Kehidupan perbudakan dahulu di Sulawesi Selatan |
Abad 17 - 18 Sulawesi menjalani masa perbudakan.
Hak manusia tak dihargai semestinya di masa perbudakan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar