Sebagai Negara bahari dengan luas wilayah yang sebagian besar merupakan lautan 70 % dengan dihiasi sekitar 17.000 buah pulau tentunya akan melahirkan sejarah kebaharian
yang cukup kaya, diantaranya pelaut Indonesia sejak dahulu kala berhasil
mengarungi perairan Nusantara baik sebagai sarana transportasi maupun dalam misi
perdagangan bahkan dalam pertempuran laut. Pada masa kejayaan Pelaut Nusantara mereka telah mengarungi lautan luas hingga samudra mencapai Madagaskar, Laut Cina Selatam dan Australia. Rangkaian sejarah itupun telah melahirkan armada
dan Kapal layar yang cukup tangguh seperti Jung Borobudur, Jung Java, Jung
Nusantara, Phinis, dan Kora-kora yang berjasa menegakkan kekuatan beberapa
kerajaan di Nusantara hingga menantang penjajahan dalam duel di lautan.
Pinishi Kapal layar tradisional masyarakat Bugis dan
Makassar Sulawesi Selatan mempunyai andil besar dalam sejarah kejayaan
kerajaan Makassar bahkan hingga kini yang tentunya akan mengalami perkembangan
sesuai zaman dan kebutuhan. Perahu Layar Pinishi umumnya ditandai
dengan memiliki dua tiang layar utama dan menggunakan layar jenis Sekuner yang
terdiri dari tujuh buah layar yaitu tiga di ujung depan, dua di depan dan
dua di belakang, Anjungan (segitiga) didepan sebagai penyeimbang, memiliki
Palka dan ruang Jurumudi, Umumnya
digunakan untuk pengangkutan barang antar pulau. Tujuh helai layar yang
digunakan Perahu Layar Pinisi memiliki makna philosopi bahwa nenek moyang
bangsa Indonesia mampu mengharungi tujuh samudera besar di dunia .
Beberapa
ahli kemaritiman mengatakan bahwa Perahu Pinishi sebagai salah satu jenis JUNG
NUSANTARA atau yang berkembang sezaman dengan perkembangan JUNG NUSANTARA sejak awal abad 15. Menurut
naskah Lontarak I Babad La Lagaligo sebuah kitab tentang sejarah
masyarakat Sulawesi Selatan, pada abad ke 14 Pinisi pertama kali dibuat oleh Sawerigading,
Putera Mahkota Kerajaan Luwu untuk berlayar menuju negeri Tiongkok yang hendak
meminang Putri Tiongkok yang
bernama We Cudai. Setelah mempersunting
putri We Cudai dan menetap beberapa lama disana
Sawerigading pun kembali kekampung halamannya ke Luwu. Memasuk perairan
Luwu kapal diterjang gelomban besar dan terbelah tiga yang terdampar di desa
Ara, Tanah Beru dan Lemo-lemo, kemudian
oleh masyarakat setempat ketiga desa
tersebut merakitnya bersama-sama ketiga pecahan tersebut sehingga menjadi
perahu yang disebut Pinishi. Sekarang jika ingin menyaksikan cara
pembuatan Perahu Pinisi yang asli anda dapat melihatnya di Kecamatan Tanah Beru
Kabupaten Bulukumba Sulsel.
Sebagai
budaya lokal yang tak lepas dari makna magis maka pembuatan Perahu Pinishi tidak
lepas dengan tata cara tersendiri,
seperti Pengrajin harus mengerti tentang hari-hari baik seperti
dalam Pencarian kayu (kayu Welengreng sekarang bermacam jenis kayu) sebagai
bahan pembuatan Perahu biasanya jatuh pada hari ke lima dan ketujuh pada bulan
berjalan karena akan memberikan keberuntungan dan keselamatan, setelah
penetapan waktu barulah kepala tukang atau “ Punggawa “ memimpin pencarian. Ritual selanjutnya peletakan lunas dan Saat
dilakukan pemotongan, lunas diletakkan
menghadap Timur Laut. Balok lunas bagian depan merupakan simbol lelaki. Sedang
balok lunas bagian belakang diartikan sebagai simbol wanita.
Ada
dua jenis kapal pinisi
1. Lamba atau lambo.
Pinishi modern yang masih bertahan sampai saat ini dan sekarang dilengkapi
dengan motor diesel (PLM).
2. Palari. adalah bentuk
awal pinisi dengan lunas yang melengkung dan ukurannya lebih kecil dari jenis
Lamba.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar