NusanTaRa.Com
byMuhammaDBakkaranG, 02/7/2018
byMuhammaDBakkaranG, 02/7/2018
Menurut M. Shaleh Putuhena dalam
Historiografi Haji Indonesia, barangkali orang-orang Nusantara yang pertama
menunaikan ibadah haji adalah mereka yang pernah dilihat Ludovico di Varthema seorang Roma pertama yang mengunjungi Mekah
pada 1503, ketika itu ia melihat jamaah
haji dari kepulauan Nusantara yang dia
sebut “ India Timur Kecil ”. Sebuah
sumber dari Venesia bahwa pada 1556 dan
1566, terdapat lima buah kapal dagang dari Aceh yang berlabuh di Jeddah lolos
hadangan portugis dan kemudian menyempatkan diri ke Mekkah (Azra: 1994). “ Tetapi,
mereka bukan jemaah haji yang sengaja berangkat dari Nusantara untuk
melaksanakan ibadah haji, melainkan pedagang, utusan sultan, dan pelayar yang
berlabuh di Jedah dan berkesempatan untuk berkunjung ke Mekah ”, Ujar SiDin Shaleh.
Kota Mekkah terbilang sebuah kota
yang memiliki daya tarik magis sejak dahulu kala terlebih bagi ummat Islam yang
menjadikannya salah satu rukun imannya yaitu “ Menunaikan Ibadah Haji ke Mekkah
bagi Yang mampu “ serta merupakan kota kelahiran Nabi Muhammad yang menyebarkan
risalah agama Islam. Daya tarik lain Mekah disebut
“ kota para nabi ”, Adam ialah nabi
pertama yang menapakkan kakinya di Mekah, “ Ia
menunaikan haji di kota itu dan mendoakan keturunannya agar dosa-dosanya
diampuni ”, Ujar SiDin
Zuhairi Misrawi intelektual muda
Nahdlatul Ulama dan penulis buku soal Mekah. Beberapa nabi yang meninggal di
Mekah di antaranya Nuh, Hud, Syua’ib, dan Shaleh.
Nabi Ibrahim memiliki jasa dan
sejarah monumental pada perkembangan kota Mekah karena bersama anaknya Ismail ia membangun Kabah
atau rumah Allah (Baitullah) yang menjadi tempat peribadatan resmi bagi
beberapa Agama Samawi dan beberapa Kepercayaan budaya arab. Pasca-Ibrahim,
Mekah dikuasai kabilah Jurhum dari Yaman, lalu digantikan kabilah Khuza’a.
Penggantinya yang berkuasa paling lama adalah kabilah Quraisy yang dipimpin
Qushay, leluhur Nabi Muhammad yang kemudian meneruskan jejak perjuangan Nabi
Ibrahim memuliakan Ka’bah sebagai tempat peribadatan kepada Allah.
Ketertarikan warga Nusantara sudah
tumbuh sejak Islam mulai menapak bumi Nusantara di abad ke-7 yang dibawakan
bangsa Arab khususnya dari Mekkah (ujar Hamka) karena dalam ajarannya mencantumkan
kewajiban untuk mengunjungi Mekkah, sebagaimana
isi sebuah naskah kuno dari Cina yang menyebutkan, sekelompok bangsa Arab telah
bermukim di kawasan Pantai Barat Sumatera (tepatnya di Barus, Tapanuli Tengah,
Sumatera Utara) pada 625 M (Hamka, Sejarah Umat Islam, 1997). Perjalanan
ke Mekkah khususnya untuk menunaikan ibadah haji (pilgrimage) dalam agama Islam bukanlah sekedar
berjalan-jalan menikmati keindahan tanah Arab, tapi perjalanan untuk memenuhi rukun Islam
kelima yang meliputi mengunjungi beberapa tempat dan melaksanakan beberapa
kegiatan ritual yang telah ditentukan dalam ajaran agama Islam untuk mendapat Ridho Allah sebagai yang
disembah dan penyempurnaan keimanan ummat Islam pada rabbinya.
Sejarah kedatangan bangsa Nusantara
ke Mekkah bermula sejak abad XVI dan ketika arus pelayaran
perdagangan dari Timur Tengah ke Nusantara mulai surut akibat serangan armada
perdagangan Portugis di Samudera Hindia, justru arus perdagangan dari Nusantara
melalui Samudera Hindia baru dimulai,
Menurut P.M Holt (1970). Peranan
pedagang Arab yang sebelumnya mendominasi jalur pedagangan Samudera Hindia
berpusat di Malaka, tapi setelah ditaklukkan Portugis tahun 1511 beralih ke
tangan pedagang Nusantara yang ada di
Pasai (Aceh) atau daerah pelabuhan lainnya.
Sejak abad XVII, penduduk pribumi
Nusantara mulai banyak berkelana menuntut ilmu ke Haramain sambil melaksanakan
ibadah haji, meskipun pada awalnya tujuan mereka adalah untuk berdagang atau
menuntut ilmu. Mereka inilah yang kemudian dianggap sebagai angkatan perintis
haji Indonesia. Kerajaan Atjeh dan
Johor Malaysia juga mencatat perjalanan haji di abad 16 dan 17 yang begitu sulit.
Demikian juga di Banten. Pada tahun 1671 sebelum mengirimkan utusan ke Inggris,
Sultan Ageng Tirtayasa mengirimkan putranya, Sultan Abdul Kahar, ke Mekah untuk
menemui Sultan Mekah sambil melaksanakan ibadah haji, lalu melanjutkan
perjalanan ke Turki. Karena kunjungannya ke Mekah dan menunaikan ibadah haji,
Abdul Kahar kemudian dikenal dengan sebutan Sultan Haji.
Mengungkapkan sejarah Warga Nusantara
yang pertama ke Mekkah tetap masih menjadi satu pembicaraan yang
berkepanjangan, selain mendapatkan informasi dari Barat yang terlebih dahulu
menginjakkan kakinya di Timur Tengah, tentunya kita juga tak lepas dari kisah-kisah
dari Kesultanan yang juga berkisah tentang Haji seperti Sunan Gunung Jati, Sultan
Agung Tirtayasa, Haji Purwa, Walasungsang dan Rarasantang dan lainnya, ternyata catatan waktunya lebih awal dari temuan kalangan Barat. Menurut
sumber-sumber tradisional Jawa, Nurullah dengan julukan Syarif Hidayatullah
alias Sunan Gunung Jati, berangkat ke Makkah sebagai Diplomat untuk meminta
bantuan pada Turki Usmania yang berkuasa disana, setelah Pasai (kota kelahirannya), ditaklukkan
oleh Portugis pada 1521. Selama di Kota
Suci selama tiga tahun ia telah melaksanakan rukun Islam yang kelima,
haji dan menuntut ilmu. Sekembali dari
Mekkah, dia berangkat ke Demak untuk bersama penguasa setempat menyerang kerajaan
Hindu-Buddha, Pajajaran, di Banten dan merebut pelabuhan utamanya, Sunda
Kelapa.
Prof. Dadan Wildan Anas dalam naskah Carita Parahiyangan bahwa
pemeluk agama Islam yang pertama kali di tanah Sunda adalah Bratalegawa putra
kedua Prabu Guru Pangandiparamarta Jayadewabrata penguasa kerajaan Galuh (1357-1371), Ia menjadi raja menggantikan abangnya Prabu Maharaja (1350-1357) yang gugur dalam
perang Bubat. Sebelmnya Bratalegawa memilih hidup sebagai
saudagar dan sering berlayar ke Sumatra, Cina, India, Srilanka, Iran,
bahkan sampai ke negeri Arab. Ia menikah
dengan muslimah dari Gujarat Farhana binti Muhammad yang membuatnya memeluk Islam. Sebagai orang yang pertama
kali menunaikan ibadah haji di kerajaan Galuh, ia dikenal dengan sebutan Haji
Purwa.
Syekh Yusuf Al-Makkassaris seorang
ulama, negarawan dan putra kerajaan Gowa Makassar tercatat pernah melakoni
perjalanan haji ke Mekkah sejak tahun 1645-1670, sebelumnya ia menyinggahi Banten 1644, Aceh 1645, Saylan 1649. Perjalanan hajinya inipun bertujuan untuk
meningkatkan pengetahuan agamanya di beberapa perguruan yang ada di sana,
seperti memperdalam Tarekat Nagsyabandiyah, Tarekat Assadah Al-Ba’alawiyah,
Tarekat Satariyah, Tarekat Al-Khalwatiyah Al-Quraisyi dan masih banyak lainnya. " Haji bukan saja tuntunan iman bagi ummat Islam lebih jauh dari it telah tumbuh menjadi budaya Nusantara, ini ditandai dengan berbagai acara dalam pelaksanaan haji yang hanya ditemukan di Nusantara seperti acara selamatan dsbg ", Ujar SiDin Ustat Muslimin Legenda pengamat Islam.
Naskah Kuno Carita Purwaka Caruban
Nagari, naskah-naskah tradisi Cirebon
dan Babad Cirebon, dalam
naskah-naskah tersebut bahwa
Raden Walangsungsang bersama adiknya Rarasantang keduanya putra Prabu Siliwangi, Raja Pajajaran, dan
pernah berguru agama Islam kepada Syekh Datuk Kahpi di Gunung Amparan Jati Cirebon. Walangsungsang bersama Rarasantang berangkat ke Mekah sekitar tahun 1446-1447 (seabad setelah Bratalegawa menunaikan ibadah haji). Dalam perjalanan ibadah haji Rarasantang dinikahi oleh Syarif Abdullah,
Sultan Mesir dari Dinasti Fatimiyah dan berputra dua orang yaitu Syarif
Hidayatullah (1448) dan Syarif Arifin (1450)
dan Sebagai haji, nama
Walangsungsang menjadi Haji Abdullah Iman dan
Rarasantang menjadi Hajjah
Syarifah Mudaim.
Agus Sunyoto (Sejarawan Islam)
mengatakan geliat haji di Nusantara semakin meningkat di saat kongsi dagang
Hindia Timur Belanda (VOC) membuka penyelenggaraan haji secara berjemaah dengan
mengerahkan aset kapal yang dimilikinya. Peristiwa ini, kata dia, mulai
berlangsung di saat VOC melihat peluang besar atas rencana dibukanya Terusan
Suez pada 1869. " Sejak akhir abad 17 itulah tercatat Mukimin
Nusantara mulai menginjakkan kakinya di Mekkah dan Madinah untuk berhaji ", Ujar SiDin Agus, Selasa
(30/8/2016). Setelah VOC runtuh penyelenggaraan haji diambil alih pemerintah
kolonial Belanda dengan biaya
masing-masing calon haji harus
membayar f282,99 (gulden) untuk tiket
pulang-pergi dan f322,99 hanya membeli
tiket sekali jalan.
Perjalanan Haji zaman dahulu tidaklah
semudah sekarang hanya dalam 48 jam dengan pesawat, Jemaah sudah berada di
Mekkah, zaman dahulu orang naik haji dapat memakan waktu sampai dua tahun, waktu pelayaran memakan waktu 6 bulan serta menyinggahi beberapa kota seperti Singapura, Malaka,
Aceh, Kota Serilangka dan India (Gujarat), Yaman dan lainnya. Hal lain yang menjadi pertimbangan untuk
berangkat berhaji musim badai dalam pelayaran, banyaknya Bajak
laut dan bekal yang dibawa para Jemaah saat menunaikan tuntan Agama tersebut, sangkin beratnya perjalanan ini terkadang ada
Jemaah yang terpaksa tinggal dan menetap disuatu daerah dan tak jarang
meninggal dalam perjalanan.
Dengan perkiraan jumlah penduduk
dunia yang beragama Islam 1,6 milyar dan Indonesia 190 juta maka jumlah Jemaah Haji
pertahunya di Ka’bah dapat mencapai 2 juta ummat Islam dan Jemaah Haji
Indonesia mencapai 600 ribu Jemaah yang terbanyak, jumlah ini belum termasuk Jemaah
Haji …… alias haji Travel. Perjalanan hajipun menuju Mekkah menggunakan
berbagai kendaraan Pesawat, Kapal Laut, Mobil bahkan jalan kaki berjalan dengan
lancar karena semakin membaiknya pelayanan publik disetiap Negara. Biaya perjalanan haji yang diselenggarakan Pemerintah dan swasta
serta jenis pelayanan sangat berbeda, untuk pelayanan pemerintah per orangnya
sekitar Rp 23 juta.
LaDollah Naik Hajii Geeeeerr,
Naik Haji dahulunye Paki Perahu Layar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar