Mujahidah Muslimah. Jumat, 27 Februari 2015
NusanTaRa.Com
Islam memberikan tuntunan yang tegas bahwa semua manusia, tanpa
membedakan jenis kelamin dan jenis gendernya, diciptakan untuk
mengembang misi yang amat penting sebagai khalifah fil ardh (pemimpin di bumi), paling tidak pemimpin untuk dirinya sendiri. Adapun tujuan utama penciptaan manusia adalah amar ma’ruf nahy mungkar,
yakni melakukan upaya-upaya transformasi dan humanisasi demi
kesejahteraan dan kemashlahatan manusia yang tentunya dimulai dari diri
sendiri dan keluarga inti.
Agar dapat mengemban dan melaksanakan tugas dan tujuan mulia
tersebut, manusia memerlukan pendidikan, pelatihan dan pengalaman yang
panjang. Karena itu, semua manusia: perempuan dan laki-laki diharapkan
bekerjasama secara tulus dan dengan penuh kasih sayang, bahu-membahu,
bergotong-royong mewujudkan masyarakat yang damai, bahagia dan sejahtera
(baldatun thayyibah wa rabbun ghafur), seperti diilustrasikan
Al-Qur’an dalam surah Saba’ yang bercerita tentang kesuksesan dan
kepemimpinan Ratu Bulqis di kerajaan Saba’.
Sebagai manusia yang jelas tugas dan tujuannya, laki-laki dan
perempuan harus memikirkan dengan baik setiap fase hidupnya. Jika mereka
memilih untuk hidup berkeluarga maka mereka harus memikirkan bagaimana
mewujudkan keluarga yang damai dan sejahtera. Karena itu kehidupan
keluarga harus direncanakan dengan sebaik-baiknya. Dari sinilah muncul
gagasan pemerintah tentang program Keluarga Berencana.
Program Keluarga Berencana disingkat KB dimaksudkan sepenuhnya untuk
menciptakan kesejahteraan dan kebahagiaan bagi setiap anggota keluarga:
ibu, bapak, dan anak-anak, bahkan juga anggota keluarga lainnya.
Perencanaan keluarga dimulai dengan merencanakan hal-hal penting berikut:
Pertama, kapan waktu yang tepat untuk menikah? Meski UU Perkawinan
menyebutkan usia minimal untuk melangsungkan pernikahan adalah 19 tahun
bagi laki-laki dan 16 tahun bagi perempuan, namun tidak berarti harus
menikah di usia tersebut. Faktanya, dalam kehidupan sosial ternyata usia
16 atau 19 tahun masih terlalu dini. Umumnya anak laki dan anak
perempuan dalam usia tersebut belum mampu hidup mandiri, apalagi
berperan menjadi orang tua. Sebab, pernikahan itu memerlukan kesiapan
fisik, mental, dan finansial disamping juga kesiapan moral dan
spiritual. Harus dipkirkan secara matang, kehidupan setelah menikah
nanti, mau tinggal dimana, pekerjaan apa yang akan dilakukan untuk
menopang biaya hidup dan seperti apa bentuk keluarga yang akan dipilih?
Kedua, kapan waktu yang tepat untuk mulai hamil dan melahirkan?
Pertanyaan ini terkait erat dengan kemampuan fisik, mental serta
kesehatan reproduksi perempuan. Sebab, menjalani kehamilan secara
bertanggungjawab bukanlah perkara mudah. Bukan hanya dibutuhkan
kesehatan fisik, tapi juga kesehatan mental dan spiritual calon ibu.
Terlebih lagi setelah melahirkan nanti, apakah calon ibu sudah siap
untuk menyusukan anaknya secara penuh sebagaimana dianjurkan ahli
kesehatan dan juga dianjurkan dalam agama Islam, yaitu menyusui anak
selama dua tahun penuh. Apakah laki-laki, calon ayah sudah siap berbagi
waktu untuk mengasuh anak? Selain menyiapkan waktu yang cukup, juga
keperluan material berupa sandang-pangan juga sangat dibutuhkan dalam
periode ini.
Ketiga, kapan jarak terbaik antara satu kelahiran dan kelahiran anak
berikutnya? Laki-laki dan perempuan sebagai calon orang tua sebaiknya
memikirkan dengan matang jarak kelahiran anak-anak mereka. Jarak
kelahiran yang terlalu dekat akan mengurangi perhatian dan kasih sayang
yang seharusnya dirasakan seseorang anak. Lagi pula, kehamilan yang
sangat rapat juga mempengaruhi kualitas kesehatan reproduksi perempuan.
Anak adalah amanah Tuhan yang harus dijaga sedemikian rupa, tidak boleh
disia-siakan kehadirannya. Sementara kebutuhan anak sangat kompleks,
mulai dari kebutuhan jasmani berupa makanan sehat dan bergizi, pakaian
yang memadai, serta rumah tempat tinggal yang memungkinkan dia tumbuh
dengan sehat, aman dan nyaman. Belum lagi, kebutuhan non-fisik berupa
perhatian, kasih sayang yang tulus dan pengasuhan, dan kemudian
pendidikan yang memadai bagi pertumbuhannya menjadi manusia dewasa yang
bertanggung jawab.
Dengan demikian konsep Keluarga Berencana mencakup spektrum yang
sangat luas dan holistik. Mulai dari mempersiapkan diri sendiri menjadi
orang tua (ayah dan ibu) yang sehat, bijak dan berkualitas. Merencanakan
kapan punya anak, berapa jarak kelahiran dan kapan harus berhenti punya
anak, untuk selanjutnya mempersiapkan anak-anak kita menjadi calon ayah
dan calon ibu yang bertanggungjawab, membimbing mereka menjadi orang
dewasa yang berkualitas fisik, mental, rohani dan spiritualnya serta
memberikan bekal yang cukup dalam memilih pasangan dan menentukan kapan
akan membentuk keluarga sendiri secara mandiri. Semua itu dengan satu
tujuan yang jelas, yakni mewujudkan kesejahteraan dan kemashlahatan
dalam hidup berkeluarga sehingga memperoleh kedamaian dan kebahagiaan
lahir-batin di dunia sampai akhirat kelak.
Dari uraian tadi jelas bahwa KB bukanlah sekedar pemakaian alat
kontrasepsi belaka. KB adalah satu cara mewujudkan keluarga sejahtera
yang dapat dilakukan dengan atau tanpa memakai alat kontrasepsi.
Berbicara tentang alat kontrasepsi, bermacam model ditawarkan, tentu
dengan berbagai keuntungan dan kerugian serta efek sampingnya. Pemilihan
salah satu alat kontrsepsi hendaknya didahului dengan konsultasi pada
bidan atau dokter. Tidak semua orang cocok dengan alat kontrasepsi
tertentu mengingat kondisi fisik setiap individu berbeda satu sama lain.
Berdasarkan berbagai fakta medis dan sosial, tampaknya penggunaan
alat kontrasepsi sebaiknya dilakukan oleh laki-laki atau suami. Mengapa
sebaiknya laki-laki yang menggunakan alat kontrasepsi? Sebab, bagi
laki-laki lebih mudah dan lebih praktis. Hal itu karena posisi organ
reproduksi laki-laki berada di luar dan bentuknya pun tidak serumit
organ reproduksi perempuan. Mari kita ubah paradigma yang terlanjur
berkembang di masyarakat bahwa pemakaian alat kontrasepsi adalah
kewajiban perempuan.
Konsep Keluarga Berencana yang utama adalah merencanakan suatu
kehidupan keluarga yang damai dan bahagia, dan salah satu indikasinya
adalah jumlah anak yang sedikit dan berkualitas. Pandangan ini terkait
dengan masalah global tentang ledakan penduduk, kemiskinan, pengangguran
dan keterbatasan sumber daya alam. Sebagai manusia yang dianugerahi
akal budi, manusia selayaknya memikirkan dan merencanakan hidupnya
dengan sebaik-baiknya agar tidak menambah kerumitan dalam kehidupan di
bumi ini.
Islam membolehkan penggunaan alat-alat kontrasepsi untuk tujuan
memelihara kesehatan, mengatur jarak kelahiran anak, dan juga untuk
menghindari penularan penyakit tertentu. Hal penting yang dipikirkan
oleh suami dan isteri adalah bagaimana merencanakan keluarga bahagia,
sejahtera dan harmoni yang dalam istilah Islam disebut sakinah wa mawaddah wa rahmah.
Islam sejak dini sudah memberikan peringatan agar kita tidak
meninggalkan keturunan yang lemah seperti tertera dalam ayat pembukaan
di atas.
Fungsi Keluarga
Keluarga adalah sebuah institusi yang minimal memiliki fungsi-fungsi
sebagai berikut. 1) Fungsi religius, yaitu keluarga memberikan
pengalaman keagamaan kepada anggota-anggotanya; 2) Fungsi afektif, yakni
keluarga memberikan kasih sayang dan melahirkan keturunan; 3) Fungsi
sosial; keluarga memberikan prestise dan status kepada semua anggotanya;
4) Fungsi edukatif; keluarga memberikan pendidikan kepada anak-anaknya;
5) Fungsi protektif; keluarga melindungi anggota-anggotanya dari
ancaman fisik, ekonomis, dan psiko-sosial; dan 6) Fungsi rekreatif.
yaitu bahwa keluarga merupakan wadah rekreasi bagi anggotanya.
Suatu keluarga akan menjadi kokoh, bilamana keenam fungsi yang
disebutkan tadi berjalan harmonis. Sebaliknya, bila pelaksanaan
fungsi-fungsi di atas mengalami hambatan akan terjadi krisis keluarga.
Keluarga juga akan mengalami konflik, bila fungsi-fungsi itu tidak
berjalan secara memadai. Misalnya, jika fungsi edukatif tidak berjalan
efektif mungkin hubungan anak dan orangtua akan mengalami
ketidak teraturan (disorder).
Ditinjau dari perspektif gender, keluarga merupakan lingkungan yang
secara langsung dan tidak langsung memperkenalkan sifat-sifat khas
perempuan dan laki-laki (gender traits), cara-cara mengisi
peran gender (sebagai ayah-ibu atau sebagai suami-isteri) dan berbagai
bentuk interaksi gender, seperti ayah dominan, ibu submisif, atau
sebaliknya. Dalam keluarga Indonesia pada umumnya, laki-laki sebagai
ayah mempunyai kedudukan yang sentral dan peran laki-laki sebagai ayah
dan yang biasanya aktif di ruang publik sangat menentukan status
keluarga dalam masyarakat.
Sebagai penerus utama nilai-nilai, dalam lingkungan keluarga juga
berlangsung mekanisme pemilihan tokoh identifikasi. Anak meniru pola
perilaku orang di dalam keluarga. Yang ditiru dapat berupa perilaku,
gaya bicara atau sifat-sifat khasnya. Ditinjau dari perspektif gender,
keluarga merupakan laboratorium dimana sejak anak dilahirkan ia belajar
dan mengenal perilaku yang terkait pada gender seseorang (gender related behavior).
Anak sebagai amanah
Ajaran Islam menegaskan bahwa anak adalah amanah Allah swt. Sebagai
suatu amanah tentu saja anak harus dipersiapkan kehadirannya sedemikian
rupa. Ayah dan ibu sebagai calon kedua orang tua bagi si anak terlebih
dahulu harus mempersiapkan diri, baik dalam aspek fisik maupun
non-fisik, seperti moral, mental, emosional, finansial dan aspek sosial.
Selanjutnya setelah lahir, anak dijaga dan dipelihara kelangsungan
hidupnya dengan sebaik-baiknya agar tumbuh menjadi manusia yang sehat,
cerdas, bermoral dan berakhlak-karimah. Oleh karena itu, setiap orang
tua akan dimintai pertanggungjawaban berkenaan dengan anak yang
dianugerahkan kepadanya.
Ayat an-Nisa 9 (pembukaan) secara tegas memperingatkan kepada setiap
orang tua (lelaki dan perempuan) agar jangan meninggalkan keturunan atau
anak-anak yang lemah. Pengertian lemah dalam ayat tersebut mempunyai
makna yang sangat luas, yaitu lemah dalam agama atau akidah, lemah
ekonomi, lemah pendidikan, lemah fisik, lemah mental dan seterusnya.
Dengan begitu, setiap calon ayah dan ibu hendaknya mempersiapkan
sedemikian rupa dan seoptimal mungkin segala sesuatu yang dibutuhkan
bagi kelahiran dan pertumbuhan anak-anak mereka. Sehingga kelak bisa
menjadi generasi yang kuat dan berkualitas, dan bukan generasi lemah
yang akan menjadi beban sosial di masyarakat.
Di samping sebagai amanah, anak juga merupakan cobaan atau fitnah
dari Allah. Ini maksudnya untuk menguji iman manusia sejauhmana manusia
dapat memelihara amanah Allah. Dalam hal ini posisi anak tak ubahnya
dengan harta kekayaan. Allah menganugerahkan harta kekayaan kepada
manusia agar dipergunakan atau dibelanjakan ke jalan yang benar serta
untuk menolong orang-orang yang membutuhkan.
Demikian pula halnya dengan anak, dianugerahkan pada manusia agar
dapat dididik ke jalan yang benar dan menjadi manusia yang berguna; baik
bagi sesamanya, maupun bagi agama dan bangsa. Manusia yang paling baik
di sisi Allah adalah manusia yang paling bermanfaat bagi sesamanya,
demikian bunyi satu hadis. Karena itu, setiap orang akan ditanyai dan
dimintai pertanggung-jawabannya berkenaan dengan harta dan anak yang
dianugerahkan Tuhan padanya. Jadi, sebelum punya anak, pikirkan dulu
secara mendalam apakah mampu memenuhi hak dan kebutuhan anak yang sangat
kompleks tersebut.
Itulah perlunya memahami ajaran Islam dengan benar agar kita tidak
salah kaprah. Sebab, di masyarakat banyak sekali beredar pemahaman yang
keliru, misalnya Islam melarang Keluarga Berencana, Islam menghendaki
kita punya anak banyak, banyak anak banyak rezeki dan seterusnya. Hanya
dengan satu ayat Al-Qur’an (an-Nisa 9) semua pandangan keliru tersebut
terbantahkan dengan sendirinya. Yang benar, Islam mengajarkan agar kita
agar meninggalkan keturunan yang kuat dan berkualitas serta dapat
dibanggakan. Di sinilah letak pentingnya program Keluarga Berencana.
Tujuan mulia perkawinan
Islam mengajarkan bahwa perkawinan bukanlah semata ucapan ijab-qabul, melainkan suatu akad (komitmen) yang sangat kuat antara dua orang manusia yang bertujuan membentuk keluarga sakinah, mawaddah wa rahmah (keluarga yang tenteram, penuh cinta, dan kasih-sayang).
Itulah sebabnya, dalam perkawinan Islam tidak dibenarkan adanya
perilaku dominasi, diskriminasi, eksploitasi, dan segala bentuk
poligami, selingkuh dan kekerasan, khususnya kekerasan seksual.
Perlu diketahui bahwa hukum dasar perkawinan adalah mubah
artinya boleh, boleh menikah, dan boleh tidak. Jangan disalahpahami
bahwa jika seseorang memilih tidak menikah berarti dia memilih hidup
bebas dan melakukan hal-hal tercela.
Ditemukan cukup banyak perempuan dan laki-laki yang tidak menikah dan
tetap komitmen hidup dalam kesucian dan mengamalkan nilai-nilai
spiritual yang tinggi, tidak terlibat free seks dan semacamnya, bahkan
mengabdikan seluruh hidupnya untuk membantu sesama demi kemanusiaan.
Karena itu, jangan berburuk sangka atau memberi stigma pada seseorang
(perempuan atau laki-laki) yang secara sadar memilih untuk tidak
menikah.
Masalahnya, tidak semua perempuan memiliki kemerdekaan penuh dan
punya pilihan bebas. Sebagian perempuan sungguh-sungguh tidak mengerti
akan eksistensi dirinya sebagai manusia utuh yang punya harkat dan
martabat; sebagian perempuan tidak bebas menentukan pilihan hidupnya,
melainkan sangat ditentukan oleh orang tua atau walinya. Menikah pun
atas keinginan orang tua agar tetap disebut anak yang berbakti. Bisa
dibayangkan bagaimana rasanya hidup dengan pasangan yang bukan pilihan
hati, untunglah kalau dia berbudi luhur dan baik hati, tapi kalau dia
berakhlak buruk, maka terjadilah kasus-kasus kekerasan dalam rumah
tangga. Dan pastilah perempuan dan anak-anak yang akan menderita.
Ditemukan pula sebagian perempuan terpaksa memilih menikah hanya untuk
mendapatkan status sebagai isteri karena masyarakat masih sulit menerima
kehadiran perempuan tanpa pasangan (suami).
Demikianlah problematika budaya yang masih melilit perempuan. Kondisi
merugikan ini harus segera diakhiri agar perempuan di masa depan dapat
memilih dengan cerdas sesuai pesan-pesan moral agamanya, memilih
kemaslahatan untuk diri sendiri, keluarga dan masyarakatnya. Untuk itu,
perempuan harus berkualitas, berpengalaman, berwawasan luas,
berilmu-pengetahuan cukup, berketerampilan memadai, dan juga berakhlak
karimah.
Harus selalu diingat bahwa perkawinan bukan semata urusan biologis
atau sekedar memenuhi kebutuhan syahwat, melainkan jauh lebih bermakna
dari itu. Perkawinan memerlukan adanya kesadaran tentang kehadiran
Allah dalam hidup manusia, kehadiran Sang Maha Pencipta yang akan
membimbing manusia (perempuan dan laki-laki) ke jalan yang lurus, jalan
kebahagiaan sejati dan abadi. Perkawinan menuntut agar suami-isteri
jujur kepada diri sendiri, kepada pasangan masing-masing, dan kepada
Allah sang Pencipta.
Sejumlah ayat Al-Qur`an menjelaskan, agar suami memperlakukan isteri
secara hormat, lembut, sopan, dan tidak menyia-nyiakan mereka. Suami dan
isteri tidak boleh melakukan kekerasan dalam bentuk apa pun dan untuk
alasan apa pun, tidak boleh ada perilaku diskriminatif dan eksploitatif
sedikit pun. Bahkan, secara khusus Allah juga menekankan pentingnya
berbuat adil dalam lingkup keluarga, sebuah lembaga di mana praktik
ketidakadilan terselubung seringkali terjadi, dengan korban utama
selalu istri dan anak-anak perempuan, seperti terlihat dalam kasus-kasus
kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).
Posisi perempuan sebagai isteri setara dengan suami. Keduanya berhak
mendapatkan kebahagiaan dan kepuasan, baik biologis maupun batiniyah.
Keduanya pun sama-sama bertanggung jawab, baik dalam tugas-tugas
domestik di rumah tangga maupun dalam tugas-tugas publik di masyarakat.
Suami tetap harus peduli dengan fungsi reproduksi isteri yang sangat
mulia, yaitu hamil, melahirkan, dan menyusui.
Ketika melaksanakan fungsi-fungsi mulia tersebut, para isteri wajib
mendapatkan perlindungan, bukan hanya dari suami, melainkan juga dari
seluruh masyarakat dan bahkan juga dari negara. Perlindungan negara,
antara lain dalam bentuk penyediaan sarana dan prasarana kesehatan yang
memadai, harga obat yang terjangkau, transportasi yang ramah perempuan
dan kebijakan hukum yang memihak perlindungan hak-hak asasi perempuan,
khususnya, hak dan kesehatan reproduksi perempuan.
Posisi perempuan sebagai ibu adalah sangat mulia dan terhormat. Surga
terletak di bawah kaki ibu, artinya keridhaan ibu amat menentukan
keselamatan dan kebahagiaan seorang anak. Karena itu, ibu berhak
mendapatkan penghormatan tiga kali lebih besar dari penghormatan anak
kepada ayahnya. Hadis berikut menjelaskan secara indah.
حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ حَدَّثَنَا جَرِيرٌ
عَنْ عُمَارَةَ بْنِ الْقَعْقَاعِ بْنِ شُبْرُمَةَ عَنْ أَبِي زُرْعَةَ
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِي اللَّهم عَنْهم قَالَ جَاءَ رَجُلٌ إِلَى
رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ يَا رَسُولَ
اللَّهِ مَنْ أَحَقُّ النَّاسِ بِحُسْنِ صَحَابَتِي قَالَ أُمُّكَ قَالَ
ثُمَّ مَنْ قَالَ ثُمَّ أُمُّكَ قَالَ ثُمَّ مَنْ قَالَ ثُمَّ أُمُّكَ
قَالَ ثُمَّ مَنْ قَالَ ثُمَّ أَبُوكَ. (رواه البخارى ومسلم)
Dari Abu Hurairah ra. berkata: Seorang laki-laki
datang kepada Rasulullah Saw dan bertanya: Ya Rasulullah, siapakah
manusia yang wajib saya hormati? Jawab Rasulullah: Ibumu, kemudian
siapa? Ibumu, kemudian siapa? Ibumu, kemudian siapa? Ayahmu
(HR. al-Bukhari dan Muslim)
Sangat jelas hadis nabi tersebut memerintahkan seorang anak agar
menghormati ibu dahulu baru ayah. Bahkan, penghormatan terhadap ibu
sebanyak tiga kali dari penghormatan yang diberikan kepada ayah. Mengapa
demikian? Tugas berat sebagai ibu sangat diapresiasi Islam, tugas itu
terkait dengan organ reproduksinya yang sangat spesifik, yaitu haid,
hamil, melahirkan dan menyusui anak. Tidak semua perempuan dapat haid
dengan nyaman, sebagian perempuan merasa sangat sakit dan menderita
ketika dalam periode menstruasi akibat pendarahan yang luar biasa,
karena itu cuti haid yang diberlakukan pada beberapa negara maju amat
penting dan sangat melindungi perempuan.
Tugas melahirkan pun tidak kalah berat dan sakitnya, sebagian
perempuan terpaksa meregang nyawa ketika melahirkan.Angka kematian ibu
melahirkan (AKI) di Indonesia masih sangat tinggi, bahkan dalam masa
sepeuluh tahun ini tidak ada penurunan, malah terjadi kenaikan yang
signifikan. Hal itu karena perhatian dan kepedulian masyarakat dan juga
negara sangat rendah terhadap pemenuhan hak dan kesehatan reproduksi
perempuan.
Lalu, tugas menyusui dan merawat anak pun bukan tugas yang ringan.
Untuk dapat menyusui anak dengan baik ibu memerlukan makanan bergizi dan
kesehatan yang prima, serta suasana batin yang mendukung (kondusif).
Ringkasnya, tugas-tugas reproduksi yang demikian berat dan seringkali
seorang ibu harus mengorbankan nyawanya dicatat oleh agama Islam dan
dijadikan alasan mengapa seorang anak wajib menghormati ibunya tiga kali
lebih banyak dari penghormatan terhadap ayah.
Islam menghargai hak-hak reproduksi perempuan sebagai manusia
merdeka. Karena itu, perempuan memiliki hak asasi atas diri dan juga
rahimnya. Perempuan dapat memilih secara merdeka apakah ia akan menikah
atau tidak; perempuan dapat memilih dan menentukan kapan akan hamil atau
tidak. Berapa kali akan hamil dan melahirkan. Tubuh perempuan bukanlah
mesin reproduksi. Seorang perempuan tidak boleh mengalami kesengsaraan
dan penderitaan, apalagi kematian karena melakukan fungsi-fungsi
reproduksi yang sangat mulia itu. Perempuan harus mendapatkan informasi
yang benar dan memadai terkait hak dan kesehatan reproduksinya, di
sinilah tugas negara dan masyarakat.
Karena itu, mari merencanakan keluarga yang damai dan bahagia melalui program Keluarga Berencana. Wallahu a’lam.
byMusda Mulia/Rektor UIN Syarief Hidayatullah Jakarta
Sakinah wa mawaddah wa rahmah,
Keluarga bahagia,
sejahtera dan harmoni di bawah ridho Allah.