(Kisah ini merupakan kumpulan
Tajuk " Anak-anak PerBatasan "
khususnya di kawasan Nunukan yang berbatasan dengan Sabah Malaysia tahun
1964-1968 yang saat itu bersitegang dalam konfrontasi Dwi Kora. Tulisan ini buat Ultah Kab. Nunukan yang ke
16, pada 12 September 2015)
NusanTaRa.Com
Perseteruan Indonesia dan Malaysia tahun 1962 – 1968 yangg lebih dikenal dengan Dwikora atau konfrontasi, berakibat terjadinya ketegangan politik dan militer yang tentunya sangat terasa bagi masyarakat yang berada diperbatasan kedua negara tersebut. Sebagaimana dengan desa tempat saya menetap di kala masa kecilku tahun 1966 yaitu di Pulau Nunukan Prov. Kalimantan Utara (Timur dulu) yang berbatasan dengan Sabah Malaysia yaitu kota Tawau dan Walacebay.
Dinamika
yang tampak di daerah Perbatasan dengan ketegangan militer tentunya akan dihiasa
dengan berbagai aktipitas militer atau pertahanan dan keamanan seperti aktifitas
kesiagaan tentara dan masyarakat dalam pertempuran, perlindungan, patroli dan pengintaian. Gejolak lain yang juga terasa di perbatasan
Nunukan saat itu selain keamanan yang
selalu terancam, masyarakat
perbatasan didesa kami juga saat itu mengalami kekurangan bahan pangan
khususnya beras yang sebagian besar masih didatangkan dari Jawa. Gejolak ini seiring dengan keadaan politik di
Pusat Jakarta yang mengalami krisis pergerakan politik
partai PKI yang gagal ingin menguasai Indonesia serta konplik Trikora perebutan
kembali Irian Jaya dari Kolonialis Belanda yang berdampak pada krisis ekonomi
serta pangan nasional berupa kurangnya
produksi pangan dan harga pangan
yang tinggi, sehingga lahir Tritura yang diserukan kalangan mahasiswa yang tergabung dalam Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) dan diikuti kesatuan ormas lain, yang memuat 1. Bubarkan PKI 2. Bersihkan kabinet dari antek PKI dan 3. Turunkan harga Sembako.
Gejolak
pangan/sembako nasional tersebut ternyata merembes juga kedaerah terpencil dan
perbatasan tempat saya tinggal, sehingga terlihat banyak masyarakat hanya
memakan Jagung dan Ubi sebagai menu keseharian yang tentunya akan menjadi kegelisahan masyarakat. Sehingga tak heran bila Pak camat Nunukan yang saat itu
dijabat Datuk Langkat, hampir setiap hari ada saja masyarakat yang mengeluhkan keadaan
ini pada beliau serta kepada komandan satuan TNI atau KKO yang banyak bermarkas disana
dalam menjaga keamanan dan konplik perbatasan tersebut.
Untuk mengatasinya suatu saat ayahku dan beberapa masyarakat diajak berembuk mengatasi kemelut pangan tersebut bersama Datu Langkat
dan para komandan KKO. Menurut Lamuka tokoh masyarakat dan anggota
Sukarelawan bahwa : “ untuk memenuhi
kebutuhan beras salah satu jalan adalah kita mendatangkannya dari Kota Tawau
yang sedang konplik dengan kita “. Maka
diputuskanlah untuk mendatangkan beras dari Tawau dengan cara penyeludupan atau menerobos blokade laut dan
ditetapkan peserta yang akan berangkat diantaranya Pak Barkat penduduk asli suku tidung yang juga mempunyai
banyak kekerabatan di sebelah, La Muka seorang
Sukarelawan sekaligus sebagai ketua, LaOlo seorang Penambang (mengantarkan orang dengan perahu) ke Tawau dan Ayahku yang pernah bekerja di
Tawau sebelum konfrontasi tersebut meletus, dengan menggunakan perahu kayu sepanjang
12 meter.
Setelah
mahgrib aku dan ibuku menuju ke pantai yang berbakau terletak didepan Pos Intai
KKO (sekarang=Pasar Tanah Merah) saat itu usiaku sekitar 5 tahun, aku melihat ayahku dan
ketiga temannya sedang mempersiapkan pelayaran mereka menuju Tawau dengann
perahunya. Disaksikan Bapak Camat
dan para Komando KKO yang akan melepaskan keberangatan tersebut, setelah semua peserta naik perahu aku melihat Bapak Camat
mengucapkan kata-kata : “ Hati-hati semua semoga selamat “, tak lama
perahupun meluncur meninggalkan pantai dan tak lama hilang ditelan pekatnya kegelapan malam serta deru ombak ditengah laut dan kamipun satu persatu meninggalkan tempat pemberangkatan menuju rumah masing-masing.
Selang tujuh hari kemudian, disubuh hari saat aku masih
enak tertidur ibuku mendengar ketokan pintu dan iapun bergegas pergi membuka pintu tersebut, setelah dibuka ayahku masuk dengan memikul sekarung beras
dengan kegembiraan ibuku memanggilku dan berkata : “ Bapakmu datang cepat kesini “ mendengar
tersebut aku dan adikku tersentak bangun dan datang memeluk ayahku yang baru
tiba dan masih terlihat letih karena seharian harus berdayung selama kurang
lebih 8-10 jam.
Menurut
kisah ayahku, Pemberangkatan malam hari tersebut membuat mereka tidak terlihat
oleh sebuah kapal patroli kecil Malaysia yang sering kami sebut Pos Apung yang
selalu berlabuh didepan Nunukan yaitu Pos Kayu Mati, kemudian perahu mereka
mengambil jalur muara selat yang kecil sekitar 1,5 mil dari Pos Apung tersebut. Perjalanan selanjutnya dari muara selat
menuju Walacebay kota kecil Malaysia yang berada di P Sebatik yang ditempuh
sekitar 5 jam setiba di sana mereka menginap salah satu rumah keluarga Pak Barkat yang
banyak menetap disana.
Pagi hari sekitar
jam 08.30 pagi keempat penebus blokade Malaysia tersebut turun keperahu untuk
melanjutkan perjalanan menuju Tawau yang telah setengah perjalanan mereka lewati, Sejam setelah meninggalkan pantai tadi mereka
harus melalui penjagaan Pos Apung yang berlabuh tak jauh dari pantai, mereka ditanya oleh
seorang polisi Melayu sambil menelunjuk ke Pak Barkat : “ Mau Kemana
kamu ? “, Pak Barkat menjawab : “ Kami warga Walacebay mau ke Tawau membeli
kebutuhan sehari-hari, mohon izin tuan ? “.
Perjalanan kali ini cukup berat karena perairan yang akan dilalui merupakan selat yang agak
luas dengan arus yang besar sehingga
untuk sampai Di Tawau dibutuhkan waktu sekitar 8 jam. Sesampai di Tawau mereka masih harus melewati Pemeriksaan dari Pos
Apung Malaysia, dengan alasan sebagai warga Walacebay ingin memenuhi kebutuhan
sehari-hari mereka agar diizinkan mendarat, dan mereka pun mendarat di Pasar Ikan
(sekarang menjadi Kawasan Sabindo).
Setiba di
Tawau Pak LaMuka ketua rombangan berkata : “
Kita harus menginap disini tiga hari sambil mencari keperluan, kita akan istirahat
untuk memulihkan tenaga “. Setelah perahu
ditambatkan pas di belakang pasar ikan yang berada di pinggir laut dekat pusat perbelanjaan, mereka semua
istrahat di warung Kopi milik Cina yang berada di salah satu blok perbelanjaan menikmati seduhan kopi dan makan dengan lahapnya, melepas kebosanan setelah dua hari lelah dengan
mendayung seharian. Selama di Tawau ayahku mengajak mereka menginap dirumah rekannya yang ia kenal saat ia masih bekerja disini dulu yaitu di
kampung “ Esbok ujung “ dan menjadi
penunjuk jalan dalam mencari keperluan di Bandar Tanjung (pusat keramaian/kota).
“ Pak semua
barang Beras, Gula dan barang lainnya sudah siap diatas perahu “, ujar Pak
LaOlo menjatuhkan karung beras terakhir
diatas perahu, perahupun meluncur
kelaut yang tentunya akan melalui Pos Apung yang selalu mangkal tidak jauh dari
situ. “ Hati-hati semoga selamat sampai
ke Waylesbay “ kata polisi melayu yang menyandang senjata di
Kapal kecil itu, kemudian dijawab pak LaMuka terimakasih mister, dan perahupun
malaju membelah selat dengan harapan segenap awak perahu yang masing-masing memegang dayung untuk segera tiba di Nunukan namun sebelumnya harus singgah bermalam dulu di Walacebay.
byBakriSupian
Naik sampan sendiri di Hutan Bakau,
Dengan hati yang baik kita dapat menghindari hidup galau.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar