Burung ini termasuk salah satu jenis yang penampakannya
terkesan Anggun dan Berwibawa meski ia jarang terbang tinggi mengangkasa
melainkan terbang didalam kerimbunan hutan saja dari satu pohon kepohon yang
lainnya atau biasa disebut Arboreal. Di
Kalimantan orang menyebutnya dengan burung Enggang atau lebih dikenal dalam bahasa Indonesia sebagai Rangkong. Merupakan jenis burung dari famili Bucerotidae
yang memiliki ciri-ciri tubuh untuk dewasa sebagai berikut : panjang ukuran tubuh berkisar 1 meter, paruh
panjang dan besar berwarna kuning atau
krem yang keras serupa tulang bahkan beberapa diantaranya memiliki tanduk (casque)
yang terletak di atas paruhnya dan memiliki warna bulu putih, Hitam dan sedikit kuning. Kawanan burung ini banyak hidup didaerah
tropis selain Indonesia juga di Asia lain dan Afrika.
Berdasarkan data MacKinnon, J (2010) Terdapat sepuluh jenis
burung enggang di Sumatera (S) dan
Kalimantan (K), tiga jenis terdapat di Jawa (J) dan Bali (B) serta beberapa jenis lainnya terdapat di Sulawesi dan Papua seperti Enggang
Klihingan ( Anorrhinus
galeritus/Bushy-crested Hornbill/S.K),
Enggang Jambul ( Aceros comatus/White-crowned Hornbill/S.K), Julang Jambul Hitam ( Aceros corrugatus/Wrinkled Hornbill/S.K), Julang Emas ( Aceros
undulatus/Wreathed Hornbill/S.K.J.B),
Julang Dompet ( Aceros
subruficollis/Plain-pouched Hornbill/S.K), Kangkareng Hitam ( Anthracoceros malayanus/Asian Black Hornbill/S.K), Kangkareng Perut Putih ( Anthracoceros albirostris/Oriental Pied
Hornbill/S.K.J.B), Rangkong Badak
( Buceros rhinoceros/Rhinoceros Hornbill/S.K.J), Rangkong Papan ( Buceros
bicornis/Great Hornbill/S)
dan Rangkong Gading (
Buceros vigil/Helmeted Hornbill)
Burung Enggang hanya bisa
dijumpai pada daerah hutan alami dengan kondisi yang masih natural dengan sumber
pakan yang melimpah seperti ketersedian
buah-buahan dan serangga dan jauh dari
usikan manusia yang dapat mengganggu kehidupan mereka. Selain
itu dalam perkembangbiakannya yang
terbilang lamban sekali perkawinan hanya
menghasilkan 3-4 telur atau anakan, burung ini membuat sarang buat tempat
meletakkan telurnya dan membesarkan anaknya pada sebuah pohon yang tinggi dan biasanya pada lobang pohon
tersebut. Tempat demikian atau pohon seperti ini tentunya hanya munggkin
ditemukan pada hutan yang masih Alami dan jauh dari pemukiman atau keramaian
karena bila dekat keramaian pohon dan buah demikian tentunya sudah di tebang dan diambil manusia.
Preferensi habitat hidupnya yang demikian tentunya oleh sebagian pakar diambil sebagai parameter Bio Indikator lingkungan hutan apakah masih baik kondisi lingkungan hutan tersebut atau tidak artinya bila dalam hutan tersebut masih ada burung Enggang yang tinggal atau masih sering singgah disitu otomatis bahwa Hutan tersebut masih baik alias masih alami, karena bila Lingkungan hutan tersebut jelek maka akan mustahil kita menemukan burung tersebut hidup dilingkungan tersebut.
Preferensi habitat hidupnya yang demikian tentunya oleh sebagian pakar diambil sebagai parameter Bio Indikator lingkungan hutan apakah masih baik kondisi lingkungan hutan tersebut atau tidak artinya bila dalam hutan tersebut masih ada burung Enggang yang tinggal atau masih sering singgah disitu otomatis bahwa Hutan tersebut masih baik alias masih alami, karena bila Lingkungan hutan tersebut jelek maka akan mustahil kita menemukan burung tersebut hidup dilingkungan tersebut.
Seorang pekebun di Nunukan bernama Kadir Janggo mengatakan
bahwa dulu waktu kebunnya banyak ditumbuhi tanaman buah-buahan seperti Ellai, Rambutan,
Mangga dll di belakangnya tidak jauh dari hutan asli serta masih jauh dari keramaian atau sekitar 2 km
dari perkampungan, bila masuk musim buah-buahan terutama musim buah Ellai bulan
April – Juli ia sering menemukan sekawanan Burung Enggang (2-5 ekor) bertengger dipohon buahnya dan
ketika ia kesana burung tersebut berterbangan sambil mengeluarkan suara yang
cukup keras “ kwaauuu kwaauuu “, dan ia
sering menemukan pohon Ellai yang ditinggalkannya tersebut terdapat buah Ellai itu berlobang bekas makanannya.
Sekarang ini perkampungan hanya 200 m dari kebun dan disekitar kebunnya
sudah tidak adalagi hutan ia sudah tidak pernah lagi menemukan burung tersebut
sekitar 15 tahun terakhir ini, ujarnya.
Burung Enggang yang oleh sebagian Puak suku Dayak di
Kalimantan dianggap sebagai burung yang mempunyai nilai sakral oleh sebagian pakar dan tokoh
masyarakat dianggap sudah sulit ditemukan bahkan dianggap beberapa jenis
diantaranya mulai punah, terutama di Sumatra, Sulawesi dan Kalimantan selain
karena Habitatnya yang sangat selektip juga karena dalam perkembang biakannya
yang lambat dimana dalam 2-4 tahun hanya berkembang biak sebanyak 2-4 ekor saja
serta saat masih bayi atau telur sering dimangsa oleh monyet dan ular dikala
induknya pergi meninggalkan sarang.
Burung
Enggang si Burung Dewa kayangan,
Si Enggang
tiada, menandakan hutan rusak dan tak menenangkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar