15 Februari 2015
NusanTaRa.Com
NusanTaRa.Com
Untuk menjadikan Indonesia sebagai paru-paru dunia melalui kawasan hutan tropis, yang dianggap masih banyak menyediakan lahan tersebut, sebagai salah satu ekosistem penghasil oksigen dimuka bumi dan filter terhadap pertumbuhan Carbon DiOksida serta emisi lain yang berbahaya bagi kehidupan, perlu di pertanyakan lagi mengingat pertumbuhan Hutan Indonesia yang mengalami deforestrasi berkurang secara drastis. Sekitar seluas 4,6 juta hektar atau seluas Provinsi Sumatera Barat setara dengan tujuh kali luas DKI Jakarta Indonesia mengalami kehilangan hutan sejak 2009 - 2013.
Pertumbuhan luas lahan reboisasi yang dilaksanakan segenap pengusaha dibidang Hak Pengusha Hutan (HPH), pada areal yang dapat direboisasi HPH sebagai kewajiban perusahaan yang diberi waktu untuk mengeksploitasi hasil hutan atau penebangan selama 20 tahun seluas rata-rata 240.000 pertahun terbilang sejak 2004 - 2013. Serta kesuksesan program Kementerian Kehutanan LH melalui " Penanaman sejuta Pohon " sejak tahun 2009 - 2014 yang berhasil mengsukseskan program tersebut dengan purata penanaman setiap tahunnya sekitar 1,9 juta pohon yang diperuntukkan dikawasan perkotaan, taman kota, hutan kota dan hutan kebun rakyat.
Namun kegemilangan tersebut tidaklah dengan mudah dijadikan satu gambaran bahwa pertumbuhan Indonesia Hijau yang baik atau Kerawanan hutan alam Indonesia terhindar, karena gambaran tersebut banyak bersifat analisa angka semata berdasarkan perkiraan program yang banyak mengabaikan realita lapangan yang ditunggangi kepentingan politik. Seperti pertumbuhan HPH yang stagnan saat ini meski banyak yang beralasan bahwa pertumbuhan ekonomi bidang kehutanan yang melemah dan kurangnya tenaga kerja sebagai faktor utama, tapi apakah demikian ? Apakah bukan karena semakin sulitnya menemukan lahan penebangan hutan dengan kondisi hutan yang kaya akan produksi kayunya karena semua lahan hutan telah menjadi perkebunan atau yang ada cuma lahan kecil yang tersebar secara parsial yng tentunya secara operasioanl kurang ekonomis.
Realita tersebut tentunya oleh Ketua Perkumpulan FWI, EG Togu Manurung mengungkapkan, bahwa dalam
kurun waktu tersebut mereka mendapatkan kecepatan hilangnya hutan sangat mengejutkan. " Setiap menit,
hutan seluas tiga lapangan bola hilang, ". Hutan Indonesia yang tersisa kini 82 juta hektar. Masing-masing 19,4
juta hektar di Papua, 26,6 juta hektar di Kalimantan, 11,4 juta hektar
di Sumatera, 8,9 juta hektar di Sulawesi, 4,3 juta hektar di Maluku,
serta 1,1 juta hektar di Bali dan Nusa Tenggara.
Gambaran Hutan yang memprihatinkan tersebut terungkap lewat buku "
Potret Keadaan Hutan Indonesia Periode 2009 - 2013 ", karya yang
mengejutkan tersebut merupakan buah karya pengamatan satu Lembaga Sosial
Masyarakat bidang Kehutanan Forest Watch Indonesia (FWI).
Bila praktik tata kelola lahan hutan tak berubah dan pembukaan hutan
terus dibiarkan, jumlah hutan akan terus menyusut. " Kami memprediksi 10
tahun ke depan hutan di Riau akan hilang diikuti dengan Kalimantan
Tengah dan Jambi," kata Christian Purba, Direktur FWI. Togu menerangkan, kondisi perusakan hutan terparah terdapat di
wilayah Sumatera dan Kalimantan. Perkebunan kepala sawit serta sektor
tambang berkontribusi besar pada kerusakan tersebut. Meski demikian, hutan di wilayah lain pun mengalami ancaman. Beberapa
hutan di wilayah Papua sudah mengalami kerusakan. "Ini harus dicegah
supaya pola yang terjadi di Indonesia barat tidak terjadi lagi di timur.
Papua benteng terakhir hutan Indonesia," ungkap Togu.
Keberadaan hutan-hutan di pulau-pulau kecil dan pulau terluar juga harus terus
dijaga dari kerusakan sebagaimana kelayakan keberadaan hutan untuk setiap pulau atau kota memenuhi ruang 30 persen dari luas lahan pulau tersebut. Ketersedian luas hutan
di pulau kecil berfungsi penting bagi ekologi dan ekosistem daratan kecil yang terisolasi untuk menjadi bumi yang mampu memberi berbagai makna kehidupan di sanan, seperti berperan mempertahankan ketersediaan air tawar, benteng dari dampak perubahan iklim dan penyedia biota yang menjadi mata rantai kehidupan di pulau tersebut. Untuk mempertahankan hutan Indonesia, Christian menuturkan, yang
diperlukan adalah perbaikan tata kelola, perbaikan izin kehutanan, dan
pengawasan. Selain itu, juga leadership dari pemerintah.
Korupsi Lingkungan merupakan bagian dari masalah kehutanan yaitu suatu pemanfaatan lahan kehutanan yang bukan pada tempatnya dan penetapan lahan tersebut dengan sengaja tidak berdasarkan pertimbangan kehutanan yang layak.
Pihak berwenang menerima uang untuk memudahkan perizinan. Korupsi memicu
masalah tumpang tindih perizinan dan pembukaan hutan untuk kepentingan
komersial. Senada dengan Christian, ahli kehutanan Institut Pertanian Bogor
(IPB), Hariardi Kartodihardjo, juga menekankan pentingnya perbaikan tata
kelola. Undang-undang serta sejumlah rencana dari moratorium hingga
program REDD+ sudah cukup baik. Namun, masalahnya adalah pada tata
kelola di lapangan. Ia menilai, selama ini, karena kemampuan tata kelola pemerintah yang
buruk, program seperti moratorium tak berhasil melindungi hutan
Indonesia. Data justru menunjukkan, kerusakan terbesar justru terjadi di
area yang dilindungi.
Sistem pengawasan pengembangan kehutanan kita selama ini mungkin perlu dikembangkan dan ditingkatkan agar keberadaan hutan tersebut dapat terjaga dan Istilah " Inonesia Paru-Paru Dunia " bukanlah suatu istilah konyol yang berada di daerah tandus, Pengawasan yang lemah tentunya akan memberikan ruang yang baik buat pengejar ekonomi untuk memasukinya. Sekarang ini banyak hutan yag berstatus Hutan lindung ternyata jika kita amati telah menjadi kebun rakyat bahkan ada yang mencapai 30 persen luas lahan tersebut. Disamping itu tentunya kesadaran akan setiap warga terkait dengan Hutan harus terus ditingkatkan dan terlibat langsung dalam menjaga kekayaam bumi kita.
"Luas hutan yang rusak dalam area yang dimoratorium 500.000 hektar
per tahun, hutan alam 200.000 hektar, hutan tanaman 400.000 hektar. Dari
angka itu saja secara kasar bisa dilihat bahwa kerusakan di wilayah
yang dimoratorium justru lebih tinggi," katanya.
byMcDonaldBiung, sumber : EcoYouth
SamanDak anak Gadis Dayak Lundayeh,
Hidup ditengah belantara alami akan mengurangi rasa resah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar