Rabu, 09 Agustus 2017

SEBUAH UTOPIA WARGA MALUKU BELANDA KE REALITA EROPAH YANG INDAH

NusanTaRa.Com

Warga Maluku Belanda di Amsterdam

Warga Maluku di Belanda mencakup semua etnik yang berasal dari kepulauan Maluku dan sekarang telah mmenjadi warganegara Belanda, Sebagian besar warga Maluku tersebut tiba di negeri Belanda tahun 1951 pasca meletusnya pemberontakan Republik Maluku Selatan (RMS),  kemudian beranak cucu hingga sekarang sudah turunan ke tiga dan ke empat meski banyak juga dikalangan mereka sekarang yang tiba setelah tragedi tersebut.   Mereka yang Migrasi dahulu karena keterlibatan sebagai pengabdi pada kerajaan Belanda dengan menjadi tentara KNIL Belanda dan kemudian banyak diantaranya menjadi pendukung  pergolakan RMS, setelah RMS dinyatakan sebagai gerakan pemberontakan oleh RIS dan harus dihapuskan,  banyak diantara mereka kemudian migrasi ke Belanda demi keamanan.  

Ketika Belanda tidak mengakui pernyataan Kemerdekaan RI 17 Agustus 1945  berakibat perselisihan pemerintahan Sipil Hindia Belanda (NICA), Memuncak dengan  dua “ Aksi Polisional “ yang lebih popular dengan sebutan “ Agresi Militer “.  Perseteruan ini berdampak banyak warga Maluku terlibat pertempuran sebagai tentara NICA juga harus angkat kaki dari Indonesia setelah pengakuan Belanda pada 27 Desember 1949.,  namun banyak orang Maluku pro-Belanda  enggan meninggalkan tanah leluhurnya  seperti Chris Soumokil, Jaksa Agung Negara Indonesia Timur (NIT) yang  kemudian  mendirikan  Republik Maluku Selatan (RMS) pada 25 April 1950 atas ketidak setujuanya NIT (Negara Indonesia Timur/termasuk Maluku) masuk ke dalam Republik Indonesia  pertengahan April.

Kebijakan Indonesia yang menghapuskan RMS membuat banyak orang Maluku pro-Belanda dan RMS mengajukan permohonan mengungsi sementara ke Belanda karena merasa terancam keselamatannya. Kerajaan Belanda menyanggupi permohonan tersebut dengan mengirim  13 armada kapal laut yang kemudian mendarat di Rotterdam dengan mengangkut 12.500 orang   anggota KNIL  membawa Istri dan satu anak saja. Seiring perjalanan waktu hingga pertengahan 50 an keinginan Warga Maluku untuk kembali kekampung semakin pupus seiring perjuangan RMS yang berhasil diredam Pemerintahan RI dan semakin melunakknya kebijakan Belanda atas Migran Maluku untuk dapat menetap di sana.
Keseluruhan  imigran Maluku eks KNIL meski tidak semuanya sekitar 80 % sebagian darinya  Minahasa, Madura, Batak, Sulawesi Selatan, dll akhirnya menetap di Belanda sebagian besar di Kota Huizen.   Semakin hari impian untuk kembali ke Maluku hidup bersama family semakin hilang karena RMS tak kunjung berhasil dan kebijakan Kerajaan Belanda yang semakin melunak terhadap mereka dengan memberikan fasilitas social, menetap, pekerjaan dan warga Negara yang sama dengan warga migran lain seperti Maroko, Libya dan lainnya membuat semakin merasa betah.  

Ke frustasian warga Maluku di Belanda terjadi  terutama dilevel  di generasi kedua yang masih sempat mendengar cerita dan harapan tentang Maluku negeri leluhur dari orang  tuanya, gambaran tersebut semakin buram tak kunjung tiba bahkan Belanda sendiri  tidak berusaha untuk mewujutkan kemerdekaan bagi negeri leluhurnya sebagai balas jasa pengabdian orang tuanya.   Sebagian dari mereka bahkan menyalakan sikap orang tua mereka dalam pengabdian tersebut dan sikap pasif dalam mewujutkannya dan Kerajaan Belanda yang ingkar janji sehingga terdorong untuk buat mereka memperjuangkannya,  di tahun 70 an Utopia yang ada dibenak mulai mereka perjuangkan dengan berbagai tindak kekerasan seperti tahun 1970 penyerangan aktivis Maluku terhadap Wisma Duta Besar RI di Wassenaar, Pembajakan dan penyanderaan Kantor Konsulat RI di Amsterdam tahun 1975,   pembajakan kereta di De Punt  tahun 1977  enam dari sembilan pembajak Maluku ditembak mati oleh aparat Belanda,   Penyerangan kantor Gubernur di Assen tahun 1978 dan lainnya.

Helena Mparityenan (80) generasi pertama Maluku yang datang ke Belanda tahun 1951 yang  merasakan penderitaan dalam perjalanan dengan kapal dari Surabaya menuju Belanda dan hidup bertahun-tahun di dalam barak tampungan sementara.  Kehidupan yang pahit selama pengungsian mulai dari pemberangkatan dengan kapal, ditampung di barak-barak yang serba terbatas, Suhu dingin yang tinggi membuat beberapa diantaranya harus menghembuskan napas terakhirnya.  Barak – barak yang disediakan untuk sementara seperti di Van Het Rijk, Provinsi Noord Brabant sangat menyedihkan,     Waktu baru datang kami sangat menderita  “, Ujar SiGaluh Helena Mparityenan sambil memperlihatkan foto-foto tahun 1958 an.

Masyarakat Maluku Belanda  saat ini generasi ketiga dan keempat  mereka telah mengalami transformasi besar baik dari sisi gaya hidup dan fisik seperti  kulit dan rambut  yang tidak sehitam dan sekeriting  orang tua mereka  dulu.   Perkawinan silang juga telah dilakukan oleh orang-orang Maluku dengan orang-orang Swedia, Cheko, Rumania dan Belanda sendiri. Sehingga mengalami Bartels sebaai “ Etiolasi “    pemucatan kulit dan lebih tinggi  ” akibat beranak-pinak secara campur dengan ras lainnya.  Generasi  Warga Maluku sekarang juga tidak dibesarkan oleh orang tua seperti dulu sehingga mereka dapat lebih menyesuaikan dengan kehidupan negeri Belanda yang telah mengangkat status mereka sebagai Warga Imigran yang dapat mencari kerja, memiliki statuts warga Negara Belanda, menjadi pegawai pemerintahan serta mereka sudah dapat mensejajarkan diri  dengan waga Jerman, Italia Swedia, Belgia dll.
byMuhammaDBakkaranG.

Nyong Ambon main cukulele,
Jauh tinggal di Belanda Gadis Ambon so Manise.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

PELAJAR PAPUA DI KOMPETISI INTERNASIONAL SAINS BALI MERAIH MEDALI EMAS

NusaNTaRa.Com          byDannYAsmorO,      M   i   n   g   g   u,    2   4     N  o  v  e  m  b  e  r     2   0   2   4       Tim Papua yang...