Rabu, 24 Oktober 2012

HIKING TO PEAK MOUNT YUVAI SEMARING AT BORDER TOWN


















      Hari Minggu 30 Soptember 2012, Setelah tiga hari sebelumnya asik mengitari area pertanian sepanjang daerah perbatasan Krayan ,  maka hari minggu ini kami  sepakat untuk mendaki kepuncak Gunung Yuvai Semaring yang berada 1 km sebelah timur dari  Long Bawan Kec. Krayan sebuah Gunung dengan ketinggian   sekitar 2.100 meter dpl.  

      Gunung Yuvai Semaring merupakan salah satu objek wisata bagi warga Long Bawan  dan bagi  wisatawan yang suka mendaki yang berkunjung kesana,  untuk itu pemerintah telah membenahi  objek wisata ini diantaranya dengan  semenisasi  tangga naik  dari kaki Gunung kearah puncak pertengahan Gunung setinggi 300 meter dan lebar 1,5 meter  dan pemagaran  yang berantai besi kiri kanan tangga.  
Meski  telah ada penanganan terhadap objek wisata ini,  namun masih banyak bagian-bagian di lokasi ini yang perlu pembenahan  seperti  dari kaki tangga tadi ke jalan raya yang berjarak 75 meter kondisinya masih menyedihkan karena ditumbuhi  belukar atau ilang dan parit kecil dengan jembatan bambu sederhana,  seandainya area ini dibuat taman atau joglo tempat peristirahatan pasti akan lebih menarik lagi. 

      Jam 14.45 Wit,  Saya, Kurniawan Hendarto, Yusup, Marli Angai, Ibu Riatna  Wardoyo,  Pitron dan   Wahyudi   telah  berada di kaki gunung bersiap memulai pendakian  yang telah disepakati,   pendakian etape  pertama  dengan melewati anak  tangga  semen  sejauh 220 m dengan kemiringan 50 – 60 derajat, awalnya semua dilalui dengan santai  dan gembira namun setelah melewati  jarak  150 m terlihat beberapa teman mulai  kelelahan  seperti  Marli Angai  yang memiliki  tubuh Tambun duduk disisi jalan dan yang lainnya berjalan sambil memegang tali rantai yang menjadi pagar jalan.   Semakin mendekati akhir etape pertama  ini tingkat kemiringan semakin tinggi membuat kaki mulai terasa pegal,  namun pemandangan yang mulai terlihat indah dengan semak disisi-sisi  jalan yang dilalui ditumbuhi jenis Ilalang, Karamunting, Paku-pakuan, Tebu Hutan,  pohon kayu kecil dan Pohon Kinangan sejenis Palma mirip Pohon sagu yang banyak tumbuh di daerah pedalaman,  membuat semangat seperti mendapat energy lagi untuk mendaki terus.    Di akhir pendakian  etape pertama  tersebut  terdapat  sebuah pohon  yang dibiarkan tumbuh ditengah lintasan tersebut yang ternyata bermanfaat bagi pendaki selain kerimbunan areal jadi indah juga beberapa pendaki menjadikannya tempat  beristirahat,  karena  merasa cape  dan persendian lutut  sakit saya dan Wahyudi berhenti sebentar sambil bersandar dipohon tersebut dan meminum bekal Aqua yang dibawa.


      Perjalanan selanjutnya melalui etape kedua menempuh jalan bertanah  yang berada disepanjang  puncak gunung dan berakhir hingga  ke Etape berikutnya,  rasa ngeri dalam diri  yang sudah lama tidak pernah mendaki akhirnya muncul juga setelah melewati etape ini,  ketebalan puncak yang  menjadi jalur perjalanan tersebut hanya 2 m bahkan ada yang hanya 0,6 m saja,  etape ini sangat asik karena berjalan dibawah kerimbunan pohon Kinangan yang tumbuh lebat disisi-sisi jalan,  sehingga sambil berjalan  kita dapat mengamati  fisisologi tumbuhan tersebut yang ternyata berkembang biak dengan tunas yang tumbuh dari pangkal batangnya disela-sela akar  dan memiliki bunga sangat tinggi di ujung Pohon berwarna hitam kecoklatan dan sesekali terlihat Burung Serindit yang mungil dengan bulu berwarna warni melompat-lompat dipelepahnya.     

      Pada titik tertentu di etape ke dua ini Pendaki dapat menikmati keindahan kesekeliling  sehingga terlihat kota Long Bawan, Kampung Baru dan Trans Baru dengan  rumah kecil tertata rapi dikelilingi  petak-petak sawah  jauh di kaki bukit   dan dipenghujung  jalur ini  sepanjang  70 m,  lebar jalan hanya 0,5 m akan terasa semakin menakutkan karena  hanya dapat di lalui seorang demi seorang dengan jalan setapak  dari tanah yang agak keras dan semak  paku yang sering merintangi perjalanan hingga membuat  perjalanan terhambat.    Marli Angai  warga  Long Bawan   memperingati Ibu Riatnah Wardoyo untuk berhati-hati padahal ibu ini sebenarnya waktu kuliah di Unhas sempat mengikuti Grup pencinta Alam  dan itu terlihat dengan masih sigapnya stamina dan kondisinya meski agak kepenatan mungkin paktor usia.

      Di Etape ke tiga  saudara Pitron mengatakan bahwa  jalur sepanjang 265 m kedepan  akan memiliki  jalur tanjakannya lebih curam dapat mencapai 75 derajat di  saat akan mencapai puncak kedua.   Hal  yang perlu menjadi perhatian di jalur etape ketiga ini,  ada beberapa titik  tidak  tumbuhi tanaman  alias gundul sehingga jurang terlihat jelas tanpa ada pengamanan,   tiupan angin  kencang dapat mengagetkan bagi yang baru hiking dan jurang dikiri kanan jalur  siap menanti.    Ketika akan mencapai Puncak kedua atau akhir etape ke tiga kemiringan lereng  75 derajat dari tanah yang membatu,  lincin dan pijakannya tidak ada,  di sini  Pak Kurniawan benar-benar merayap sambil berpegang pada kayu yang dihulurkan oleh Bung Pitron yang telah  mencapai puncak kedua  tersebut,  bila lalai berjalan bisa langsung jatuh kebawah dengan ketinggian lebih dari 120 m (belum dasar bukit)  itupun kalau nyangkut di dasar  jarak terdekat  sebab tak ada pohon besar dapat menghadang melainkan rerumputan.

      Pitron menjadi yang pertama diantara kami mencapai Puncak pada jam 15.40 ,  setelah  istirahat  sejenak sekitar 5 menit kamipun memulai observasi pemandangan dari puncak  kedua  ini kesekeliling gunung, di sebelah Selatan terlihat Gugusan Gunung lebih tinggi  memanjang ke barat yang Menurut Marli sangat sesuai  sebagai  tempat wisata olah raga Dirgantara seperti  terbang layang  dan Gantole,   disamping tinggi kondisi anginnyapun sangat   baik maklum beliau pernah mendaki kesana meski tak sampai kepuncak, sebelah timur terlihat Kampung Transbaru jauh dibawak kaki bukit, sebelah Utara terlihat Puncak Utama Gunung Yuvai Semaring  yang tegar dengan dibaluti semak tanpa ada pohon besar dan sebelah Barat jauh dibawah kaki gunung terlihat Long Bawang hingga ke kampung disela-sela bukit dan paling ujung terlihat Kampung yang berada di Kawasan perbatasan dengan Serawak Malaysia.    Dipuncak ini kami menyempatkan diri berpoto mengabadikan momen bersejarah ini  dengan memegang Bendera Maerah Putih yang terikat pada Bambu  dan  berlatar kota Loang Bawan yang sangat indah dengan bergantian yang di awali saudara Pitron sebagai pendaki yang pertama mencapai titik ini.

      Setelah waktu  Istirahat  cukup Perjalanan dilanjutkan  menuju Puncak utama  Yuvai Semaring  karena tak lama lagi hari akan gelap jadi kami harus bersegera sehingga perhitungan waktu dapat sesuai, tapi perjalanan yang menempuh jarak sekitar 200 m ini tidak di ikuti  Ibu Riatna Wardoyo dan  Pak Kurniawan Handsoy karena  kelelahan,  kata Pak Kurniawan “ Kita ini bukan lagi seperti Mahasiswa  seoerti  dulu saat usia 21 an yang masih kuat !  hwaahaaaa, sambil tertawa.   Etape  keempat atau terakhir ini hampir sama seperti pada etape ke tiga tadi namun lebih menakutkan karena semakin tinggi tanpa semak besar dan pohon yang dapat jadi pengaman  dari jurang yang hanya berjarak selangkah disisi-sisi jalan,  tiba di kaki bukit puncak utama dengan ketinggian 30 m dan kemiringan 80 derajat dari batu yang belum tuah sehingga jantung sedikit berdentum lebih keras dan cepat,  namun kemudahan dipendakian ini pada  setiap langkah akan berpijak pada bagian yang mudah, tapi saat  menatap kebawah dan  kesamping terasa  takut juga melihat kebawah yang curam maklum  cukup lama tidak pernah mengikuti haiking seperti ini.   Akhirnya Marli Angai  berhasil mencapai puncak utama  dengan sangat gembira  kami berlima  mengabadikan moment ini dengan berpoto-poto dan tak lupa mengamati sekeliling gunung dengan pemandangan lebih luas,   terlihat seekor elang melayang-layang tak jauh dari puncak namun lebih rendah seperti sedang mengincar sesuatu.    Wahyudi tak  tahan meluahkan kegembiraannya dengan berteriak-teriak  di plataran puncak selebar 3 x 3 meter,  karena ia termasuk peserta termuda 23 tahun.

      Tak  lebih dari 15 menit di Puncak utama kamipun bergegas untuk menuruni Gunung dengan lebih hati-hati jangan sampai terbawa kegirangan meski penurunan ini akan lebih mudah dari pada saat mendaki yang akan menentang gravitasi bumi, di puncak kedua bergabung   Ibu Riatna Wardoyo dan Kurniawan  untuk turun bersama-sama melewati jalur seperti  tadi,  Marli sempat berkelakar karena bodinya sangat bongsor “ Hai .. minggir – minggir saya akan turun dengan berguling saja agar cepat sampai dan tidak capek ! “ yah tentunya kami semua jadi terbahak – bahak disaat sangat penat.  Jam 17.20     semua peserta sebanyak tujuh orang berhasil dengan selamat mencapai kaki bukit dan akan menuju jalan raya yang berjarak 75 m untuk menaiki mobil yang menanti dan kembali kepenginapan.

By  Bakri Supian


















Memanggul ANjat membawa Beras Adan,
Mendaki Yuvai Semaring melengkapi perjalanan ke Long BawaN.

Senin, 22 Oktober 2012

P Morotai : MUTIARA DI BIBIR PASIFIK DAN JEJAK PERANG DUNIA II




-->
Dengan keluasan 1.800 km2 Pulau Morotai  yang terletak di utara Pulau Halmahera, Provinsi Maluku Utara menjadikannya sangat penting sebagai  daerah beranda  RI yang berbatasan dengan negara Filipina.  Morotai  merupakan salah satu pulau terluar atau paling utara di Indonesia dan merupakan hasil pemekaran dari Kabupaten Halmahera Utara  pada 29 oktober 2008.
Objek wisata sejarah Perang Dunia II merupakan  satu hal yang menarik dari Morotai karena daerah ini memiliki  memiliki peranan penting dalam Perang Dunia II sebagian peninggalan sejarah tersebut masih dapat kita saksikan, karena ini semualah di tambah dengan kekayaan   panorama alam membuatnya dijuluki sebagai  “Mutiara di Bibir Pasifik” dan daerah ini akan dikembangkan sebagai Cagar budaya sebagai mana di ungkankan wamen Pendidikan  ibu  Wiendu Nuryanti  yang  bekerja sama dengan Yayasan Douglas MacArthur dari Amerika Serikat.   Daruba adalah Kota paling besar di Morotai yang berlokasi di sebelah selatan yang disebelah utaranya terbentang  keindahan perairan Pilippina dan sebelah  timur dihiasi perairan  Samudera Pasifik  sebagai daerah penyelaman  yang kaya akan biodiversity  flora dan fauna serta peninggalan sisa perang dunia yang tenggelam di sana.
Pulau yang memiliki luas sekitar 1.800 km persegi dengan jumlah penduduk  53,000 jiwa. Pulau ini dikelilingi oleh beberapa pantai dengan pemandangan memukau serta memiliki keindahan alam bawah laut yang kaya akan misteri sehingga tidak salah jika menjadikan Morotai sebagai salah satu Destinasi tour untuk objek kegiatan menyelam atau wisata bahari lainnya karena keindahan tersebut.  Kegiatan wisata yang telah menjadi kalender  Wisata Internasional yang rutin dilaksanakan setiap tahun adalah " SAIL MOROTAI ".   Kepala Dinas Pariwisata dan Budaya Marotai ibu Revi Dara  mengatakan akan menggelar Festival Marotai 2013, dengan melaksanakan kegiatan  di sejumlah obyek wisata di Pulau Morotai seperti berselancar yang dipusatkan di Sopi Morotai Jaya, menyelam di Pulau Tabailenge, Kecamatan Morotai Timur,  renang, mancing, kuliner, festival perahu kora-kora dan kegiatan pendukung lainnya akan dilangsungkan di sejumlah lokasi berbeda di Morotai. Sedangkan Untuk perahu kora-kora nantinya akan dirancang perahu yang berciri khas Tobelo-Galela karena menyimbolkan budaya daerah.

Selama abad ke-15 hingga abad ke-16 Pulau Morotai berada di bawah kekuasaan Kesultanan Ternate yang beragama Islam.  Sehingga misi Yesuit Portugis yang sempat singgah di sini tetapi tidak diterima Kesultanan Muslim Ternate dan Halmahera yang membuat mereka angkat kaki dari bumi Marotai.   Pulau Morotai  lebih terkenal sebagai bagian dari sejarah Perang Dunia II karena dimanfaatkan Jepang kemudian direbut Amerika Serikat pada September 1944. Amerika menggunakan pulau ini sebagai landasan serangan pesawat sebelum menuju Filipina,  Borneo bagian timur dan Merupakan basis utama untuk serangan ke Jawa pada Oktober 1945, serangan ini tak jadi dilaksanakan karena terjadi penyerahan diri Jepang pada sekutu pada bulan Agustus 1945.
Penduduk lokal di Pulau Morotai yang masih mengingat Perang Dunai II akan bercerita kepada Anda bahwa tahun 1944-1945 tempat ini merupakan lokasi pertempuran sengit dari puluhan pesawat tempur yang menderu ketika lepas landas dan mendarat di sepanjang Teluk Daruba. Puluhan ribu tentara bertebaran di setiap sudut pulau dan kapal angkatan laut berlabuh membawa pasokan kebutuhan harian tentara. Morotai saat itu merupakan salah satu markas tentara Amerika Serikat saat berperang menghadapi Jepang dalam Perang Pasifik selama Perang Dunia II.   Disana anda masih dapat melihat sebuah museum mini perang Dunia II yang didirikan oleh dua orang masyarakat Morotai yang bekerja sebagi petugas Purbakala yang mereka kumpulkan dengan usaha sendiri, dibangunan tersebut anda dapat melihat selongsong peluru dan beberapa senjata serta peralatan yang digunakan Jepang atau sekutu saat perang dunia ke II.
Pada 15 September 1944, tentara sekutu dari Amerika Serikat dan Australia di pimpinan Panglima Pasifik Barat, Jenderal  Douglas MacArthur mendarat di Morotai tepatnya di bagian barat daya pulau ini.   Sebelum kedatangan sekutu ke Morotai yang juga dikelilingi beberapa pulau seperti Pulau Zum zum, Pulau Dodola  Besar dan Dodola Kecil, tentara Jepang sudah terlebih dahulu menduduki tempat tersebut dan membangun sebuah landasan pesawat. Jepang kemudian meninggalkan Morotai untuk mendukung pertempuran di Pulau Halmahera. Ketika itu hanya tersisa sebanyak 500 tentara Jepang di Morotai yang bertugas untuk menjaga pulau tersebut. Oleh karena itu, dengan jumlah tersebut mereka dapat langsung ditaklukkan pasukan Amerika Serikat kemudian mendirikan Pangkalan di Pulau Zum zum. Angkatan Laut Jepang berikutnya berusaha merebut kembali pulau ini tetapi gagal.
Di bawah Jenderal MacArthur sekutu menggantikan posisi Jepang  yang  meniggalkan Morotai, kesempatan emas itu digunakan sekutu untuk memanfaatkan posisi Marotai yang strategis dalam merebut kembali Philippina dan Borneo Timur dari pendudukan Jepang,    Tidak kurang 9 Devisi atau sekitar lebih dari 50 ribu tentara, 3.000 pesawat,   Tank Ampibi  sekutu ditempatkan di Morotai  dan   pembangunan 5 buah landasan pesawat serta rumah sakit besar dengan kapasitas 1.900 tempat  tidur.
Kini, Morotai menjadi saksi sejarah Perang Dunia II sebagai pusat sekutu di wilayah Indofasikbarat  yang dipimpin Jenderal McARTHUR dalam stategi sekutu untuk menghancurkan Posisi Jepang yang berada di Filipina, Borneo Timur dan Jawa.
by Bakri Supian









Anak Desa main ketapel  melakoni perang Dunia,
Pulau Marotai objek wisata Perang dunia kedua.

Kamis, 18 Oktober 2012

TRADISI PENGGANTIAN PAKAIAN MAYAT LELUHUR DI TORAJA



       Tanah Toraja merupakan satu daerah di Sulawesi Selatan yang masih memegang teguh dan melestarikan budaya atau suatu keyakinan lama  atau agama lama yang disebut sebagai ALUKTUA dan  masih terpelihara hingga sekarang.  Ritual agama tersebut yang masih dilaksanakan warga Toraja dengan baik diantaranya   Prosesi penggantian baju jasad leluhur mereka, prosesi adat ini dinamakan Ma'nene, kegiatan ini biasanya dlaksanakan dalam  tiga tahun sekali di daerah pemakaman leluhur orang Toraja khususnya bagi warga Desa Sesean.




Beberapa orang keluarga dari lmayat eluhur tersebut menggotong peti berisi jasad leluhur keluar dari liang pemakaman atau liang Batu (Patane), untuk kemudian digantikan bajunya yang dilaksanakan dalam satu prosesi adat Ma'nene.








 

Prosesi Ma'nene yang dilaksanakan oleh keluarga atau turunan sang leluhur  bersama para Ketua adat suku tersebut, diselenggarakan sekali dalam tiga tahun dengan kegiatan merawat tubuh mayat leluhur tersebut dan menggantikan pakaian lama dengan yang baru.









Ketua Adat suku Toraja di bantu para keluarga dan turunannya memimpin acara pelepasan pakaian lama jasad leluhur tersebut.   





 

Mayat-mayat demikian akan tersimpan dalam keadaan utuh meski telah memakan waktu ratusan tahun karena sebelumnya telah diberikan bahan pengawet dan rutinnya perawatan yang diberikan para turunannya, seperti tampak seorang keluarga membersikan simayat dengan kuas pembersih.







Setelah Pembersihan Mayat dan Penggantian Pakaian Mayat serta beberapa ritual khususnya yang di lakukan para ketua adat selesai,  Mayat leluhur tersebut dimasukkan dalam Peti kemudian oleh keluarga digotong kembali masuk kedalam liang mayat, selanjutnya Ketua adat akan memimpin acara ritual penutupan tersebut dengan pembacaan doa. Kegiatan ini masih anda temukan dilaksanakan oleh masyarakat desa Sesean. 



by Bakri Supian


Warga Tator merantau jauh ke Negeri Seberang,
Meski hidup di zaman moderen akar budaya pegangan utama.

LIMA PEMBUANGAN SAMPAH TERBESAR DI DUNIA, ADA BANTAR GEBANG !!

NusaNTaRa.Com       byBatiSKambinG,        R   a   b   u,    2   0      N   o   p   e   m   b   e   r      2   0   2  4     Tempat Pengelola...