NusanTaRa.Com
Eduard Douwes Dekker atau Multatuli, lahir di Amsterdam Belanda, 2 Maret 1820 – meninggal di Ingelheim am Rhein, Jerman, 19 Februari 1887 pada umur 66 tahun , adalah penulis Belanda yang terkenal dengan Max Havelaar (1860), novel satirisnya yang berisi kritik atas perlakuan buruk para penjajah terhadap orang-orang pribumi di Hindia Belanda. Yang terinspirasi dari pengalaman beliau selama berada dan bekerja di Indonesia mulai dari pegawai rendahan pemerintahaan dan perkebunan belanda, yang membuatnya banyak menyaksikan ketidak adilan yang menggores jiwanya yang dilakukan bangsa Belanda dan pihak bangsawan tertentu terhadap rakyat Indonesia khususnya buruh dan pekerja rendahan lainnya.
Berbunga hati Saijah ketika kembali ke kampungnya di Parangkujang, Lebak, Banten. Bertahun-tahun dia bekerja di kota besar Batavia sebagai pelayan dan merawat kuda untuk majikan Belanda. Dia membayangkan wajah cantik Adinda, teman bermain sejak kecil yang dicintainya. Rindunya akan terbayar. Dengan uang yang dikumpulkan bertahun-tahun dia siap melamar Adinda. Tapi, tiba-tiba semua impiannya runtuh.
Adinda, calon mempelai wanita, tewas penuh luka setelah diperkosa tentara kolonial Belanda. Para preman suruhan Bupati Lebak dan Demang Parangkujang merampas kerbau milik ayah Adinda dan membuat miskin keluarga ini. Sang ibu meninggal. Sang ayah pergi meninggalkan desa karena tak bisa membayar pajak yang mencekik. Adinda menjadi sasaran empuk.
Saijah, sang Romeo, meradang. Pemuda putus asa ini berlari ke arah sekumpulan tentara Belanda yang menghunus bayonet. Dia menghujamkan tubuhnya ke barisan bayonet tajam. Tewas seketika.
Kisah tragis Saijah dan Adinda bisa kita baca dalam novel Max Havelaar atau Maskapai Dagang Kopi Hindia Belanda karya Multatuli. Saya mengingatnya kembali ketika membaca berita pekan ini, Pemerintah Kabupaten Lebak sedang membangun Museum Multatuli.
Museum Multatuli serupa telah dibangun di Amsterdam, Belanda. Meski banyak karyanya mengkritik kolonialisme Belanda, Multatuli dipuji sebagai “sastrawan Belanda terbesar sepanjang masa”.
Kisah Saijah dan Adinda pernah dibuat film pada 1967, tapi tak boleh beredar di Indonesia hingga 1987 karena penggambarannya tentang kekejaman para bangsawan Jawa, bupati dan demang, yang menjadi kaki tangan penjajah.
Novel Max Havelaar dilihami pengalaman nyata. Multatuli adalah nama pena Eduard Douwes Dekker, yang hijrah ke Jawa dan sempat menduduki jabatan asisten residen dalam pemerintahan kolonial. Namun, karena otokritiknya terhadap pemerintahan, dia terasing. Eduard pulang ke Amsterdam memendam gelisah. Multatuli dia ambil dari Bahasa Latin yang berarti: “Aku sudah banyak menderita”.
Multatuli menyaksikan sendiri kemiskinan dan kebrutalan sistem kolonial di kalangan pribumi. Pemerintah menerapkan sistem tanam paksa. Rakyat dipaksa menanam kopi ketimbang padi untuk makan sehari-hari. Melalui kaki tangan bangsawan pribumi, para bupati dan demang, Belanda mengutip pajak yang mencekik.
Max Havelaar pertama kali terbit dalam bahasa Belanda pada 1860 dan memicu perdebatan panas tentang kebijakan kolonialisme. Ini pula yang membuat sikap Belanda lebih lunak dan akhirnya memperkenalkan “Politik Etis” pada awal abad ke-20. Belanda membuka peluang pendidikan lebih luas bagi kaum pribumi dan membolehkan berdirinya organisasi pribumi.
Munculnya organisasi pribumi seperti Boedi Oetomo dan Sarekat Islam menjadi awal kebangkitan nasional melawan kolonialisme. Ernest Douwes Dekker atau Danudirja Setiabudi adalah seorang cucu Multatuli kelahiran Jawa. Danudirja mendirikan Partai Hindia bersama Cipto Mangunkusumo dan Suwardi Suryaningrat. Dikenal sebagai Tiga Serangkai, mereka meraih gelar pahlawan nasional karena jasanya bagi kemerdekaan Indonesia.
Lebih dari harapan Multatuli sendiri, Max Havelaar belakangan diterjemahkan ke dalam 34 bahasa. Ia tak hanya mengilhami perlawanan terhadap kolonialisme Belanda di Hindia, tapi juga di berbagai penjuru dunia. Tak berlebihan jika Pramoedya Ananta Toer menyebut Max Havelaar sebagai “novel yang membunuh kolonialisme”.
Benarkah kolonialisme sudah terbunuh habis? Kolonialisme oleh bangsa asing seperti yang kita pahami dulu mungkin sudah tak ada. Tapi, kita menghadapi bentuk baru kolonialisme, baik oleh asing maupun bangsa sendiri, dalam bentuk korupsi dan kolusi yang memiskinkan warga kebanyakan.
Di Lebak, Banten, para pejabat hidup mewah (gubernurnya masuk penjara), memamerkan belasan mobil Ferrari miliknya, sementara anak-anak harus menyeberang jembatan maut “Indiana Jones” hanya untuk bisa bersekolah setiap hari.
Museum Multatuli di Banten kabarnya akan dilengkapi bangunan asisten residen dalam bentuk aslinya seperti dulu. Seorang pejabat kabupaten mengatakan, “Museum Multatuli diharapkan bisa mendatangkan investor dan meningkatkan pendapatan daerah lewat wisata.”
Dan, di situlah ironinya. Meski nama Multatuli, yang dikenal seantero dunia, bisa memikat wisatawan, tujuan pendirian museum itu seharusnya dengan motif lebih mendalam: monumen kejahatan dan kematian kolonialisme; serta monumen “penjajahan oleh bangsa sendiri”. ***
Catatan Faridd Gaban/The Geo Times Megazine,11-mei-2015
Multatuli Nasionalis Indonesia berdarah Belanda,
Kenal penderitaan rakyat membuatnya dekat dengan Indonesia.
NusanTaRa.Com
Eduard Douwes Dekker atau Multatuli, lahir di Amsterdam Belanda, 2 Maret 1820 – meninggal di Ingelheim am Rhein, Jerman, 19 Februari 1887 pada umur 66 tahun , adalah penulis Belanda yang terkenal dengan Max Havelaar (1860), novel satirisnya yang berisi kritik atas perlakuan buruk para penjajah terhadap orang-orang pribumi di Hindia Belanda. Yang terinspirasi dari pengalaman beliau selama berada dan bekerja di Indonesia mulai dari pegawai rendahan pemerintahaan dan perkebunan belanda, yang membuatnya banyak menyaksikan ketidak adilan yang menggores jiwanya yang dilakukan bangsa Belanda dan pihak bangsawan tertentu terhadap rakyat Indonesia khususnya buruh dan pekerja rendahan lainnya.
Berbunga hati Saijah ketika kembali ke kampungnya di Parangkujang, Lebak, Banten. Bertahun-tahun dia bekerja di kota besar Batavia sebagai pelayan dan merawat kuda untuk majikan Belanda. Dia membayangkan wajah cantik Adinda, teman bermain sejak kecil yang dicintainya. Rindunya akan terbayar. Dengan uang yang dikumpulkan bertahun-tahun dia siap melamar Adinda. Tapi, tiba-tiba semua impiannya runtuh.
Adinda, calon mempelai wanita, tewas penuh luka setelah diperkosa tentara kolonial Belanda. Para preman suruhan Bupati Lebak dan Demang Parangkujang merampas kerbau milik ayah Adinda dan membuat miskin keluarga ini. Sang ibu meninggal. Sang ayah pergi meninggalkan desa karena tak bisa membayar pajak yang mencekik. Adinda menjadi sasaran empuk.
Saijah, sang Romeo, meradang. Pemuda putus asa ini berlari ke arah sekumpulan tentara Belanda yang menghunus bayonet. Dia menghujamkan tubuhnya ke barisan bayonet tajam. Tewas seketika.
Kisah tragis Saijah dan Adinda bisa kita baca dalam novel Max Havelaar atau Maskapai Dagang Kopi Hindia Belanda karya Multatuli. Saya mengingatnya kembali ketika membaca berita pekan ini, Pemerintah Kabupaten Lebak sedang membangun Museum Multatuli.
Museum Multatuli serupa telah dibangun di Amsterdam, Belanda. Meski banyak karyanya mengkritik kolonialisme Belanda, Multatuli dipuji sebagai “sastrawan Belanda terbesar sepanjang masa”.
Kisah Saijah dan Adinda pernah dibuat film pada 1967, tapi tak boleh beredar di Indonesia hingga 1987 karena penggambarannya tentang kekejaman para bangsawan Jawa, bupati dan demang, yang menjadi kaki tangan penjajah.
Novel Max Havelaar dilihami pengalaman nyata. Multatuli adalah nama pena Eduard Douwes Dekker, yang hijrah ke Jawa dan sempat menduduki jabatan asisten residen dalam pemerintahan kolonial. Namun, karena otokritiknya terhadap pemerintahan, dia terasing. Eduard pulang ke Amsterdam memendam gelisah. Multatuli dia ambil dari Bahasa Latin yang berarti: “Aku sudah banyak menderita”.
Multatuli menyaksikan sendiri kemiskinan dan kebrutalan sistem kolonial di kalangan pribumi. Pemerintah menerapkan sistem tanam paksa. Rakyat dipaksa menanam kopi ketimbang padi untuk makan sehari-hari. Melalui kaki tangan bangsawan pribumi, para bupati dan demang, Belanda mengutip pajak yang mencekik.
Max Havelaar pertama kali terbit dalam bahasa Belanda pada 1860 dan memicu perdebatan panas tentang kebijakan kolonialisme. Ini pula yang membuat sikap Belanda lebih lunak dan akhirnya memperkenalkan “Politik Etis” pada awal abad ke-20. Belanda membuka peluang pendidikan lebih luas bagi kaum pribumi dan membolehkan berdirinya organisasi pribumi.
Munculnya organisasi pribumi seperti Boedi Oetomo dan Sarekat Islam menjadi awal kebangkitan nasional melawan kolonialisme. Ernest Douwes Dekker atau Danudirja Setiabudi adalah seorang cucu Multatuli kelahiran Jawa. Danudirja mendirikan Partai Hindia bersama Cipto Mangunkusumo dan Suwardi Suryaningrat. Dikenal sebagai Tiga Serangkai, mereka meraih gelar pahlawan nasional karena jasanya bagi kemerdekaan Indonesia.
Lebih dari harapan Multatuli sendiri, Max Havelaar belakangan diterjemahkan ke dalam 34 bahasa. Ia tak hanya mengilhami perlawanan terhadap kolonialisme Belanda di Hindia, tapi juga di berbagai penjuru dunia. Tak berlebihan jika Pramoedya Ananta Toer menyebut Max Havelaar sebagai “novel yang membunuh kolonialisme”.
Benarkah kolonialisme sudah terbunuh habis? Kolonialisme oleh bangsa asing seperti yang kita pahami dulu mungkin sudah tak ada. Tapi, kita menghadapi bentuk baru kolonialisme, baik oleh asing maupun bangsa sendiri, dalam bentuk korupsi dan kolusi yang memiskinkan warga kebanyakan.
Adinda, calon mempelai wanita, tewas penuh luka setelah diperkosa tentara kolonial Belanda. Para preman suruhan Bupati Lebak dan Demang Parangkujang merampas kerbau milik ayah Adinda dan membuat miskin keluarga ini. Sang ibu meninggal. Sang ayah pergi meninggalkan desa karena tak bisa membayar pajak yang mencekik. Adinda menjadi sasaran empuk.
Saijah, sang Romeo, meradang. Pemuda putus asa ini berlari ke arah sekumpulan tentara Belanda yang menghunus bayonet. Dia menghujamkan tubuhnya ke barisan bayonet tajam. Tewas seketika.
Kisah tragis Saijah dan Adinda bisa kita baca dalam novel Max Havelaar atau Maskapai Dagang Kopi Hindia Belanda karya Multatuli. Saya mengingatnya kembali ketika membaca berita pekan ini, Pemerintah Kabupaten Lebak sedang membangun Museum Multatuli.
Museum Multatuli serupa telah dibangun di Amsterdam, Belanda. Meski banyak karyanya mengkritik kolonialisme Belanda, Multatuli dipuji sebagai “sastrawan Belanda terbesar sepanjang masa”.
Kisah Saijah dan Adinda pernah dibuat film pada 1967, tapi tak boleh beredar di Indonesia hingga 1987 karena penggambarannya tentang kekejaman para bangsawan Jawa, bupati dan demang, yang menjadi kaki tangan penjajah.
Novel Max Havelaar dilihami pengalaman nyata. Multatuli adalah nama pena Eduard Douwes Dekker, yang hijrah ke Jawa dan sempat menduduki jabatan asisten residen dalam pemerintahan kolonial. Namun, karena otokritiknya terhadap pemerintahan, dia terasing. Eduard pulang ke Amsterdam memendam gelisah. Multatuli dia ambil dari Bahasa Latin yang berarti: “Aku sudah banyak menderita”.
Multatuli menyaksikan sendiri kemiskinan dan kebrutalan sistem kolonial di kalangan pribumi. Pemerintah menerapkan sistem tanam paksa. Rakyat dipaksa menanam kopi ketimbang padi untuk makan sehari-hari. Melalui kaki tangan bangsawan pribumi, para bupati dan demang, Belanda mengutip pajak yang mencekik.
Max Havelaar pertama kali terbit dalam bahasa Belanda pada 1860 dan memicu perdebatan panas tentang kebijakan kolonialisme. Ini pula yang membuat sikap Belanda lebih lunak dan akhirnya memperkenalkan “Politik Etis” pada awal abad ke-20. Belanda membuka peluang pendidikan lebih luas bagi kaum pribumi dan membolehkan berdirinya organisasi pribumi.
Munculnya organisasi pribumi seperti Boedi Oetomo dan Sarekat Islam menjadi awal kebangkitan nasional melawan kolonialisme. Ernest Douwes Dekker atau Danudirja Setiabudi adalah seorang cucu Multatuli kelahiran Jawa. Danudirja mendirikan Partai Hindia bersama Cipto Mangunkusumo dan Suwardi Suryaningrat. Dikenal sebagai Tiga Serangkai, mereka meraih gelar pahlawan nasional karena jasanya bagi kemerdekaan Indonesia.
Lebih dari harapan Multatuli sendiri, Max Havelaar belakangan diterjemahkan ke dalam 34 bahasa. Ia tak hanya mengilhami perlawanan terhadap kolonialisme Belanda di Hindia, tapi juga di berbagai penjuru dunia. Tak berlebihan jika Pramoedya Ananta Toer menyebut Max Havelaar sebagai “novel yang membunuh kolonialisme”.
Benarkah kolonialisme sudah terbunuh habis? Kolonialisme oleh bangsa asing seperti yang kita pahami dulu mungkin sudah tak ada. Tapi, kita menghadapi bentuk baru kolonialisme, baik oleh asing maupun bangsa sendiri, dalam bentuk korupsi dan kolusi yang memiskinkan warga kebanyakan.
Di Lebak, Banten, para pejabat hidup mewah (gubernurnya masuk penjara), memamerkan belasan mobil Ferrari miliknya, sementara anak-anak harus menyeberang jembatan maut “Indiana Jones” hanya untuk bisa bersekolah setiap hari.
Museum Multatuli di Banten kabarnya akan dilengkapi bangunan asisten residen dalam bentuk aslinya seperti dulu. Seorang pejabat kabupaten mengatakan, “Museum Multatuli diharapkan bisa mendatangkan investor dan meningkatkan pendapatan daerah lewat wisata.”
Dan, di situlah ironinya. Meski nama Multatuli, yang dikenal seantero dunia, bisa memikat wisatawan, tujuan pendirian museum itu seharusnya dengan motif lebih mendalam: monumen kejahatan dan kematian kolonialisme; serta monumen “penjajahan oleh bangsa sendiri”. ***
Catatan Faridd Gaban/The Geo Times Megazine,11-mei-2015
Multatuli Nasionalis Indonesia berdarah Belanda,
Kenal penderitaan rakyat membuatnya dekat dengan Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar