Rencana
Undang Undang Pemilu DPRD yang digagas 6
partai politik salah satunya adalah Partai Gerindra untuk menggantikan Undang-undang Pemilu
reformasi dan akan di ajukan ke DPR untuk disyahkanpada 25 September 2014 pada rapat paripurna. Jika usulan ini mendapat penetapan
persetujuan maka ini pertanda bahwa pemilu daerah kita akan kembali ke era
sebelum Reformasi atau orde baru yang bermakna juga bahwa kita menghianati perjuanagn Reformasi yang menginginkan agar
kedaulatan rakyat dan pemilihan langsung tetap dipertahankan.
Wacana
kembalinya sisitem pemilu yang lama atau orde Lama alias pemilu DPRD muncul manakala dirasakan
tingginya biaya operasinal yang harus dikeluarkan untuk menyelenggarakan pesta
demokrasi tersebut, ditemukannya beberapa kepala daerah yang tidak mampu
mengaplikasikan jalannya pemerintahan sebagaimana mestinya dan banyaknya kepala daerah yang terlibat
dalam kasus korupsi yang semuanya itu terindikasi disebabkan oleh pola
pemilihan kepala daerah secara langsung yang masih lemah.
Banyaknya
kepala daerah di era reformasi yang terlibat kasus korupsi menandakan ketidak siapan
pemimpin yang dihasilkan dalam sistem pemilu langsung tersebut, karena minimnya pengetahuan dan pengalaman namun mereka memiliki banyak
dukungan serta keuangan, sehingga sanggup membuat masyarakat memilihnya. Pemilihan era reformasi ini menurut sebagian
kalangan dianggap sebagai pemilu bagi Kandidat yang memiliki uang banyak atau bonapit, karena
mereka mampu membuat kampanye dan program tidak etis namun berkemampuan untuk memikat
masyarakat pemilu memilihnya.
Selentingan
masyarakat berkata bahwa “ Bagaimana
kepala daerah sekarang tidak korupsi, kalau waktu kampanye pemilihan saja dia
telah mengeluarkan banyak dana untuk membiaya kampanyenya agar dapat memenangkan
pemilu, kan wajar saja bila saat ia berkuasa, ia melakukan korupsi untuk mengembalikan
modal dana kampanyenya dulu !! “, dan bukan hal yang aneh bila setiap penyelenggaraan
Pemilu Daerah selalu tersebar berita
penyogokan disana sini termasuk pemberian uang buat para pemilih untuk dapat
memilihnya saat pencoblosan nanti.
Sementara disisi lain pemilihan
Umum langsung dari sisi Anggaran terasa cukup menguras anggaran negara hingga terilliunan karena setiap daerah
harus menyelenggarakan pemilu dengan mengerahkan masyarakat sebanyak dua kali
yaitu untuk memilih anggota Legeslatip atau anggota dewan dan pemilu pimpinan eksekutip untuk memilih Bupati atau
walikota, belum lagi bila terjadi pemilu ulang karena ada 2 peserta calon kepala
daerah memiliki suara yang seimbang atau tidak memiliki suara keunggulan diatas
30 persen yang berarti harus di ulang. Sementara sistem pemilihan DPRD Masyarakat hanya sekali saja diikutkan dalam pemilihan yaitu saat pemilihan anggota legeslatip.
Tingginya
anggaran yang harus dikucurkan Negara untuk penyelenggaraan pemilu disetiap
daerah yang minimal berlaku dua kali, dapat mencapai malah melebihi seperempat anggaran
pembangunan daerah selama satu tahun.
Perkiraan anggaran untuk sekali penyelenggaraan pemilihan Kepala daerah,
untuk kepala daerah dapat mencapai Rp 25
Milyar dan untuk Kepala daerah Provinsi Rp 500 Milyar belum termasuk pemilihan
Legeslatip disetiap daerah.
Menteri
Dalam Negeri Bapak Gamawan Fauzi di awal
tahun 2013 pernah memiliki ide untuk mengembalikan sistem pemilihan langsung ke sistem DPRD
tetapi hanya untuk pemilihan kepala daerah Tingkat Provinsi, alasan beliau untuk merubah sistem pemilu saat itu bahwa
Pemerintahan Provinsi tidak terlalu penting karena lebih bersifat koordinatip
antara sistem pemerintahan Pusat dengan Masyarakat atau pemerintahan
daerah. Tidak seperti kepala daerah
atau Walikota Dimana kepemimpinannya terkait langsung dengan pemenuhan
pembangunan daerah atau peningkatan kesejahteraan masyarakat yang berarti harus benar-benar seorang pemimpin yang
mengenal daerah dan masyarakatnya secara jelas dan langsung.
Menurut data
di Kementerian Dalam Negeri terdapat
sekitar 330 kepala daerah saat ini yang tersangkut kasus Korupsi yang berarti 86,22 persen, kata Gamawan Fauzi
di Kementerian Dalam Negeri Rabu, 23 Juli 2014 ketika acara berbuka puasa. Menurut beliau undang-undang pemilu pro
Reformasi tersebut yang diterapkan 2004 masih memiliki kelemahan dan boros
anggaran dan banyaknya pemimpin yang tergoda untuk menjadi kepala daerah untuk
kepentingan peribadi.
Dilema sitem
pemilu di Indonesia, Kita meninggalkan sistem Pemilu Orde lama yang
nota benenya Pemiliahan DPRD karena saat itu pemimpin yang dilahirkannya lebih
bersifat Sentralistik , Tirani, kurang berpihak kepada kepentingan masyarakat dan
tidak adanya pembangunan yang sangat berarti yang dirasakan masyarakat yang
puncaknya terjadi reformasi yang menggugurkan Presiden Soeharto. Kemudian
tahun 2004 dibentuklah UU Pemilu
baru untuk merealisasikan semangat Reformsi dengan sisitem pemilihan langsung
oleh masyarakat. Sekarang dengan realita banyaknya kepala
daerah terlibat Karupsi, tidak effektipnya penyelenggaraan pemerintahan dan
besarnya anggaran yang digunakan
untuk pemilu kita mengagaskan kesistem pemilu baru yang menunggu pengesahan DPR
pada Rapat Paripurna 25 September 2014
nanti, dan kita tahu bahwa system tersebut adalah sistem Pemilihan DPRD yang
bearti kembali ke Orde Baru.
Basuki T Purnama alis Ahok Wakil Gubernur DKI
Jakarta merupakan salah satu tokoh atau aktipis Partai Gerindera yang menentang
Sistem Pemilihan DPRD yang dikatakannya tidak pro Rakyat sehingga beliau rela
keluar dari Partai Gerindera yang telah membesarkan namanya dibelantika politi
hingga menjadi Bupati Belitung Timur dan
Wakil Gubernur DKI Jakarta. Kalau kita
runut sistem pemilihan kepala daerah yang terpilih karena memiliki kemampuan modal
besar, sebenarnya pemilihan kepala daerah DPRD secara teoritis juga
lemah karena orang yang menentukan pemenang pemilu cukup jelas yaitu mereka
yang duduk di DPRD berarti mereka inilah yang akan menjadi sasaran bagi
pemimpin yang berkemampuan modal/uang tersebut.
By BakriSupian
Suara rakyat
adalah suara tuhan,
Pemilihan baik
akan membuat kepentingan masyarakat diperhatikan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar