Noken merupakan tas tradisional masyarakat Papua terbuat dari serat kulit kayu yang dianyam, digunakan untuk membawa barang dengan cara menjinjing menggunakan kepala. Masyarakat Papua
biasanya menggunakannya untuk membawa hasil-hasil pertanian dan barang-barang
dagangan ke pasar. Keunikan tas ini oleh UNESCO
pada 04 Desember 2012 telah ditetapkan sebagai salah satu hasil karya tradisional dan
warisan kebudayaan dunia khas masyarakat Papua.
Namun nama ini menjadi lebih popular ketika
hasil Pilpres 2014 menimbulkan protes dari salah satu kubu yang kalah berbuntut
tuntutan agar Putusan KPU akan hasil pilpres 2014 dibatalkan. Rentetan dari tuntutan tersebut digelarlah
Sidang MK ( 6-18 Agustus 2014) dan Sidang Etik MKPP yang mencuatkan Nowela sebagai saksi di Distrik
Paniai akan Pemilihan yang hanya dilaksanakan oleh Kepala Suku secara adat, disebut
Noken. Pelaksanaan Noken di beberapa daerah
pegunungan Papua menjadi protes dari kubu yang kalah dengan Alasan bahwa pemilu yang di amanatkan UU adalah “ Langsung, Umum, Bebas, Rahasia
Adil dan Jujur “ sementara Noken selain melanggar prinsip Pemilu juga bertentangan
dengan hak Azasi Manusia yang berhak menentukan pilihannya sendiri.
Mantan Ketua Komisi Pemilihan Umum Abdul
Hafiz Anshary, kamis (14/8/2014) mengatakan, " Kita tidak tahu secara pasti
sejak kapan sistem noken ini, tapi sudah berlangsung sejak pertama kali pemilu,
Orde Baru, era Reformasi 1999, sampai sekarang ", dan beliau melanjutkan sistem noken di Papua
tidak bertentangan dengan Undang-Undang Pemilu Legislatif dan UU Pemilu
Presiden dan Wakil Presiden karena sudah mendapatkan legitimasi dari Mahkamah
Konstitusi. Sistem noken jadi salah satu materi
gugatan dalam Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) Pilpres 2014 di Mahkamah
Konstitusi (MK). " Dalam masa
transisi noken atau sistem ikat masih bisa dibenarkan, tapi harus dikondisikan
penyelenggara secara tertib, disaksikan saksi atau kepala suku. Bahwa Pemilu di
Papua dilakukan dengan baik dengan noken atau dengan berbagai variasi. Dengan demikian
dalil pemohon tidak beralasan menurut hukum ", Ujar Hakim MK Wahiduddin
Adams di Gedung MK, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Kamis
(21/8/2014).
Dalam
sidang
sengketa pilpres di Mahkamah
Konstitusi yang dimohonkan kubu Prabowo-Hatta, 14 Agustus 2014, seorang ahli,
Hasyim Sangaji, menyampaikan bahwa sistem noken khas Papua sudah
dipraktikkan sejak 1970-an. Sistem noken biasa dijalankan di beberapa daerah,
meskipun tak semua warga Papua melaksanakannya. Cara
pemungutan suara dengan sistem noken sudah lama diakui Mahkamah Konstitusi (MK)
sebagaimana dituangkan dalam putusan MK No. 47-81/PHPU-A-VII/2009. Dalam
pertimbangannya MK menyatakan: “Menimbang bahwa Mahkamah dapat memahami dan
menghargai nilai budaya yang hidup di kalangan masyarakat Papua yang khas dalam
menyelenggarakan pemilihan umum dengan cara atau sistem " kesepakatan warga "
atau aklamasi. Mahkamah menerima cara pemilihan kolektif (kesepakatan
warga atau aklamasi) yang telah diterima masyarakat Kabupaten Yahukimo tersebut
karena jika dipaksakan pemilihan umum sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku dikhawatirkan akan timbul konflik di antara
kelompok-kelompok masyarakat setempat”.
Dalam Undang-Undang
No. 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden disebutkan pemilihan menggunakan asas langsung, umum,
bebas, rahasia, jujur, dan adil, sebagaimana juga dengan bunyi Undang-Undang
No. 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD. Dengan asas rahasia seharusnya tidak boleh ada orang lain
yang tahu calon yang dipilih seseorang dan tidak ada lagi orang yang dipaksa dan diintervensi untuk memilih kandidat yang diingininya. Dengan demikian, ada
problematika sistem noken jika dilihat dari asas-asas pemilu. Tetapi secara
yuridis, Mahkamah Konstitusi sudah menyatakan sistem noken diakui sehingga
masih berjalan di sejumlah daerah di Papua hingga saat ini.
Bila mencermati beberapa
Pemilu ditanah air maka kita akan menemukan penggunaan sistem Noken atau
perwakilan yang pernah berlaku di wilayah
selain Papua yaitu pemilukada 2013 Prov. Bali, berbuntut problem
pemilu namun putusan MK saat itu membenarkan penggunaan system tersebut karena
bersifat kasuistis dan pembenaran itu berasas pada pakta lapangan serta tidak
dapat diberlakukan disemua daerah, sejalan ungkapan Ketua MK saat itu Hamdan Zoelpa
“ Kita sepakat asas pemilu itu Luber
Jurdil, dan putusan sistem perwakilan pemilih itu bersifat kasuistik
berdasarkan fakta di lapangan, bukan melahirkan norma yang bersifat umum ”.
Koalisi Masyarakat Sipil untuk Demokrasi menyatakan model pemilihan perwakilan di Bali dalam Pemilukada Bali 2013 yang disahkan MK dapat berimplikasi pada pelaksanaan pemilu yang akan datang. Hal ini terkait dibolehkanya seseorang/masyarakat mewakilkan suara politiknya kepada orang lain di TPS. “ Setidaknya ada 20 wilayah provinsi yang kami anggap masuk dalam kategori rentan dan itu akan kita pantau ”, ungkap Ketua Komnas HAM, Siti Noor Laila usai beraudiensi dengan ketua MK Hamdan Zoelva di Gedung MK, Selasa (11/2/2014).
Kembali pada sistem Noken di Papua, Ada dua sistem noken yang biasa digunakan masyarakat di pegunungan Papua yaitu pola big men atau suara yang telah disepakati masyarakat adat bersama ketua adat diserahkan dan diwakilkan kepada ketua adat untuk memilih/menusuk pilihan yang telah disepakati kemudian memasukkannya kekantung suara (Tas Noken) sesuai peserta pemilu yang dipilih. Pola noken gantung, masyarakat adat bersama kepala suku melakukan kesepakatan akan pilihan bersama yang akan dipilih, kemudian masyarakat memilih/mencoblos pilihan yang disepakati bersama kemudian memasukkan kertas pilihan keKantung pilihan yang ditetapkan dengan disaksikan masyarakat adat lainnya (masyarakat melihat hasil pilihan si pemilih tersebut/terkontrol).
Melihat putusan pembenaran pelaksanaan Noken di beberapa daerah dengan alasan realita lapangan dan kasuistis bahwa kesadaran hukum dalam hal ini masyarakat adat dalam lokasi pemilu tersebut yang esensinya tidak memahami pemilu tersebut dengan baik dan pengertian mereka dalam hal ini lebih banyak bergantung pada pengertian ketua adat sejak dahulu termasuk dalam hal-hal lain / baru yang terkait secara kompleks akan ketergantungan pada adat yang mengikat seperti sistem hidup dan sosial serta kondisi pemukiman yang sangat berjauhan dari lokasi pemilu. Beberapa pakar menganjurkan sosialisasi tentang Pemilu bagi masyarakat perlu terus digalakkan sehingga asas HAM yang menjadi salah satu sisi yang menentang sistem Noken dapat ditegakkan yaitu asas Pemilu " Langsung, Umum, Bebas, Rahasia, Adil dan Jujur " sebagaimana pemilu di daerah lain Papua bahkan di Papua Barat yang sudah tidak lagi menerapkan sistem NOKEN.
by BakriSupian
Dimana Bumi dipijak disitu Langit diJunjung,
Noken Sistem pemilu Adat Papua sesuai Undang-Undang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar