Tengku Malik Machmud Al-Haytar |
Lembaga Wali
Nanggroe Aceh merupakan lembaga tertinggi
dalam sistem kehidupan masyarakat dan Nanggroe/adat/peradaban di Aceh yang berlaku sejak dahulu, sehingga yang dilantik sebagai Wali Nanggroe
Aceh merupakan tokoh pemersatu masyarakat Aceh yang dapat menjaga segala adat budaya
yang ada seperti menjaga peradapan agama
islam yang telah mengakar disana. Sebagaimana bunyi isi amanah MoU Helsinki poin 1.1.7 yang
menyatakan bahwa lembaga Wali Nanggroe sebagai lembaga adat yang dilengkapi
kelengkapan perangkat upacara dan gelar dengan menempatkan lembaga tersebut
sebagai pemersatu rakyat.
Wali
Nanggroe aceh merupakan salah satu kekhususan Daerah Istimeawa Aceh yang lahir dari Memorandum Of Understanding (MoU)
Helsinki tahun 2004 dan Undang – Undang Republik Indonesia No 11 tahun 2006
tentang Pemerintah Aceh (UUPA). Setelah GAM dan Pemerintah RI sepakat
menghentikan perang yang telah memakan korban jiwa putra – putri bangsa dalam
menegakkan satu keadilan yang menyeluruh yang berlangsung selama 30 tahun lebih di Aceh.
1 tahun Pasca Helsingki 2004 |
Menurut
Memorandum of Understanding (MoU) Helsingki tahun 2004 yang ditanda tangani
Pemerintah RI dan GAM bahwa
Wali Nanggroe ini mempunyai fungsi seperti menjaga persatuan dan kesatuan, menjaga budaya Asli Aceh, mengendalikan
kekayaan aceh maupun yang ada di luar daerah, membubarkan DPR, menon aktipkan Gubernur jika tak dapat melaksanakan tugasnya,
menjalin kerja sama dengan negara luar dan membentuk konsulat di luar
negeri, menerima tamu dari luar negeri
dan masih banyak lagi. Namun kesepakatan
ini akan di disempurnakan lagi dengan membahasnya lebih sempurna kedalam Qanum
(Perda) dan bila keputusan qanum ini telah disyahkan barulah Pelantikan Wali
Nanggroe Aceh dapat dilaksanakan. Qanum
tersebut akan membuat semua tugas dan fungsi WNA sebagai pemersatu dan penjaga
adat budaya Aceh bukannya sebagai kekuatan politik yang tentunya akan dipegang
oleh Gubernur.
InsyaAllah, untuk merealisasikan Keputusan Helsingki 2004
tersebut pada Senin, 06 Desember 2013 akan dilaksanakan
pelantikan Wali Nanggroe Aceh (WNA) di
gedung Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA), adalah Tengku Malek Machmud Al-Haytar mantan
petinggi Gerakan Aceh Merdeka (GAM), semua
kegiatan ini dipersiapkan oleh Majelis
Adat Aceh (MAA) dan Dewan Perwakilan Rakyat Aceh ( DPR A) ketua panitia pelaksana
Tengku Muzakkir Manaf wakil Gubernur.
Pelantikan WNA ke 9 dan ke 1 (yang
dikukuhkan DPRA) di perkirakan menghabiskan anggaran Rp 2,4 mliar.
Ketua DPRA
Hasbi Abdullah mengatakan, pihaknya turut mengundang Presiden Susilo Bambang Yudoyono, Para Meteri,
panglima TNI dan Kapolri, para
pimpinan DPR, pimpinan MPR, serta semua anggota Tim Juru runding RI-GAM yang terlibat dulunya.
Sedianya
pelantikan Wali Nanggroe Aceh dilaksanakan pada 18 September 2013 namun saat
itu Presiden Susilo Bambang Yudoyono tidak bersedia. Qanun sebagai dasar penyelenggaraan WNA
tersebut sampai akhir ini masih menimbulkan kontrapersi dikalangan masyarakat
dan pemerintahan sebagian beranggapan bahwa Qanum tersebut dapat mengancam demokrasi dan kesatuan bangsa dan Qanum tersebut menimbulkan dua lisme dalam
pemerintahan Daerah Aceh antara Gubernur dan Wali Nanggroe Aceh dan yang menyetujui Qanum tersebut sebagai Amanah Perjanjian Helsingki tahun 2004 dan
Undang-undang Negara RI yang berlaku.
Qanum Nomor 8 tahun 2012 (=perda) sebagai dasar pembentukan Wali Nanggroe Aceh telah mengalami revisi, maklum menurut sebagian pengamat bahwa qanum syarat dengan aturan yang dapat menimbulkan komplik dan kabur dalam pelaksanaan pemerintahan di Aceh. Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi memerintahkan untuk menunda pelantikan tersebut, hingga qanum terakhir segera revisi hingga sejalan dengan aturan Undang-undang yang berlaku.
Qanum Nomor 8 tahun 2012 (=perda) sebagai dasar pembentukan Wali Nanggroe Aceh telah mengalami revisi, maklum menurut sebagian pengamat bahwa qanum syarat dengan aturan yang dapat menimbulkan komplik dan kabur dalam pelaksanaan pemerintahan di Aceh. Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi memerintahkan untuk menunda pelantikan tersebut, hingga qanum terakhir segera revisi hingga sejalan dengan aturan Undang-undang yang berlaku.
Ungkapan
Malik Machmud tentang pimpinan eksekutip
pemerintahan dan Wali Nanggroe Aceh, “ Gubernur itu pemimpin rakyat Aceh dalam
menjalankan roda pemerintahan atau mengelola tata pemerintahan Aceh, sedangkan
Wali Nanggroe adalah pemimpin pemersatu/perekat rakyat Aceh yang majemuk dari
sisi peradaban Aceh dengan seluruh khazanah budaya dan adat istiadatnya. Kedua
pemimpin ini memiliki tujuan yang sama, yakni memajukan kehidupan rakyat Aceh
secara bermartabat, sejahtera lahir-batin, dan berkepribadian sesuai dengan
peradaban Aceh. ”
Tengku Malik
Mahmud Al Haytar adalah Mantan Perdana Menteri Gerakan Aceh Merdeka (GAM), Ia lahir di
Singapura tahun 1939. Kampung asli paduka mulia Malik Mahmud Al Haytar berada
di Lambaro, Kabupaten Aceh Besar. Beliau juga selaku Penasehat Partai Aceh sebagai Partai Lokal yang memenangkan pemilu legeslatip saat ini hingga
sekarang.
by BakriSupian
Istana Wali Nanggroe Aceh |
Bulan Sabit beralaskan merah kibaran perjuangan rakyat Aceh,
Negeri
makmur bila rakyat dipimpin sosok yang bijaksana dan amanah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar