NusaNTaRa.Com byBahrIHasupiaN, Jum'at 08 J a n u a r i 2021
Farwiza
Farhan (kiri) menarik perhatian publik ketika dia difoto dengan Leonardo
DiCaprio di Leuser. (Foto: HAkA/Paul Hilton) “ Kesenjangan dalam kemiskinan semakin lebar,
biaya perawatan kesehatan menjadi lebih besar dan ini tidak akan berhasil untuk
masa depan kita yang kita bayangkan bersama
”. Farwiza menyadari bahwa ia
tidak memiliki semua jawaban atas masalah-masalah tersebut dan karenanya
mengundang semua orang untuk berdiskusi,
“ Lebih dari segalanya, yang benar-benar saya inginkan untuk ekosistem
Leuser adalah agar kita mulai menemukan cara untuk menganggap konservasi
sebagai kebutuhan dan bukan sebuah kemewahan
“.
“ Ketika masyarakat di beberapa bagian
Indonesia melihat bahwa melindungi terumbu karang berarti membangun ekonomi dan
mata pencarian, mereka mulai melakukannya bahkan tanpa diminta oleh organisasi
konservasi. Saya berharap Ekosistem
Leuser berubah dalam cakupan yang lebih luas
".
|
Ekosistem
Leuser tempat terakhir di bumi badak, harimau, gajah & orang utan masih berkeliaran di alam bebas bersama.
|
Foto
Leonardo DiCaprio actor peraih Oscar berdiri di depan dua ekor gajah bersama
seorang pria dan seorang wanita di Kawasan Ekosistem Leuser, Indonesia pada
tahun 2016 masih lekat dalam ingatan sebagian orang. Leonardo mengunggah foto tersebut di akun
Instagram-nya dan mengatakan bahwa Leuser adalah " tempat keanekaragaman hayati kelas dunia .... tetapi pembukaan lahan uuntuk kolapa sait menghancurkan tempat unik ini ".
Sontak
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar menanggapinya dengan
mengatakan bahwa kementeriannya sedang “ bekerja keras ” untuk melindungi
lingkungan menjawab tulisan actor tersebut.
Gunung Leuser membentangi dua
provinsi paling barat di Indonesia, Aceh dan Sumatera Utara tempat Leonado
syuting untuk sebuah film documenter tentang perubahan iklim.
“ Sejujurnya, saya waktu itu sedikit
terpesona ”, Ujar SiGaluh Farwiza Farhan yang juga tampil
dalam film dokumenter itu dan dalam foto tersebut ada disampingnya. Farwiza cukup dikenal sebagai pegiat
lingkungan, khususnya untuk Leuser yang mencakup area seluas sekitar 2,7 juta
ha, lebih dari 35 kali luas Singapura,
beliau juga ketua dan pendiri lembaga swadaya masyarakat (LSM) Hutan, Alam
& Lingkungan Aceh (HAkA) yang berbasis di Aceh, Farwiza menghabiskan
hari-harinya dengan mengadvokasi kebijakan dan program perencanaan yang
bertujuan untuk melindungi suaka megafauna.
Ekosistem
Leuser adalah tempat terakhir di bumi di mana empat megafauna - badak, harimau,
gajah, dan orangutan - masih hidup bersama di alam liar, “ Dan
fakta bahwa itu adalah tempat terakhir di bumi sebenarnya adalah fakta yang
menyedihkan ”, Ujar SiGaluh wanita Aceh berusia 34 tahun
itu kepada NusaNTaRa.Com. Lebih dari
185.000ha dari kawasan Leuser adalah lahan gambut yang kaya karbon, dan hutan
hujan tropis adalah rumah bagi sekitar 105 spesies mamalia,380 spesies burung,
dan 95 spesies reptil dan amfibi. Ekosistem
Leuser adalah aset bagi pembangunan ekonomi Aceh, dengan nilai yang belum
dimanfaatkan sebesar AS$350 juta (Rp4,95 triliun) per tahun dalam hal potensi
wisata dan jasa ekosistem, menurut HAkA dan system penyangga kehidupan sekitar
4 juta orang Aceh dan menyediakan air dan udara bersih. Bagi Farwiza dan timnya yang terdiri 30 orang
menjadii tugas untuk menjaganya dari ancaman
besar seperti penggundulan hutan akibat ekspansi kelapa sawit, proyek
infrastruktur dan penebangan liar.
Keadaan
tersebut menurut Farwiza, “ Tapi lebih dari segalanya, mungkin yang
paling merusak ekosistem Leuser adalah kebijakan dan perencanaan yang
buruk ”. “ Saya
tidak menentang pembangunan apa pun yang akan meningkatkan kesejahteraan
manusia dan mata pencarian masyarakat. Tapi jika itu dilakukan dengan cara yang
bisa merusak sumber mata pencarian itu sendiri, apa gunanya ? ”.
Farwiza
mengingatkan kejadian tahun 2016, terhadap rencana pembangunan pembangkit listrik tenaga panas bumi
di jantung ekosistem Leuser, Ini kasus
yang menarik karena energi panas bumi adalah energi terbarukan yang sangat kami
dukung, kami akan mendukung pengembangan
energi panas bumi yang akan menghemat energi.
“ Namun, lokasi pembangunan
infrastruktur berada di jantung ekosistem Leuser dan merupakan habitat badak
sensitif yang terancam punah dan tidak banyak yang tersisa di dunia ”,
Ujar SiGaluh Laji.
Akhirnya
HAkA berkampanye menentang proyek tersebut bersama masyarakat dan terus memantaunya untuk
memastikan tidak ada kasus penyuapan atau korupsi yang terlibat, pada tahun 2017 mereka berhasil memenangkan
kasus tersebut dipengadilan. HAkA kini
tengah berjuang di pengadilan untuk banyak kasus lainnya, salah satunya adalah
pembangunan bendungan besar di ekosistem Leuser, “ Bendungan
bisa sangat merusak ekosistem sungai. Hanya 1 persen air di planet ini yang
merupakan air tawar. Dan ekosistem air tawar adalah salah satu ekosistem yang
paling terancam punah ”, Ujar SiGaluh Laji.
Farwiza
lahir dan besar di Aceh Farwiza waktu
kecil banyak menghabiskan waktu di luar rumah karena kedua orang tuanya sibuk
bekerja sebagai dosen sehingga ia sering bermain tanah, serangga dan menonton televise
program tentang alam. Sehingga ketika
dewasa Farwiza ingin mendalami ilmu
biologi dengan pergi kuliah ke Penang, Malaysia sekembalinya dia melamar kerja
di bidang konservasi tetapi tidak berhasil diterima.
“ Itu
mengajari saya bahwa Anda hanya bisa mencapai tujuan yang Anda inginkan untuk
diri Anda sendiri ketika Anda cukup keras kepala untuk terus maju, bahkan
ketika semua orang mengatakan kepada Anda bahwa Anda tidak bias ”,
Ujar SiGaluh Farwiza. Menyadari
bahwa pekerjaan yang diinginkannya membutuhkan 10 tahun pengalaman atau gelar
pasca sarjana, Farhan kemudian memutuskan untuk mengambil S2 di Brisbane,
Australia.
|
Kelompok wanita HAkA penjaga Leuser
|
Setelah
menyelesaikan studinya dan kembali ke Aceh, dia berhasil mendapatkan pekerjaan
di sebuah lembaga pemerintah yang fokus pada ekosistem Leuser. Namun, perubahan pada peta politik Aceh
menyebabkan lembaga tersebut dibubarkan, dan saat itulah Farwiza dan rekan
kerjanya memutuskan untuk mendirikan HAkA pada tahun 2012 yang fokus pada kebijakan, tetapi juga memiliki
program yang memberdayakan masyarakat lokal, termasuk perempuan sehingga
terbentuk program perempuan penjaga
hutan.
“ Kita tahu bahwa perempuan memiliki peran
penting dalam perlindungan lingkungan, tetapi peran mereka sering kali
diabaikan. Di tingkat desa mereka sering terabaikan ... dan tidak diperbolehkan
memiliki banyak peran terutama di Aceh ”,
Ujar
Farwiza. Karena itu, mereka
membekali perempuan di komunitas Leuser dengan pelatihan mengenai hukum agar
mereka tahu apa yang harus dilakukan jika menemui kasus perusakan lingkungan.
Ke-15
perempuan tersebut secara bergiliran berpatroli di kawasan Leuser, meski
terkadang didampingi oleh suami mereka sebagaimana lazimnya di Aceh,
satu-satunya provinsi di Indonesia yang menerapkan hukum syariah. “ Saya
cukup beruntung memiliki keluarga yang mendukung, Ayah saya tidak pernah memaksa saya memakai
jilbab, ibu saya tidak pernah merasa malu dengan saya atas apa pun yang saya
lakukan atau kenakan, dan saya berusaha untuk menghormati mereka juga sehingga
saya tidak mengenakan apapun yang akan membuat mereka malu jika saya di Aceh.
Sembari
bekerja untuk melestarikan ekosistem Leuser, Farwiza juga sedang mengejar gelar
PhD-nya di Belanda, ia juga seorang
anggota Women’s Earth Alliance, sebuah organisasi yang berupaya memperkuat
peran wanita dalam melindungi lingkungan.
Atas karyanya, Farwiza memenangkan Whitley Award 2016, sebuah
penghargaan yang sering dijuluki sebagai " Oscar Hijau " karena merayakan para pemimpin konservasi.
Ia
juga memenangkan Future for Nature Award 2017 yang diperuntukkan bagi
konservasionis muda, terlepas dari
semua pencapaiannya sejauh ini, Farwiza menyadari bahwa perjuangan untuk
melindungi ekosistem Leuser masih jauh dari selesai. Tantangan terbesar adalah kenyataan bahwa
saat ini sistem ekonomi kita, kebijakan kita tidak mendukung konservasi.
Konservasi sangat mahal dalam sistem ekonomi kita dan inilah mengapa konservasi
dipandang sebagai kemewahan.
Dr.CNA,
KikiSiregar, 26 desember 2020,
Farwiza
Farhan telah memenangkan Whitley Award 2016 dan Future for Nature Award 2017.
(Foto: HAkA/Roy Borghouts)
Masuk
hutan keluar hutan,
Farwiza Farham di Lauser berjuang
melindungi kawasan.