NusanTaRa.Com
byMcDonalDBiunG
Ketika
Belanda mengembangkan daerah koloninya di Benua Amerika selatan yang disebut
dengan Suriname atau dulunya Guyana Belanda tahun 1830,
Penjajahan wilayah tersebut diikuti dengan pengembangan sektor
perkebunan sebagai bahan komoditas
sebagai pendukung perekonomian Belanda dari Negara jajahan tersebut. Perkembangan perkebunan yang pesat membutuhkan tenaga kerja yang sangat besar,
untuk itu Belanda mendatangkan tenaga kerja dari luar daerah
seperti India, Banglades, Afrika dan
Indonesia. Gelombang migrasi
besar-besaran warga Jawa ke Suriname yang di eksploitisir Belanda terjadi
sekitar tahun 1890 hingga 1939 hingga mencapai
75.000 jiwa. Warga Jawa yang
migrasi tersebut datang dengan paksaan Belanda dipekerjakan dengan upah sangat
minim, bekerja sesuai dengan kemauan pemilik perkebunan (pernangsi) dan sering mendapat perlakuan kurang
pantas.
Tercatat
Sarijo Moeljoredjo menjadi salah satu imigran yang berangkat dari Tanah Jawa
menuju Suriname, Mbah Sarijo menjadi
salah satu imigran yang datang pada
Gelombang terakhir dan menjadi menjadi saksi hidup migrasi puluhan tahun
lalu (Website Agustinus Wibowo).
Migrasi mbah Sarijo ke Suriname bersama ayah dan ibu angkatnya saat itu
ia berusia sekitar 10 tahun dan
sekarang ia menjadi salah satu buruh
perkebunan yang mampu bertahan hingga kini dengan usia 97 tahun.
Mbah Sarijo
dengan bahasa Jawa medok bercampur Bahasa Kroel salah satu bahasa di Suriname
mengatakan kalau ia berasal dari
Desa poeloean afdeling Bantool djokdja,
berangkat ke Paramaribo dengan kapal Simaloer dari Pelabuhan
Semarang 26 Juli 1931. Di Semarang ia dan kedua orang tuanya
ditampung dahulu di tangsi, kemudian kapal berlayar dari Semarang singgah di
Jakarta dan Aceh untuk mengisi Batu bara di Afrika mengisi Air, bermalam sehari
semalam di Belanda untuk selanjutnya melayari Samudera Fasipik menuju
Paramaribo, selama pelayaran tersebut ia menyaksikan 5 penumpang meninggal
kemudian diceburkan ke dalam laut dengan
diberi pemberat.
Mbah Sarijo
berangkat ke Suriname dengan orang tuanya sekitar tahun 1931, dengan usia 10 tahun tentulah belum banyak
yang bisa ia buat untuk meringankan beban orang tuanya. Pekerja dari Jawa banyak yang bekerja dalam tekanan atau
paksaan dari pada secara sukarela, mereka dipaksa
melakoni kontrak selama 5 tahun
sebelum akhirnya diberi duit 100 Gulden atau dipulangkan ke kampung halamannya
di Jawa yang berjarak ribuan kilometer melintasi samudera kenang mbah Sarijo dengan sumringah. Keluarga Mbah Sarijo pergi kesana sebagai
pekerja sukarela, sehingga sedikit
beruntung tidak mendapatkan perlakuan
buruk, meski mendapat sedikit tekanan dari pemilik tanah tapi tetap menerima gaji dengan
baik.
Setelah berusia
13 tahun beliau mulai
bekerja membantu kedua orang tuanya
untuk mencari rumput ternak dengan upah 120 sen per hari , usaha yang dilakukannya setiap hari tersebut
demi mendapatkan uang beberapa sen. Kemudian
diusia ia sudah beranjak dewasa
Mbah Sarijo mulai bekerja secara tetap di perkebunan Kopi lalu ke perkebunan Tebu yang terletak di Alliance pada tahun
1940. Mbah Sarijo kemudian pindah ke
Moengo bekerja sebagai pembangun jalan dan bekerja di Tambang Bauksit kemudian
pension pada tahun 1981, kepindahan kerja tersebut karena pendapatannya menurun akibat harga Tebu yang Anjlok.
Mbah Sarijo
menceritakan kesedihan keluarganya
diawal mereka di Suriname, suatu saat ayahnya resah memikirkan
anaknya di Jawa kalau-kalau nanti tidak terurus
karena ibunya telah meninggal. Sehingga
ia bermaksud kembali ke Jawa dengan memberikan uang sebesar 100 Gulden ke pada
seorang Belanda agar mendapat tumpangan untuk kembali kenegeri leluhurnya. Tapi keberangkatan mereka tak kunjung jadi meski akhirnya
uang telah dikembalikan,
menurutnya uang 100 Gulden kala itu sangatlah besar karena gaji harian yang diterima pekerja hanya beberapa ratus
Sen saja.
Mbah Sarijo
bertutur Alhamdulillah meski ayah dan
ibunya meninggal dunia beliau masih sempat
menikah meski belum dikaruniai buah hati. Kesedihan menimpa Mbah Sarijo ketika istrinya kemudian meninggal
dunia 21 tahun yang lalu sehingga membuat hidup
tulen sebatang kara tanpa siapa-siapa di Moengo sementara usianya semakin tua di angka 97
tahun. Setiap hari ia mengelola kebun Pisang disebelah rumahnya yang dapat membuatnya bahagia dan
mengungkapkan tidak ingin kembali ke Jawa lebih baik meninggal di Suriname karena keluarganya disana sudah tak
mengenalnya lagi.
Kuda Lumping melenggok di Suriname,
Mbah Sarijo warga migrasi jawa terakhir di seberang sane.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar