Protokol Nagoya mengatur akses pada sumber daya genetika dan pembagian keuntungan yang adil dari pemanfaatannya.
Tanggal 12 Oktober 2014, Protokol Nagoya mulai berlaku. Protokol dapat berlaku dan berkekuatan penuh karena sudah ditandatangani lebih dari 50 negara dan telah 90 hari diterima Sekretaris Jenderal PBB.
NusanTaRa.Com Pada 8 Mei 2013 Indonesia
telah meratifikasi Protokol Nagoya dengan Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2013, hanya dua tahun setelah protokol tersebut
ditandatangani.yaitu 29 10 2010. Dengan demikian, Indonesia menjadi negara ke-26 yang
meratifikasi.
Protokol Nagoya mengatur akses pada sumber daya
genetika dan pembagian keuntungan yang adil dari pemanfaatannya atas
Konvensi Keragaman Hayati. Dalam pembahasan di PBB protokol Nagoya Jepang dihasilkan tiga putusan utama, yakni rencana strategis untuk
mengembalikan keragaman hayati, pendanaan strategi itu dan kesepakatan
dalam isu penyalahgunaan sumber-sumber genetika.
Sangat wajar jika Indonesia menerima dan menjadi penanda tangan protokol
tersebut serta meratipikasi dalam bentuk UU, karena negara kita memiliki keragaman hayati sangat tinggi di dunia yang memerlukan satu penataan dan perlindungan yang kuat. Putusan tersebut Akan mengatur pemanfaatan dan perdagangan keragaman hayati secara global,
termasuk pembagian keuntungan, persetujuan transfer yang menguntungkan,
dan pemberitahuan kepada pemangku kepentingan, alih teknologi, dukungan negara lain terhadap kebijakan negara terkait keragaman hayati dan
lain-lain.
Rencana 10 Tahun
Untuk 10 tahun ke depan, sampai 2020 kawasan lindung darat akan diperluas sebanyak 17% dari 13%, sedangkan wilayah laut yang dilindungi akan ditambah sebanyak 10% dari 1% angka ini berada jauh dibawah tuntutan Organisasi Lingkungan GreenPeace. Delegasi juga menyepakati rencana untuk mendirikan badan internasional yang memberikan informasi lebih baik bagi negara-negara keputusannya akan berdampak pada lingkungan hidup. Dengan hampir 1/4 jenis mamalia, 1/3 jenis amfibi dan lebih 1/5 spesies flora terancam punah, kedepan ancaman tersebut akan semakin meningkat seiring pertumbuhan populasi manusia.
Terobosan Dalam Upaya Melawan Pembajakan Bio-Genetika
Masyarakat pribumi negara-negara miskin namun kaya akan keragaman sumberdaya alam dengan materi genetik tersendiri dan pengetahuan tradisionil mengolah hasil alam mereka dalam berbagai bentuk produk sederhana sering mengalami kerugian yang cukup besar tanpa mengalami konpensasi yang sewajarnya dan eksploitasi secara besar-besaran yang merusak alam tempat mereka bergantung. Sementara kearipan masyarakat tersebut dan alamnya dikembangkan dalam bentuk produk-produk lebih modern dan kemudian dijual kembali kemereka dalam harga yang lebih tinggi dan laba tinggi.
Negara-negara Afrika dan negara-negara lain yang miskin secara finansial tapi kaya dalam sumber alam, seperti India dan Brasil melalui KTT Nagoya ini berharap dapat menjembatani kesenjangan pemanfaatan alam dan kearipan tersebut lebih bijak yang berdampak pada lebih terlindunginya alam mereka dari kerusakan.
Untuk 10 tahun ke depan, sampai 2020 kawasan lindung darat akan diperluas sebanyak 17% dari 13%, sedangkan wilayah laut yang dilindungi akan ditambah sebanyak 10% dari 1% angka ini berada jauh dibawah tuntutan Organisasi Lingkungan GreenPeace. Delegasi juga menyepakati rencana untuk mendirikan badan internasional yang memberikan informasi lebih baik bagi negara-negara keputusannya akan berdampak pada lingkungan hidup. Dengan hampir 1/4 jenis mamalia, 1/3 jenis amfibi dan lebih 1/5 spesies flora terancam punah, kedepan ancaman tersebut akan semakin meningkat seiring pertumbuhan populasi manusia.
Terobosan Dalam Upaya Melawan Pembajakan Bio-Genetika
Masyarakat pribumi negara-negara miskin namun kaya akan keragaman sumberdaya alam dengan materi genetik tersendiri dan pengetahuan tradisionil mengolah hasil alam mereka dalam berbagai bentuk produk sederhana sering mengalami kerugian yang cukup besar tanpa mengalami konpensasi yang sewajarnya dan eksploitasi secara besar-besaran yang merusak alam tempat mereka bergantung. Sementara kearipan masyarakat tersebut dan alamnya dikembangkan dalam bentuk produk-produk lebih modern dan kemudian dijual kembali kemereka dalam harga yang lebih tinggi dan laba tinggi.
Negara-negara Afrika dan negara-negara lain yang miskin secara finansial tapi kaya dalam sumber alam, seperti India dan Brasil melalui KTT Nagoya ini berharap dapat menjembatani kesenjangan pemanfaatan alam dan kearipan tersebut lebih bijak yang berdampak pada lebih terlindunginya alam mereka dari kerusakan.
Sebagai negara yang keragaman hayatinya setara dengan
Brasil di Benua Amerika dan Zaire atau Republik Demokratik Kongo di
Afrika, dengan mempunyai 10 persen
tumbuhan berbunga di dunia, selain mempunyai 15 persen jumlah serangga,
25 persen spesies ikan, 16 persen jumlah amfibi dan reptil, 17 persen
burung, dan sekitar 12 persen mamalia di dunia. Sepantasnya kita bersiap diri menyongsong pemberlakuan protokol
ini dengan penguatan bidang sains dan teknologi mengenai biodiversitas. Kalau tidak, maka kita akan menerima banyak sekali
pakar biologi dan ilmu sejenisnya dari luar negeri yang memanfaatkan
peluang di Indonesia, terlebih pada 2015 kita akan memasuki komunitas
ASEAN dan penerapan Sustainable Development Goal.
Pengaturan dalam
Protokol Nagoya bertujuan memberi akses dan pembagian keuntungan
terhadap pemanfaatan sumber daya genetika dan pengetahuan tradisional,
termasuk pemanfaatan produk turunannya (derivatif). Tujuan lain,
mencegah pencurian sumber daya genetika atau biopiracy.
Rentan pembajakan
Kekayaan
sumber daya hayati memang perlu dikelola sekaligus dilindungi karena
rentan pembajakan hayati, terutama oleh negara-negara maju. Perusahaan
dari negara maju kerap mengambil sumber daya genetika tanpa izin.
Indonesia pun pernah mengalami praktik serupa. Banyak sekali sumber daya
genetika, seperti obat, bahan industri, dan pangan, dipatenkan
perusahaan dan pakar luar negeri.
Sumber daya genetika itu menjadi
tujuan peneliti luar negeri karena materi genetika kita sangat tinggi.
Data menunjukkan, 9 dari 10 obat-obatan yang diproduksi berasal dari
materi genetika (Dobson 1995).
Ini sejalan dengan hasil penelitian
lain, yaitu dari 150 obat-obatan yang diresepkan dokter di Amerika
Serikat, 118 jenis berbasis sumber alam, yaitu 74 persen dari tumbuhan,
18 persen jamur, 5 persen bakteri, dan 3 persen vertebrata seperti ular.
Nilai obat-obatan dari bahan alam mencapai 40 miliar dollar AS per
tahun.
Keahlian memanfaatkan tumbuhan sebagai bahan baku obat
penting dalam pengembangan obat. Industri obat-obatan yang menggunakan
bahan tradisional (jamu) termasuk industri tangguh dan permintaan akan
bahan tradisional di negara maju semakin meningkat. Maka dari itu,
Indonesia sangat mengharapkan keuntungan dari pemanfaatan sumber daya
alam genetika ini.
Hal itu dapat dicapai melalui kerja sama yang
melibatkan masyarakat setempat, swasta, dan lembaga internasional dalam
penelitian sehingga keuntungan dapat terbagi merata dan dinikmati
bersama.
Seiring dengan gencarnya usaha industri farmasi dalam
mencari sumber baru bahan baku kimia tumbuhan untuk mengembangkan obat,
industri memusatkan perhatian pada negara dengan keragaman hayati tinggi
seperti Indonesia. Berarti Indonesia dapat turut berpartisipasi dalam
pertukaran barang, informasi, dan teknologi ke pasar dunia.
Negara
industri maju perlu memenuhi kebutuhan sumber daya alam untuk
kepentingan ekonomi, tetapi sebagian besar sumber daya hayati ada di
negara berkembang. Sangat jelas bahwa kerja sama antarnegara sangat
dibutuhkan untuk mengatasinya. Indonesia dapat menjalin kerja sama
dengan industri farmasi internasional melalui dua cara.
Pertama,
mengurangi peran bioprospeksi menjadi sekadar alat pencari uang. Namun,
ekspor dan eksploitasi sumber daya alam skala besar dapat menyebabkan
menurunnya persediaan bahan baku alam tanpa menghasilkan keuntungan dan
teknologi apa pun. Dengan dukungan dari Konvensi Keragaman Hayati,
pilihan kedua adalah mengelola secara komersial sumber daya alam yang
dapat menghasilkan keuntungan buat masyarakat dan penduduk lokal.
Selain
peluang, terdapat pula tantangan bagi Indonesia. Paling tidak terdapat
dua tantangan Indonesia. Pertama, pembentukan otoritas nasional
pengelolaan dan perlindungan sumber daya di Indonesia. Bentuk
kelembagaan ini bersifat multisektor karena sifat sumber daya genetika
di berbagai habitat yang mencakup perairan dan kelautan, pertanian,
kehutanan, serta penelitian/ilmu pengetahuan. Keanggotaan lembaga
terdiri dari pemangku kepentingan dan instansi terkait. Kedua,
pembentukan standar baku atau prosedur operasi standar (SOP) naskah
akses dan pembagian manfaat sumber daya genetika serta perjanjian
transfer materi biologik (material transfer agreement).
Perlu sinergi
Sinergi
institusi pengelola perlu agar tercipta tata kelola dan perlindungan
sumber daya genetika di Indonesia yang holistik serta didukung negara lain akan menjamin tercapainya tujuan tersebut. Langkah selanjutnya
adalah kerja keras dari negara dan masyarakat untuk mewujudkannya. Tanpa
sinergi antara negara dan masyarakat, amat sukar untuk mewujudkan tata
kelola dan perlindungan sumber daya genetika yang holistik di Indonesia.
Pengembangan ini tentunya akan diikuti dengan memperkuat akses tehnologi yang dapat memberi nilai tambah yang lebih yang meliputi pelayanan yang berhubungan
dengan identifikasi sampel, ekstraksi kimia, dan investigasi sampel, yang semuanya nantinya akan berujung pada peningkatan kompensasi perekonomian khususnya bagi masyarakat pemilik dan pengguna kawasan alam.
Peluang dan Tantangan protokol Nagoya bagi Indonesia
Secara umum pengaturan tersebut maksud dan
tujuan antara : (1) memberikan akses dan pembagian keuntungan
terhadap pemanfaatan sumber daya genetik dan pengetahuan tradisional
terkait sumber daya genetik, termasuk pemanfaatan atau komersialisasinya
serta produk turunannya (derivative); (2) Akses terhadap sumber daya
genetik tersebut tetap mengedapankan kedaulatan negara dan disesuaikan
dengan hukum nasional ; dan (3)
mencegah pencurian sumber daya genetik (biopiracy).
Secara resmi Indonesia menjadi Negara Pihak Protokol Nagoya pada 24
September 2013. Manfaat menjadi Negara Pihak Protokol Nagoya antara
lain: (1) menegaskan penguasaan negara atas sumber daya alam dan
kedaulatan negara atas pengaturan akses terhadap Sumber Daya Genetik
(SDG) dan pengetahuan tradisional dari masyarakat hukum adat dan
komunitas lokal, sejalan dengan Pasal 33 dan Pasal 18 UUD RI 1945; (2)
mencegah biopiracy dan pemanfaatan tidak sah (illegal utilization)
terhadap keanekaragaman hayati; (3) menjamin pembagian keuntungan yang
adil dan seimbang atas pemanfaatan SDG dan pengetahuan tradisional yang
berkaitan dengan SDG kepada pemilik atau penyedia SDG; dan (4)
menciptakan peluang untuk akses alih teknologi pada kegiatan konservasi
dan pemanfaatan keanekaragaman hayati secara berkelanjutan.
byBakriSupian. Reff. NGI&Kompas.
Kearifan bentuk naturalis budaya manusia,
Perlindungan alam terkait dengan masyarakat disekitarnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar