NusanTaRa.Com
byHersubenOArieF, 18/1/2018
Bagi
Presiden Jokowi apalagi Wapres Jusuf Kalla (JK) Ketua Umum Golkar Airlangga
Hartarto adalah makhluk istimewa, manusia di atas rata-rata sangat jauh kualitasnya bila dibandingkan
dengan figur sekelas Wiranto, Pramono Anung, Tjahjo Kumolo, Puan Maharani,
Muhaimin Iskandar, apalagi Sekjen Golkar Idrus Marham. Airlangga
boleh rangkap jabatan sebagai menteri di kabinet Jokowi sementara yang lain
tidak boleh, Airlangga dipandang bisa membagi waktunya dengan baik sementara
yang lain tidak.
Meminjam
pernyataan JK Airlangga bisa membagi waktunya 90% di siang hari untuk
aktivitasnya sebagai Menteri Perindustrian sementara 10% di malam harinya
untuk kegiatan partai. Jadi posisi
Airlangga dipastikan tetap aman, tetap menjadi pembantu presiden, sekaligus
mengendalikan Golkar yang menjadi partai pendukung Jokowi, da kabinet siang
dan kabinet malam.
Bagaimana
dengan Idrus Marham ? Tidak ada tawar menawar harus melepas posisinya sebagai
Sekjen Golkar. Sebab menurut JK pekerjaan Sekjen sangat berat harus full time. Beda
dengan ketua umum yang relatif lebih ringan, Benarkah ?. Publik tentu
belum lupa bagaimana sikap tegas Jokowi ketika membentuk Kabinet Kerja, tidak
ada kompromi rangkap jabatan di partai termasuk bagi partai PDIP yang nota
bene partai pendukung utama dan juga partai Jokowi.
Tjahjo
Kumolo harus rela melepas jabatan prestisius dan sangat penting sebagai Sekjen
PDIP demi menduduki jabatan baru sebagai Mendagri, Puan Maharani yang diangkat
sebagai Menko Pemberdayaan Manusia dan Kebudayaan harus menghadapi kritik keras
di media karena tak segera melepas jabatannya sebagai Ketua DPP PDIP. Nasib yang
sama juga harus dialami oleh Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar, dia terpaksa
harus memilih mendapatkan pos sebagai menteri atau tetap bertahan sebagai
ketum PKB dan Muhaimin memilih bertahan di luar dengan menempatkan sejumlah
personilnya menjadi menteri Jokowi.
Cerita Menko
Polhukam Wiranto agak berbeda, pada awal pembentukan kabinet Wiranto memilih
menempatkan kader Hanura Yuddy Chrisnandi sebagai Menteri PAN dan Reformasi
Birokrasi namun ketika Yuddy dicopot oleh Jokowi, Wiranto kemudian masuk ke
kabinet. Sama seperti
para menteri yang lain Wiranto harus taat mengikuti aturan main yang tegas
digariskan Jokowi. Dia terpaksa melepas posisinya sebagai Ketum Hanura dan
menyerahkannya kepada Osman Sapta Odang.
Kini partai yang didirikan oleh
Wiranto itu mengalami gonjang-ganjing, Osman Sapta dikudeta bawahannya. Sebagai
Ketua Dewan Pembina Hanura Wiranto punya tugas berat untuk menyelesaikan
konflik internal partainya. Situasi yang dihadapi Wiranto sangat krusial
karena tengah menghadapi pilkada serentak dan tentu saja konsolidasi menuju
Pilpres 2019.
Sikap Jokowi
tegas soal rangkap jabatan ini merupakan implementasi dari janji kampanyenya.
Jokowi ingin para menterinya fokus pada pekerjaannya. “ Satu jabatan saja belum
tentu berhasil, apalagi dua ”, Ujar SiDin Jokowi. Jejak digital janji Jokowi ini bisa
dengan mudah ditelusuri. Kala itu
banyak yang memuji sikap tegas Jokowi, sikapnya memang agak berbeda dengan JK
yang pernah merangkap jabatan sebagai Ketua umum Golkar dan wapres semasa
mendampingi SBY.
JK sejak awal
menegaskan bahwa rangkap jabatan dalam pemerintahan dan partai tidak harus
dipersoalkan. Sudah banyak contohnya, Megawati maupun SBY merupakan contoh yang
sering dikemukakan JK untuk membela argumentasinya. Megawati
saat menjadi presiden dia adalah ketum PDIP sementara Presiden SBY juga
merangkap sebagai ketum Demokrat.
Bahwa sikap
JK berbeda dalam soal posisi Idrus Marham nampaknya lebih karena preferensi
pribadinya yang sejak awal tidak menghendaki Idrus masuk di kabinet. Kendati
sama-sama orang Bugis dan Golkar namun JK dan Idrus secara politik tidak
berada di kubu yang sama. Sebaliknya
Airlangga adalah tokoh kompromi antara JK dan Jokowi, jadi preferensi pribadi
menentukan posisi dan opini.
Pengamanan
tiket 2019
Mengapa
Jokowi berubah sikapnya dan terkesan menganak-emaskan Airlangga ? Mengapa Jokowi
bersedia melanggar janji politiknya demi seorang Airlangga ?. Mengapa dia
bersedia menanggung hujatan yang dalam bahasa Jawa sering disebut sebagai
“ isuk dele, sore tempe ”. Pagi masih
kedelai, tapi sore harinya berubah menjadi tempe, Sebuah metafora menggambarkan
sikap yang tidak konsisten, Mencla-mencle atau ndal - ndul.
Tampaknya
ini bukanlah persoalan Airlangga semata wayang golek, tapi lebih merupakan persoalan masa depan
politik Jokowi, khususnya pengamanan tiketnya untuk Pilpres 2019.
Pertama, Posisi Airlangga sebagai ketum Golkar bukanlah keinginan pribadi tapi lebih
sebagai penugasan dari Jokowi untuk mengamankan Golkar, tugas ini tidak mudah
di tengah perkubuan yang begitu kuat di tubuh Golkar. Bila harus
memilih antara jabatan sebagai Menteri Perindustrian atau sebagai ketum
Golkar, tampaknya Airlangga akan lebih memilih yang pertama. Jabatan menteri
bukan hanya sangat prestisius namun secara personal posisi sebagai Menteri
Perindustrian sangat spesial baginya. Bapak Airlangga almarhum Ir Hartarto
juga pernah menjabat posisi ini pada masa Orde Baru sehingga ini dapat semacam legacy dan
kehormatan keluarga.
Kedua,
Airlangga adalah figur kompromi antara Jokowi dan JK, selama ini JK kesulitan
mengendalikan dan mengakses Golkar semasa di bawah kepemimpinan Setnov.
Penangkapan Setnov oleh KPK merupakan momentum baik yang tidak akan
disia-siakan JK, Dia bisa menempatkan orangnya atau setidaknya figur yang bisa
diajaknya bicara. Cara pandang
dan penyikapan JK dan Jokowi yang berbeda dalam soal rangkap jabatan,
menjelaskan mengapa Airlangga akhirnya tetap dipertahankan di kabinet, Posisi
tawar JK terhadap Jokowi menguat.
Ketiga, Pasca Setnov ditangkap KPK Jokowi membutuhkan figur yang bisa dipercaya untuk
mengamankan kepentingannya di Golkar, Partai berlambang pohon beringin ini
sangat penting bagi Jokowi di tengah ketidakpastian apakah PDIP akan
mencalonkan kembali dirinya sebagai capres 2019. Posisi
Airlangga sama dengan posisi JK ketika dia mengambil alih Golkar dari tangan
Akbar Tandjung yakni untuk pengamanan pemerintahan SBY.
Dibandingkan
dengan opini publik yang mengungkit-ungkit konsistensi janji kampanyenya
pengamanan tiket dari Golkar jauh lebih penting. Toh Jokowi sangat paham bahwa
publik kita mempunyai ingatan jangka pendek. Dengan
berbagai program pencitraan (permanent campaign) yang terus menerus dilakukan,
publik, pengamat, maupun media akan segera lupa bahwa Jokowi telah mengingkari
janji kampanyenya.
Pengalaman
Jokowi sebagai gubernur DKI telah membuktikan hal itu, mereka bahkan
ramai-ramai mendorongnya menjadi capres 2014. Publik
mungkin juga sudah lupa bahwa Jokowi pernah mengatakan penanganan banjir dan
kemacetan di Jakarta akan lebih mudah diatasi bila dia menjadi presiden, janji
itu disampaikan di Balaikota DKI saat dia menjadi Gubernur DKI (23/4/2014).
Sampai
gubernur DKI berganti tiga kali Ahok, Djarot, dan sekarang Anies Baswedan, toh
Jakarta tetap macet dan berbanjir ria. Sekarang kesalahan itu malah ramai-ramai
dinisbahkan kepada Anies-Sandi. Beres kan ? Publik, pengamat, dan media lupa
menagih janji Jokowi. Dengan
realitas semacam itu Jokowi juga tidak perlu khawatir publik akan terlampau
jauh mempersoalkan rangkap jabatan Airlangga. Hanya soal waktu Publik akan
lupa, amnesia.
Seperti
sebuah judul film klasik Gone with the wind, Terbang bersama angin yang akan
membawa Jokowi kembali ke tampuk kursi kepresidenan untuk kedua kalinya.
drNgopiBarenG
Gone with the Wind, man,
Janji akan terlupakan bagai terbawa angin.