Sabtu 29 September 2012, Tiba di Long
Bawang Kecamatan Krayan yang berpenduduk 8.000 jiwa dengan pesawat Susy Air yang mendarat di
Bandara Yuvai Semaring dan menginap di Hotel Agung Raya. Perjalanan kali ini untuk menyaksikan
keindahan panorama alam di Desa-desa Kawasan perbatasan Krayan dekat Malaysia bersama sahabat yang tinggal di sana bapak Kurniawan Hendsoy.
Memulai perjalanan diudara sangat
dingin maklum daerah krayan rata-rata berada pada ketinggian 2.000 m dpl sehingga
ketika mandi pagi terasa bagai mandi air es, meninggalkan hotel dengan motor treil melewati
jembatan kayu desa Long Katung sepanjang
4 m yang dibawahnya mengalir air berwarna kecoklatan jernih, kemudian
mendaki jalan berbatu yang cukup besar
membuat perut sakit karena goncangan diboncengan, sesampai di atas membelok ke kiri menyusuri tepi perbukitan dengan Rumah dan Kantor Camat krayan di sisi. Setelah itu hanya ditemui semak
rumput jenis paku dan ilalang sesekali rumah petani dengan jalan dari pasir halus sehingga ketika
kendaraan disalip mobil dari belakang bersiaplah
menutup hidung karena debu berterbangan hingga kendaraan itu sejauh 55 m baru
hilang.
Dua puluh menit kemudian memasuki Desa Long Api Jalan
disini sama seperti sebelumnya masih bertanah dengan parit jalan yang baik sehingga jalan menjadi lebih baik. Membelok kekiri, disamping berdiri gereja GKII yang
besar dari kayu tapi terlihat tua, dibelakangnya terdapat rumah Pak desa Long Api. Pak desa lagi keluar maka kami hanya ditemani
Istrinya mengamati tiga petak kolam ikan Nila dan emas dan
beberapa petakan sawah dibelakang kampung, umumnya sawah penduduk terletak dibelakang
kampung yang terlihat bagus, sehat dan padi
yang ditanam telah berumur satu bulan lebih, baru akan panen empat atau lima
bulan lagi kata ibu desa.
Setelah menitip salam pada istri pak
desa perjalanan dilanjutkan menemui
Pengurus GAPOKTAN (Gabungan Kelompok Tani) Rimba Lestari,
kebetulan ketuanya Pak Jones Pudun
lagi ada di unit usaha sembako. Kata Pak Jones P hampir semua anggota
Gapoktannya telah menanam Padi sejak Agustus dengan jenis padi lokal padi Adan yang telah mendapat sertipikasi Menhukum tentang hak paten kategori spesipik
geografik dan beberapa petani belum dapat mengembalikan pinjamannya yang
digunakan buat usaha tani tersebut. Di
tengah desa terdapat padang yang luas dan beberapa Sapi merumput dan tak jauh
dari situ terdapat Geraja Bethany besar terlihat sementara dibangun dengan berdinding bata merah dan atap seng.
Memasuki Desa Buduk Tumu sepanjang sebelah kiri jalan, kami menikmati pemandangan barisan panorama sawah yang
menghijau dengan aliran sungai Long Nawang sebagai sumber pengairan dan beberapa rumah penduduk yang tak jauh dari kaki bukit.
Beberapa sawah utamanya yang berada di deretan paling atas sisi jalan
terlihat kering serta jauh dari aliran
sungai sekitar 600 meter bahkan menurut
petani di Long Api sawah di Krayan masih
banyak tadah hujan.
Sepanjang jalan kami sering bertemu beberapa petani yang membawa cangkul dan wanita suku Lungdayeh yang bertopi CAPING (Topi bundar terbuat dari ayaman Pandan) dan menggendong ANJAT (keranjang rotan) dibelakangnya sambil bercekerama sesekali mereka mengangkat tangan jika ada yang melewati sebagai sapa kemesraan. Di depan sekolah SD yang terbuat dari kayu yang berada di sebelah kiri jalan dan Gereja GKII disebelah kanan jalan, kami terhenti karena seseorang sedang mengerjakan pipa air yang memotong jalan untuk pembagian air pada sawah dan kolan ikan Nila sebanyak enam petak, ternyata beliau Kepala Desa Buduk Tumu.
Sajian Pak Desa dengan Kopi manis dan Kue Kaleng ia dengan ramah menceritakan keadaan warganya yang sebagian besar petani, bahwa desa disini masih mempertahankan pertanian padi Organik dengan menghindarkan penggunaan pupuk anorganik atau kimia serta mereka lebih mengutamakan pengolahan yang berbasis alami yaitu pengaturan air, Pengolahan rumput di sawah serta pengembalaan kerbau di sawah saat tidak bersawah sebagai cara menyuburkan lahan dan tenggang waktu olah yang teratur sehingga dapat menuai dalam sehektar 2 – 3,5 ton.
Sepanjang jalan kami sering bertemu beberapa petani yang membawa cangkul dan wanita suku Lungdayeh yang bertopi CAPING (Topi bundar terbuat dari ayaman Pandan) dan menggendong ANJAT (keranjang rotan) dibelakangnya sambil bercekerama sesekali mereka mengangkat tangan jika ada yang melewati sebagai sapa kemesraan. Di depan sekolah SD yang terbuat dari kayu yang berada di sebelah kiri jalan dan Gereja GKII disebelah kanan jalan, kami terhenti karena seseorang sedang mengerjakan pipa air yang memotong jalan untuk pembagian air pada sawah dan kolan ikan Nila sebanyak enam petak, ternyata beliau Kepala Desa Buduk Tumu.
Sajian Pak Desa dengan Kopi manis dan Kue Kaleng ia dengan ramah menceritakan keadaan warganya yang sebagian besar petani, bahwa desa disini masih mempertahankan pertanian padi Organik dengan menghindarkan penggunaan pupuk anorganik atau kimia serta mereka lebih mengutamakan pengolahan yang berbasis alami yaitu pengaturan air, Pengolahan rumput di sawah serta pengembalaan kerbau di sawah saat tidak bersawah sebagai cara menyuburkan lahan dan tenggang waktu olah yang teratur sehingga dapat menuai dalam sehektar 2 – 3,5 ton.
Peran Kelompok tani disini katanya meski belum besar tapi cukup membantu usaha tani, karena keterbatasan kemampuan SDM pengurus dalam mengurus usaha tapi dengan kesepakatan kelompok tani dan Ketua adat banyak kegiatan pertanian dapat dilaksanakan dengan bersama-sama. Setelah pamitan perjalanan dilanjutkan ke Long Midang kawasan paling ujung dari Indonesia karena kalau diteruskan akan sampai di Negara tetangga Serawak Malaysia namun sebelumnya kami sempat menyaksikan keberadaan petak kolam disekitar rumah beliau yang dipadukan dengan peternakan Babi.
20 menit meninggalkan Desa Buduk tumu
kami melalui jalan yang berbatu, berlobang dan sebagian jalan beraspal, ketika akan memasuki kampung
jalan beraspal terputus yang ada Cuma jalan berbatu dan berlobang. Kemudian melintasi jembatan terbuat dari kayu yang beratap sepanjang 4 meter, jembatan disepanjang jalan Perbatasan
ini banyak yang berbentuk demikian
seperti yang telah dilalui sebelumnya. Beberapa hamparan sawah dikiri kanan jalan
dilalui sungai kecil yang mengalir dari puncak bukit dan bila musim kemarau akan
mongering serta beberapa
kerbau yang terbiar di atas sawah yang tidak di oleh tahun ini menambah
keindahan pesona pedesaan.
Tak lama berselang kami memasuki kawasan hamparan sawah yang membentang
disepanjang kaki bukit yang agak datar dengan sungai mengalir di bawahnya dan
tak jauh dari sana terlihat perkampungan dua desa yang masuk kawasan Long
Midang, moment indah ini tak kami
lewatkan dengan mengambil gambar
keindahan alam tersebut sambil memperhatikan ikan mas seukuran telapak tangan
berenang-renang. Kantor Gapoktan Malindo menempati bangunan rumah batu dua lantai yang belum
diplaster di dalamnya terdapat dua meja, kursi Tamu dan dua lemari arsip.
Dari Ketua Gapoktan Malindo Pak Joles dengan ditemani seduhan Teh dan Kue Kalengnya dari negeri jiran yang tersaji di meja, menceritakan kesulitan petani disini, jika musim kemarau sawah sulit di airi karena sungai dari puncak bukit banyak yang kering demikian juga Dam-dam sementara sungai dikaki bukit bawah sangat jauh dan airnya kecil sehingga mereka sulit untuk melakukan penanaman dua kali dalam setahun disisi lain keterikatan pada budaya tani mereka dari leluhur yang mengharuskan menanam padi lokal yang membutuhkan waktu 4-5,5 bulan dan tidak menggunakan bahan-bahan kimia yang dapat merusak tubuh.
Dari Ketua Gapoktan Malindo Pak Joles dengan ditemani seduhan Teh dan Kue Kalengnya dari negeri jiran yang tersaji di meja, menceritakan kesulitan petani disini, jika musim kemarau sawah sulit di airi karena sungai dari puncak bukit banyak yang kering demikian juga Dam-dam sementara sungai dikaki bukit bawah sangat jauh dan airnya kecil sehingga mereka sulit untuk melakukan penanaman dua kali dalam setahun disisi lain keterikatan pada budaya tani mereka dari leluhur yang mengharuskan menanam padi lokal yang membutuhkan waktu 4-5,5 bulan dan tidak menggunakan bahan-bahan kimia yang dapat merusak tubuh.
Usai berfoto-foto
bersama perjalanan dilanjutkan melalui jalan berbatu dan diselingi beberapa
meter jalan beraspal, selama 15 menit kemudian
kami melewati Pos Pengaman Perbatasan
(PAMTAS) berwarna loreng militer yang dikawal beberapa militer yang terlihata
sedang bertugas dan disamping beberapa orang sedang berolah raga , Pos ini selain berpungsi penjaga keamanan
diperbatasan juga berpungsi mengecek
adminsitrasi pelintas batas yang keluar masuk pintu tersebut.
Pak Kurniawan Hendsoy mengangkat tangan dan dibalas tentara penjaga Pos perbatasan juga dengan lambaian, kemudian kamipun melewati pos dengan melewati kayu palang jalanan, disebelah kanan terlihat bangunan pasar hewan perbatasan yang sepi dan tak lama kemudian melewati Pintu Gerbang yang bertuliskan SELAMAT JALAN yang berarti kami telah melewati batas Negara RI dan telah berada di wilayah jalan menuju Bakalalan sebagai kota terdekat Malaysia.
Kalau di daerah ini kami ditemukan Polisi Malaysia tanpa surat perjalanan yang syah seperti PLB (Pas Lintas Batas) maka dipastikan akan diproses, untung saja pos pengamanan Malaysia masih jauh sekitar 12 km. Di suatu ketinggian puncak gunung kami beristirahat menikmati alam hutan tropikal yang masih asli dan tidak melanjutkan perjalanan lebih jauh takut tertangkap Polisi Malaysia, disini banyak melintas kendaraan menuju Malaysia dan sebaliknya membawa barang seperti mobil Pick up Datsun dan Toyota dengan garden yang ditinggikan serta motor yang dirubah jadi ojek pengangkut barang, ada yang menyebutnya sebagai Ojek Cargo karna berpungsi membawa barang dengan tarip sekitar Rp 15.000/kg dengan kapasitas 200 kg, motor ini telah dimodifikasi dengan membuat sobreker belakang lebih tinggi jadi pada saat hujan tidak takut terkandas oleh kumpulan lumpur.
Pak Kurniawan Hendsoy mengangkat tangan dan dibalas tentara penjaga Pos perbatasan juga dengan lambaian, kemudian kamipun melewati pos dengan melewati kayu palang jalanan, disebelah kanan terlihat bangunan pasar hewan perbatasan yang sepi dan tak lama kemudian melewati Pintu Gerbang yang bertuliskan SELAMAT JALAN yang berarti kami telah melewati batas Negara RI dan telah berada di wilayah jalan menuju Bakalalan sebagai kota terdekat Malaysia.
Kalau di daerah ini kami ditemukan Polisi Malaysia tanpa surat perjalanan yang syah seperti PLB (Pas Lintas Batas) maka dipastikan akan diproses, untung saja pos pengamanan Malaysia masih jauh sekitar 12 km. Di suatu ketinggian puncak gunung kami beristirahat menikmati alam hutan tropikal yang masih asli dan tidak melanjutkan perjalanan lebih jauh takut tertangkap Polisi Malaysia, disini banyak melintas kendaraan menuju Malaysia dan sebaliknya membawa barang seperti mobil Pick up Datsun dan Toyota dengan garden yang ditinggikan serta motor yang dirubah jadi ojek pengangkut barang, ada yang menyebutnya sebagai Ojek Cargo karna berpungsi membawa barang dengan tarip sekitar Rp 15.000/kg dengan kapasitas 200 kg, motor ini telah dimodifikasi dengan membuat sobreker belakang lebih tinggi jadi pada saat hujan tidak takut terkandas oleh kumpulan lumpur.
Setelah puas istirahat agenda selanjutnya menyaksikan proses
pembuatan Garam pegunungan di Pa’Nado dan pulang. Di
sebuah bangunan kayu dari jauh terlihat asap mengepul keangkasa yang masih jernih membiru ternyata didalam terdapat dua tungku pemasak Garam menggunakan tungku Tanah dan kayu pembakar yang
masing-masing terdiri dari tiga Belanga dari Derum yang dibagi dua, air yang dimasak diambil dari dua sumur didepan bangunan tersebut. Kami membasuh muka dengan air sumur tersebut sebelum
masuk sebagai mana yang diberitahu pemiliknya sebagai petuah adat dulu. Proses memasak garam ini membutuhkan waktu
sekitar 21 jam dengan menggunakan air sumur sebanyak 380 liter per sekali masak.
Setelah membeli garam 5 kg dalam kemasan plastik
berupa serbuk putih halus dan bersih
kamipun permisi untuk pulang. Apa yang
bisa saya simpulkan selama perjalanan ini selama 2 .30 jam adalah perjalanan
ini menyusuri lereng di kaki bukit dan menyusuri aliran sungai besar dan kiri kanan jalan atau kampung yang
berada di dataran lereng yang sempit dikelilingi gunung yang tinggi namun
sangat indah karena pesona hijaunya alam
By Bakri Supian
Gadis gunung menanam padi di Lereng
Bukit,
Jauh di Pedalaman, berbukit,
terisolasi ciri Perbatasan selalu sulit.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar