Selasa, 25 April 2017

MBAH SARIJO, LEGENDA TERAKHIR WARGA MIGRASI JAWA DI SURINAME

NusanTaRa.Com


Ketika Belanda mengembangkan daerah koloninya di Benua Amerika selatan  yang  disebut dengan Suriname atau  dulunya Guyana  Belanda tahun  1830,   Penjajahan wilayah tersebut diikuti dengan pengembangan sektor perkebunan sebagai bahan komoditas  sebagai  pendukung  perekonomian  Belanda   dari Negara jajahan tersebut.     Perkembangan  perkebunan yang pesat  membutuhkan tenaga kerja yang sangat besar, untuk itu  Belanda  mendatangkan tenaga kerja dari luar daerah seperti India, Banglades,  Afrika dan Indonesia.   Gelombang migrasi besar-besaran warga Jawa ke Suriname yang di eksploitisir Belanda terjadi sekitar tahun 1890 hingga 1939 hingga mencapai   75.000 jiwa.    Warga Jawa yang migrasi tersebut datang dengan paksaan Belanda dipekerjakan dengan upah sangat minim, bekerja sesuai dengan kemauan pemilik perkebunan (pernangsi)  dan sering mendapat perlakuan kurang pantas. 


Tercatat Sarijo Moeljoredjo menjadi salah satu imigran yang berangkat dari Tanah Jawa menuju Suriname,   Mbah Sarijo menjadi salah satu imigran yang datang pada  Gelombang terakhir dan menjadi menjadi saksi hidup migrasi puluhan tahun lalu (Website Agustinus Wibowo).    Migrasi mbah Sarijo ke Suriname bersama ayah dan ibu angkatnya saat itu ia berusia  sekitar 10 tahun dan sekarang  ia menjadi salah satu buruh perkebunan yang mampu bertahan hingga kini dengan usia 97 tahun.   

Mbah Sarijo dengan bahasa Jawa medok bercampur Bahasa Kroel salah satu bahasa di Suriname mengatakan  kalau ia berasal dari Desa  poeloean  afdeling Bantool  djokdja,  berangkat ke Paramaribo dengan kapal Simaloer dari Pelabuhan Semarang  26 Juli 1931.  Di Semarang ia dan kedua orang tuanya ditampung dahulu di tangsi, kemudian kapal berlayar dari Semarang singgah di Jakarta dan Aceh untuk mengisi Batu bara di Afrika mengisi Air, bermalam sehari semalam di Belanda untuk selanjutnya melayari Samudera Fasipik menuju Paramaribo, selama pelayaran tersebut ia menyaksikan 5 penumpang meninggal kemudian diceburkan  ke dalam laut dengan diberi pemberat.

Mbah Sarijo berangkat ke Suriname dengan orang tuanya sekitar tahun 1931,  dengan usia 10 tahun tentulah belum banyak yang bisa ia buat untuk meringankan beban orang tuanya.    Pekerja dari Jawa  banyak yang bekerja dalam tekanan atau paksaan dari pada secara sukarela,  mereka dipaksa  melakoni  kontrak selama 5 tahun sebelum akhirnya diberi duit 100 Gulden atau dipulangkan ke kampung halamannya di Jawa yang berjarak ribuan kilometer melintasi samudera  kenang mbah Sarijo dengan sumringah.   Keluarga Mbah Sarijo pergi kesana sebagai pekerja sukarela,  sehingga sedikit beruntung  tidak mendapatkan perlakuan buruk, meski mendapat sedikit tekanan dari pemilik tanah tapi tetap menerima gaji dengan baik.

Setelah berusia 13 tahun  beliau   mulai bekerja  membantu kedua orang tuanya untuk mencari rumput ternak dengan upah 120 sen per hari ,   usaha yang dilakukannya setiap hari tersebut demi mendapatkan uang beberapa  sen.   Kemudian  diusia ia sudah beranjak dewasa  Mbah Sarijo mulai bekerja secara tetap di perkebunan Kopi lalu ke  perkebunan Tebu  yang terletak di Alliance pada tahun 1940.   Mbah Sarijo kemudian pindah ke Moengo bekerja sebagai pembangun jalan dan bekerja di Tambang Bauksit kemudian pension pada tahun 1981, kepindahan kerja tersebut karena pendapatannya menurun akibat harga Tebu yang Anjlok.

Mbah Sarijo menceritakan kesedihan keluarganya  diawal mereka di Suriname, suatu saat ayahnya resah memikirkan anaknya di Jawa kalau-kalau nanti tidak terurus karena ibunya telah meninggal.   Sehingga ia bermaksud kembali ke Jawa dengan memberikan uang sebesar 100 Gulden ke pada seorang Belanda agar mendapat tumpangan untuk kembali kenegeri leluhurnya.   Tapi keberangkatan mereka tak kunjung  jadi meski akhirnya uang telah dikembalikan,  menurutnya uang 100 Gulden kala itu sangatlah besar  karena gaji harian  yang diterima pekerja hanya beberapa ratus Sen saja. 

Mbah Sarijo bertutur Alhamdulillah meski   ayah dan ibunya meninggal dunia beliau masih sempat  menikah meski belum dikaruniai buah hati.   Kesedihan menimpa  Mbah Sarijo ketika istrinya kemudian meninggal dunia 21 tahun yang lalu sehingga membuat hidup  tulen sebatang kara tanpa siapa-siapa di Moengo  sementara usianya semakin tua di angka 97 tahun.    Setiap hari ia mengelola  kebun Pisang disebelah rumahnya  yang dapat membuatnya bahagia dan mengungkapkan tidak ingin kembali ke Jawa lebih baik meninggal di Suriname  karena keluarganya disana sudah tak mengenalnya lagi.
byMcDonalDBiunG
Kuda Lumping melenggok di Suriname,
Mbah Sarijo warga migrasi jawa terakhir di seberang sane.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

LIMA PEMBUANGAN SAMPAH TERBESAR DI DUNIA, ADA BANTAR GEBANG !!

NusaNTaRa.Com       byBatiSKambinG,        R   a   b   u,    2   0      N   o   p   e   m   b   e   r      2   0   2  4     Tempat Pengelola...