NusanTaRa.Com.
Kawasan Nusantara yang masih meniggalkan kerawanan hingga saat ini salah satunya adalah kawasan Laut Cina Selatan yang terletak antara Republik China dan Taiwan di Utara, Vietnam di Barat, Phillipina di Timur dan Malaysia, Brunei dan Indonesia di Selatan. Kerawan ini timbul karena belum adanya kesepakatan kepemilikan atas wilayah tersebut dan ke pastian batas-batas negara yang berada disekitarnya serta belum adanya pengaturan secara konprehensip atas berbagai kegiatan dikawasan perairan tersebut meski keadaan sekarang telah berjalan dengan aman.
Kerawanan kawasan Laut Cina Selatan banyaknya faktor keunggulan perairan tersebut seperti Kaya akan Minyak, Kaya Akan Sumber Gas, Kaya akan Sumber Daya Alam Nabati seperti Ikan dsb, Posisi Laut Cina Selatan yang strategis dalam dunia Pelayaran dan Strategis pertahanan keamanan diserantau kawasan tersebut serta tumpang tindihnya sejarah kekuasaan dikawasan tersebut.
Pada tahun 2009, secara resmi China menyampaikan
sebuah peta laut yang berisi garis batas berbentuk U dalam bentuk Note
Verbal kepada Komisi PBB tentang Batas-Batas Landas Kontinen disertai
dengan pernyataan “indisputable sovereignty over the islands in the
South China Sea and the adjacent waters, and enjoys sovereign rights and
jurisdiction over the relevant waters as well as the seabed and
thereof.” Penetapan ini serta merta mendapat tentangan keras dari Vietnam, Philipina, Malaysia dan Brunei Darussalam.
Konplik tersebut menjadi cukup hangat dikawasan ini, setelah Pemerintah Republik China menetapkan secara sepihak tentang tapal batas negara mereka di perairan ini melalui kebijakan yang populer dengan istilah Nine-Dashed Line yaitu suatu kawasan di laut cina selatan yang dibatasi oleh sembilan garis-garis putus yang meliputi 90 % kawasan laut cina selatan sama dengan seluas 3,5 km persegi yang berbatasan dan tumpah tindih dengan beberapa garis batas negara Asean seperti Vietnam, Thailand, Malaysia, Brunei dan Filippina dan Taiwan.
Sejarah penetapan “ sembilan garis terputus-putus ” ini sebenarnya telah ada sejak tahun
1947 oleh pemerintahan Koumintang berkuasa di daratan China yang saat itu sibuk berperang dengan pendudukan Jepang. Setelah pendudukan
Jepang berakhir pemerintah Koumintang segera menerbitkan peta baru berisi 11
garis terputus, sebagai klaim teritorial yang kenyataannya
jauh dari daratan China mencakup seluruh perairan Laut China Selatan dan peta inipun diadopsi oleh pemerintahan komunis yang
mengambil alih kekuasaan dan mendirikan negara People’s Republic of
China (PRC) sejak tahun 1949. Perubahan dilakukan pada tahun 1953, yaitu China
menghapus dua garis sehingga tinggal sembilan, kemungkinan dijadikan
sebagai salah satu cara untuk menghindari atau meredakan ketegangan
dengan Vietnam sebagai negara tetangga dekat. Karena saat itu tidak ada protes dari negara Asean yang berbatasan disebabkan kesibukan membenahi perjuangan kemerdekaan dan oleh badan dunia lainnya, maka keadaan ini disalah artikan China sebagai disetujui dunia.
Presiden
Republik Indonesia, Joko Widodo menepis konsep sembilan garis putus-putus yang diterapkan
pemerintah Tiongkok di kawasan Laut Tiongkok Selatan. "Sembilan
garis putus-putus yang Tiongkok terapkan tidak punya landasan dalam
hukum internasional manapun," kata presiden sebagaimana dikutip dalam
harian Jepang Yomiuri Shimbun yang diterbitkan menjelang lawatan
resminya di 'Negeri Sakura', dari Minggu (22/03/2015) hingga Rabu (25/03/2015). Presiden Jokowi kemudian menggaris bawahi pentingnya memiliki perdamaian dan stabilitas di kawasan Asia Pasifik. "Hal itu penting untuk membangun pertumbuhan ekonomi kita. Karena itu, kami mendukung Tata Cara Berperilaku (di Laut Tiongkok Selatan) dan juga dialog antara Tiongkok, Jepang, dan ASEAN," ujarnya.
Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa
menegaskan, Pemerintah Tiongkok telah secara resmi dan terbuka
mengeluarkan pernyataan tak memiliki klaim wilayah yang tumpang tindih
dengan Indonesia, terutama di wilayah perairan sekitar Kepulauan Natuna, Laut Tiongkok Selatan. Menurut
Marty, pernyataan itu disampaikan juru bicara Pemerintah Tiongkok
menjawab pertanyaan wartawan pada 2 April 2013 lalu di Beijing. "Saat itu
disebutkan, kedaulatan di Kepulauan Natuna milik Indonesia dan Tiongkok
tak mempersengketakan itu. Indonesia juga tak punya klaim teritorial di
Kepulauan Spratly milik Tiongkok," ujar Marty saat dihubungi di Jakarta,
Kamis (26/6/2013).
Namun sebagai negara maritim Indonesia meski tetap waspada dengan segala sikap politik maritim China dikawasan tersebut, mengingat aktipitas penimbunan sebuah pulau di gugusan Spratlay yang dijadikan basis pangkalan militer Angkatan laut, tentunya nanti akan mempengaruhi dasar landas pengukuran batas perairan negara, masih adanya beberapa pulau kecil di kepulauan Natuna masuk dalam Nine-dashed Line tergambar pada Paspor keluaran baru China, Sikap hegomini China akan kekuasaan di Asia yang masih terlihat seperti pencaplokan Tibet dan adanya pernyataan petinggi Cina yang menganggap bahwa Taiwan adalah Provinsi Mereka yang nakal dan akan disatukan kembali dan mengingat ambisi masa lalu mereka ketika Raja Khubilai Khan mengirim armadanya untuk menguasai Nusantara yang saat itu dikuasai Majapahit, ujar pengamat pertahanan konvensional Kadir Janggo.
Beberapa ketegangan yang sempat memanas di kawasan tersebut seperti, Ketika secara sepihak
Tiongkok menempatkan anjungan pengeboran minyak lepas pantai di kepulauan Paracel sehingga terjadi saling protes antara Vietnam yang mengaku telah menguasai kawasan tersebut berabad-abad lalu dengan China berdasarkan peta pertengahan abad ke-20 ke PBB, insiden ini berkibat " Kerusuhan berdarah anti-warga Tiongkok di Vietnam dan China menarik anjungan tersebut dan ratusan kapalnya dari kawasan tersebut ", dalam hal ini PBB meminta persoalan diselesaikan secara damai.
Kepulauan Spratly memiliki luas diperkirakan 244.700
km2 yang terdiri dari sekitar 350 Pulau berada pada koordinat 4o
LU – 11o31’ LU dan 109o BT -117o BT., umumnya hanya merupakan gugusan karang dan wilayah ini berbatasan
langsung negara Taiwan, Vietnam, Brunei Darussalam, Filippina, Malaysia dan Indonesia. Di kawasan ini telah beberapa kali terjadi insiden militer berupa pengusiran kapal-kapal nelayan yang beroperasi di laut spratlay oleh kedua militer dan sempat terjadi kesiapan militer kedua belah pihak di kawasan tersebut dan pembangunan pangkalan militer China di salah satu gugus pulau spratlay, Filippina telah mengajukan protes ke PBB sebagai bentuk tidak setuju.
Hal yang menjadikan satu kawasan Nusantara di Laut China Selatan menjadi rebutan beberapa negara di kawasan tersebut, Kawasan tersebut memiliki perbatasan dengan banyak negara disekitarnya yang tentunya rawan dengan kepimilikan terkait tapal batasnya, Sejarah keberadaan Laut China Selatan sendiri yang memiliki banyak kisah yang dapat menjadi dasar kepemilikan daerah tersebut yang tumpang tindih, Letak Geografisnya yang strategis baik dari sisi ekonomi maupun pertahanan yang tentunya akan menjadi dasar untuk dikuasai, Potensi Sumberdaya alam yang terkandung di kawasan terrsebut berupa sumberdaya alam Hayati berupa Ikan dan Sumber daya alam mineral yang diperkiraakn menagndung 213 milliar barrel Minyak dan 2,5 milliar Gas dan Laut China selatan sejak dahulu kala menjadi poros pelayaran dari berbagai penjuru dunia.
byMcDonaldBiunG
![]() | ||||||||||||||||
Bandara Pulau Kalayan yang dibangun tahun 1978, untuuk mengukuhkan kekuasaan Filippina atas Gugusan Spratlay di Laut Cina Selatan |
Gugusan Spratlay di Laut Cina Selatan,
Kekayaan alami bukan jaminan keamanan negara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar