NusaNTaRa.Com
byMuhammaDBakkaranG, R a b u, 0 5 M a r e t 2 0 2 5
![]() |
Sidang Volksraad atau Dewan Rakyat Hindia sekitar tahun 1927. Bahasa utama menjadi polemik hingga ketegangan yang memuncak pada 1930-an. |
Negara Inggris dan Prancis berhasil mempopulerkan bahasa Inggris ke negara-negara jajahannya tapi Belanda gagal memperkenalkan bahasa mereka ke negara jajahannya, termasuk ke Hindia Belanda. Ketidakinginan kolonial Belanda mempergunakan bahasanya sebagai bahasa utama di negara jajahannya menjadi kendala yang cukup serius. Abad ke-20, banyak penduduk pribumi " Tidak dapat berbicara satu kata pun dalam bahasa Belanda dan sebagian besar hanya dapat memahami beberapa kata dalam bahasa Belanda ", Ujar SiDin Ronald Frisart.
Ronald menulisnya kepada Historiek dalam artikel
berjudul " Konden leden van de
Volksraad in Indië elkaar wel verstaan? (Opmerkelijk debat over voertaal in ‘parlement’
[1918]) ", yang diterbitkan pada 26 Oktober 2024. Itulah sebabnya anggota Volksraad Dirk van
Hinloopen segera mendesak Labberton pada tanggal 21 Mei 1918 untuk 'menjadikan
persoalan bahasa utama sebagai hal yang mendesak', terlebih permasalahan dalam
Dewan Rakyat Hindia atau Volksraad.
Volksraad resmi berdiri di Batavia 18/05/1918. Parlemen
ini bukanlah parlemen yang sesungguhnya, karena ia diperbolehkan memberikan
nasihat, tetapi tidak boleh mengambil keputusan. Terlebih lagi, masyarakat Indonesia pada
awalnya hanya menduduki sebagian kecil kursi. Namun, ini merupakan arena
politik baru yang menarik, karena ada banyak hal yang perlu dibicarakan di
koloni tersebut.
Akan tetapi, setelah beberapa tugas rumah
tangga—pelantikan anggota, penunjukan komite, dan lain-lain, maka agenda substantif pertama adalah bahasa
atau bahasa apa yang dapat diperdebatkan oleh para anggota. Keputusan Kerajaan no.71 tanggal 30 Maret
1917 menyatakan: Bahasa Belanda akan digunakan dalam pertemuan-pertemuan umum
Volksraad. Hal ini menjadi permasalahan bagi sebagian anggota Dewan Rakyat
Hindia.
Untuk mengatasi hal ini, dua usulan diajukan pada
tanggal 28 Mei 1918 untuk mengubah Dekrit Kerajaan. Pangeran Aria Achmad
Djajadiningrat mengusulkan diperbolehkannya bahasa Melayu selain Belanda. Van Hinloopen Labberton melanjutkan. Dia
ingin mengizinkan semua bahasa lain digunakan di Hindia selain bahasa Belanda.
Lagipula, bahasa-bahasa daerah juga ditemukan di pelosok Hindia dan dituturkan
oleh paling banyak puluhan ribu orang.
Namun Labberton menemui banyak perlawanan. Misalnya, JJE
Teeuwen berpendapat bahwa " bahasa yang digunakan dalam keadaan apa pun
tidak boleh bahasa Belanda, karena ini bukan bahasa yang umumnya digunakan oleh
orang Hindia ". Orang-orang Belanda
masih bersikukuh jika bahasanya bukanlah bahasa umum, apalagi dituturkan oleh
orang rendahan di Hindia atau sebangsanya. Maka dari banyak perdebatan,
Labberton menyepakati penggunaan Melayu.
Achmad Djajadiningrat juga menganggap masuknya bahasa Melayu ke Volksraad merupakan solusi yang baik 'karena bahasa Melayu tidak hanya diucapkan dengan baik oleh semua anggota Pribumi, tetapi juga cukup dipahami oleh sebagian besar anggota non-pribumi ‘.
Abdul Rivai yang merupakan rekan seperjuangan dari Achmad Djajadiningrat di Eropa, memberikan dukungan yang besar terhadap usulan bahasa Melayu sebagai bahasa yang bisa digunakan dalam rapat-rapat Volksraad. Bahkan, Abdul Rivai sampai mengecam dan telah memutuskan bahwa jika bahasa Melayu tidak diterima, dirinya akan mengundurkan diri sebagai anggota Volksraad.
Tokoh Sosial Demokrat Jozef Emanuel menunjukkan bahwa
pada kenyataannya orang Belanda di Volksraad yang belajar bahasa Melayu, mereka
mempelajarinya dari tukang kebun dan pembantu dapur yang memasak untuk tuannya. "
Bahasa Melayu seperti itu cukup untuk melakukan tugas sehari-hari, namun
mungkin tidak cukup untuk debat politik, ia khawatir ",
Cakap Besar SiDin Ronald Frisart, meneruskan.
Namun, tak semua anggota Volksraad yang mendukung
penggunaan Bahasa Melayu sebagai bahasa alternatif. Pieter Bergmeijer yang
anti-revolusioner langsung menyatakan keberatannya, baginya bahasa Melayu bisa
menjadi muatan politik. Bergmeijer menyebut penggunaan bahasa Melayu dapat
memberi ruang untuk Insulinde melaksanakan propagandanya.
Sebagaimana diketahui para pejabat kolonial, Insulinde
adalah penerus Indische Partij yang radikal, didirikan pada tahun 1912 dan
dilarang pada tahun 1913, karena memperjuangkan kemerdekaan bangsa Hindia dari
pemerintahan kolonial. Alhasil, dari
pertentangan panjang dan hasil pemungutan suara, diputuskan bahwa Bahasa Melayu
diizinkan untuk digunakan anggota Volksraad dari kalangan pribumi.
Sampai dengan tahun 1930-an, terus terjadi ketegangan di
tubuh Volksraad akibat penggunaan dua bahasa dari dua bangsa mayoritas—pribumi
dan Belanda—yang ada dalam Dewan Rakyat Hindia.
![]() |
Suasana pelantikan anggota parlemen Hindia Belanda sekitar 1935 di gedung Volksraad. |
Bahasa Belanda tak populer di negara jajahannya.
Belanda tak ingin bahasanya diterapkan di jajahannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar